Wajib Revisi UU MD3

Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan sebagian isi UU Nomor 2 tahun 2018 tentang MD (MPR, DPR, DPD dan DPRD). Begitu nasib UU (undang-undang) tentang ke-parlemen-an Indonesia hasil revisi tahun 2018. Hanya berselang sehari setelah disahkan oleh DPR-RI (pertengahn Pebruari 2018), UU tentag MD3 sudah di-uji materi-kan ke MK. Konon disinyalir, UU baru itu akan menjadikan anggota parlemen “lebih sakti.” Bisa memanggil paksa siapa saja (termasuk aparat KPK).
Revisi kedua UU MD3 yang disahkan tahun 2014, itu kini harus direvisi (ketiga) sesuai amar penetapan MK. Revisi kedua, UU MD3 memberi kewenangan lebih besar memanggil siapa saja, seluruh penyelenggara negara dan pemerintahan. Revisi, digagas karena semakin banyak anggota parlemen pusat (DPR-RI) maupun anggota DPRD, terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK.
Sekitar empat ribu-an anggota DPR, DPRD Propinsi serta DPRD Kabupaten dan Kota, berurusan dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Bersama dengan jajaran eksekutif (birokrat aparat pemerintah) di pusat (Kementerian) dan pejabat daerah. Tak terkecuali gubernur, bupati dan walikota. Selama tahun 2018 saja, dua gubernur, dan sepuluh bupati dan walikota ditangkap KPK. Paling spektakuler, penangkapan Walikota Malang (Jawa Timur), beserta 15 anggota DPRD setempat.
Kerapnya OTT KPK menimbulkan trauma mendalam kalangan pejabat birokrasi maupun pejabat politik. Wajar, karena tingkat “keselamatan” pejabat politik (terutama bupati dan walikota) hany sekitar 35%. Sering dinyatakan kekhawatiran, pejabat Indonesia bisa habis. Sehingga perlu “benteng” penyelamat, agar KPK tidak mudah menangkap pejabat politik. Sampai DPR membentuk Pansus (Panitia Khusus) memanggil KPK.
Pansus Hak Angket DPR-RI, memperoleh kritisi “miring” sangat luas. Termasuk menggugat ke MK. Ironisnya, MK menganggap sah Pansus Hak Angket. Terhadap putusan MK, mayoritas ahli hukum tata-negara menyatakan MK tidak konsisten. Karena terdapat penetapan (MK) sebelumnya, bahwa KPK bukan bagian dari eksekutif (pemerintah), yudikatif (penegakan hukum) maupun legislatif (parlemen). Ketua MK memperoleh “banjir” kritik, dituding in-konsisten. Dituntut mundur.
Maka digagas “benteng” kedua, melalui revisi UU MD3. Agar tak mudah ditangkap aparat penegak hukum (Kejaksaan maupun Kepolisian). Terutama manakala berurusan dengan KPK. Hanya dalam waktu 3 tahun, UU Nomor 17 tahun 2014 tentang MD3, telah mengalami revisi dua kali. Terakhir, pada 12 Pebruari (2018) pengesahan perubahan dilakukan oleh DPR dengan suara mutlak. Hampir seluruh fraksi (parpol).
Kecuali fraksi PPP (Partai Persatuan Pembangunan) di DPR-RI, dan Nasdem, memilih walk-out. Maka hasil revisi terhadap UU MD3 (menjadi UU Nomor 2 tahun 2018), tergolong bagai “bayi merah.” Sehingga menjadi UU yang paling cepat direpons “miring” oleh masyarakat. Sejak berupa draft perubahan Rancangan UU telah diperdebatkan.
Pemanggilan oleh DPR (untuk pemeriksaan), tercantum pada pasal 73 UU MD3 hasil revisi. Gugatan masyarakat, berhasil. MK membatalkan klausul “pemanggilan paksa” oleh DPR terhadap setiap orang (pejabat), termasuk komisioner KPK. Tetapi masih terdapat isu strategis lain dalam UU MD3, yakni penghinaan terhadap lembaga parlemen (pasal 122). Ini berkaitan dengan semakin banyak ujaran pada media sosial (medsos) yang menistakan kinerja DPR (dan DPRD).
Namun isu yang paling dipergunjingkan, adalah pemanggilan terhadap anggota parlemen yang terlibat tindak pidana. Khususnya tindak pidana korupsi (Tipikor). Pada pasal 245 tentang penyidikan anggota DPR dengan penambahan frasa kata “mempertimbangkan” Mahkamah Kehormatan Dewan. Pasal 245 ini, dianggap bertentangan dengan prinsip equality before the law. Yakni, perlakuan yang sama di depan hukum untuk seluruh rakyat Indonesia, tak terkecuali anggota DPR.

——— 000 ———

Rate this article!
Wajib Revisi UU MD3,5 / 5 ( 1votes )
Tags: