Wajib Tunaikan THR

foto ilustrasi

Separuh bulan Ramadhan sudah terlampaui. Hari bahagia menyambut Idul Fitri, akan disokong dengan penerimaan bonus wajib dari tempat bekerja. Gaji khusus berupa THR (Tunjangan Hari Raya) wajib ditunaikan oleh setiap instansi pemerintah dan usaha swasta. Ini tahun ke-23 kewajiban THR sebagai tali-asih sistem kepegawaian. Pada altar kerakyatan, “THR” juga diberikan kepada anak-anak dan kerabat yang tergolong tidak mampu.
Secara adat, sedekah lebaran telah menjadi tradisi. Yang tidak bersedekah dianggap kikir (dihukum dengan sanksi sosial). Sedangkan yang tidak menunaikan THR wajib dihukum (berdasar undang-undang). Menteri Tenaga Kerja telah menerbitkan SE (Surat Edaran) yang ditujukan kepada Kepala Daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota). Tujuannya, agar pimpinan daerah mengawasi pelaksanaan pembayaran THR.
Pelaksanaan THR akan menambah nilai beredar rupiah. Eksesnya, nilai rupiah akan terdongkrak naik (karena sangat dibutuhkan) pada pasar valuta. Nilai THR tahun ini ditaksir mencapai Rp 70 trilyun lebih, ditunaikan oleh perusahaan yang terdaftar pada berbagai Kementerian, maupun pekerja sektor lain. Dan sebenarnya, totalnya bisa lebih dari Rp 100 trilyun, jika ditambah dengan THR oleh para juragan sektor usaha mikro dan kecil.
Jumlah uang beredar selama setengah bulan akhir Ramadhan, ditaksir setara dengan belanja masyarakat selama empat bulan (Januari sampai April). Pengeluaran “super jumbo” tersebut tidak termasuk CSR (Corporate Social Responsibility, tanggungjawab sosial perusahaan). Beberapa perusahaan (BUMN dan swasta nasional) biasanya juga meng-gelontor anggaran menjelang hari raya Idul Fitri.
THR, merupakan kewajiban yang dibedakan dengan CSR, masing-masing memiliki perhitungan dan dasar hukum. CSR ditunaikan berdasarkan UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenaga Kerjaan. Sedangkan THR diwajibkan berdasar Permenaker (Peraturan Menteri Tenaga Kerja) Nomor 4 tahun 1994 (khusus) tentang THR. Jadi, kewajiban THR “lebih tua” dibanding CSR. Bahkan THR juga wajib diberikan kepada pekerja outsourcing.
Selama 23 tahun pelaksanaan kewajiban THR, memang masih belum sepenuhnya mematuhi Permenaker. Masih sering terjadi sengketa perburuhan, terutama tentang perhitungan nominal THR. Padahal Permenaker Nomor 4 tahun 1994, sudah komplet mengatur THR, termasuk nominalnya. Karena itu setiap tahun diperlukan penerbitan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja.
Permenaker 4 tahun 1994, pasal 1 huruf d, mendefinisikan THR sebagai tunjangan hari raya keagamaan sebagai pendapatan pekerja yang wajib dibayarkan oleh pengusaha. Pada pasal 2 ayat (1) dinyatakan, pekerja berhak menerima THR adalah yang telah memiliki masa kerja sekurang-kurangnya 3 bulan. Selanjutnya, nominal THR diatur rinci pada pasal 3 ayat (1) huruf a dan huruf b, ayat (2) serta ayat (3).
Nominal THR dalam Permenaker, sebenarnya merupakan standar minimal. Perusahaan bisa memiliki “angka” yang lebih baik. Nominal THR sekurang-kurangnya 1 bulan gaji (pokok dan tunjangan) untuk pekerja yang memiliki masa kerja selama 12 bulan. Kalau masa kerja kurang dari 12 bulan, dihitung dengan penyesuaian. Misalnya, yang memiliki masa kerja 7 bulan, dihitung 7 dibagi 12, lalu dikalikan satu bulan gaji. Sedangkan yang memiliki masa kerja lebih dari 12 bulan, tetap dihitung (minimal) satu bulan gaji komplet (beserta tunjangan).
Pegawai Negeri Sipil (PNS, atau Aparatur Sipil Negara, ASN), juga memperoleh “THR.” Yakni, gaji ke-13 yang telah cair 14 hari sebelum Idul Fitri. Wajib diberikan secara utuh (tanpa ptotongan). THR sebagai kewajiban, telah masuk dalam kalkulasi usaha di Indonesia. Begitu pula gaji ke-13 telah dialokasikan dalam APBN dan APBD. THR dan gaji ke-13, merupakan refleksi ajaran kesetiakawanan sosial, hasil tempaan puasa Ramadhan.

                                                                                                     ——— 000 ———

Rate this article!
Wajib Tunaikan THR,5 / 5 ( 1votes )
Tags: