Walat

Oleh :
Galuh Farah R.Y
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Muhammadiyah Malang

Hari pertama menempati rumah baru, keluarga Buchi sudah disuguhkan oleh para ibu yang kesetanan terhadap anak-anaknya. Mereka dipukul, digendong secara paksa, hingga diseret agar segera pulang. Ada yang pasrah, menangis, bahkan memberontak karena belum puas mengakhiri permainan, sedangkan para bapak dan anak jejakanya terlihat buru-buru memasukkan motor ke dalam rumah sambil mulut menghisap rokok. Ketika adzan maghrib berkumandang, hanya tampak lampu teras dan lampu kandang entok dinyalakan secara bersamaan oleh sang empunya rumah. Suasana Desa Panabuh pun menjadi lengang seakan disirep oleh badai besar. Hanya terlihat satu dua umat muslim dengan langkah gontai dan pandangan tertunduk berjalan menuju surau untuk memenuhi panggilan Tuhannya.

“Nak, dari mana kamu mendapatkan kue itu? Letakkan kembali, itu bukan milikmu,” tegur ayah Buchi kepada anak perempuan semata wayangnya.

“Halah Yah, udah biarin. Namanya juga anak kecil. Daripada nangis, malah repot nantinya,” balas ibu Buchi sembari mengangkat beberapa barang dari mobil pick up. Merasa mendapat izin dari ibunya, Buchi pun membuka bungkusan kue nagasari yang masih hangat dan memakannya, sedangkan ibu Buchi sendiri, secara diam-diam mencabuti dupa-dupa yang tertancap di depan rumah barunya dengan alasan menghalangi jalan dan menganggu pernapasan.
Esoknya, berita kematian seorang pemuda yang dikenal pemabuk dan penjudi menghebohkan warga. Mulai dari penjual sayur keliling, tukang sampah, hingga pemilik toko kelontong di samping kanan-kiri rumah baru Buchi sibuk membicarakan orang mati. Sebenarnya keluarga Buchi tidak paham betul apa yang sedang warga bicarakan dalam bahasa Jawa. Tapi, kata ‘wong mati’ yang terus diberi penekanan langsung mengisyaratkan peristiwa kematian seseorang. Dari cerita yang beredar, pemuda itu bernama Aji. Meninggal dalam kondisi tidak wajar karena ditemukan mengapung di sungai Brantas. Kedua matanya melotot, rambut hampir habis, dan ketika dievakuasi, mulut Aji yang sebelumnya mengatup tiba-tiba mengeluarkan asap beraroma dupa. Ini kematian yang tidak wajar tentunya. Jika dikaitkan dengan kebiasaan Aji yang merupakan peminum, tentu dia juga perokok aktif. Simpul sebagian warga, kematian Aji berkaitan dengan walat sehingga tidak perlu melibatkan polisi untuk mengevakuasi jasadnya.
“Oalah, sampeyan wong anyar sing manggoni umah iku yo Mbak?” tanya pemilik toko kelontong yang hanya terpisah satu rumah dari tempat tinggal keluarga Buchi.
“Maaf Bu, saya tidak paham bahasa Jawa,” tandas ibu Buchi.
“Sampeyan orang baru di sini? Yang nempatin rumah iku?” ulang pemilik toko dengan logat Jawa kental yang diselingi bahasa Indonesia seadanya.
“Iya Bu, saya baru pindahan kemarin,” jawab ibu Buchi ragu, sembari sibuk menimbang-nimbang beras di ditangannya.

“Ojo lupa bancakan Mbak, biar selamet,” kata seorang pembeli yang diketahui bernama bu Irma.
Ibu Buchi hanya menanggapinya dengan anggukan dan senyuman. Selain kurang memahami bahasa Jawa, ia juga tidak berselera jika harus menjawab pertanyaan ini dan itu. Baginya, perbedaan paling mencolok antara masyarakat Jawa dengan sukunya (karena tidak mau disebutkan) adalah keterbukaan, keluwesan, dan sarat adat istiadatnya.
Sesampainya di rumah, ibu Buchi mengeluarkan barang belanjaan dari kantong kresek dan memindahkannya ke dalam kulkas, juga sebagian disimpan pada almari kecil, seperti beras dan gula pasir. Selesai dengan kesibukannya, ibu Buchi mulai memeriksa setiap ruangan di rumah barunya. Mulai dari kamar miliknya, milik anaknya, hingga ruang tamu yang diulang dua kali sembari memanggil nama “Buchi”, namun tidak ditemukan sekelebatan anak perempuannya itu. Ketika adzan zuhur berkumandang, terdengar sayup-sayup tangisan Buchi dan suara perempuan di samping rumah.
“Ada apa ini Ibu?” tanya ibu Buchi sembari menghampiri anak perempuannya yang menangis ketakutan.
“Anakmu nggadur! Jajanan ini buat mbah Surup! Ojo asal njupuk!” jawab ibu Irma sembari menodongkan telunjuk ke arah Buchi yang dikedua tangannya sedang menggenggam kue nagasari.
“Aku sakjane ngerti kalau anak wadon sampeyan ora sepisan njupuk jajanan brubi ini. Aku juga ngerti kalau sampeyan yang mencabut dupa-dupa sore itu kan? Mangkane aku menyarankan sampeyan bancakan, biar deso ora kenek walat seperti sekarang dan sampeyan sakeluarga selamet. Eh ora dilakukan. Tahu sendiri kan akibatnya!” sambung ibu Irma.
Ibu Buchi benar-benar tidak paham apa maksud dari ucapan Ibu Irma itu. Ia hanya mampu mengucapkan permintaan maaf, membungkukkan badan berulang kali, dan menjelaskan bahwa ia merupakan orang baru yang alpa terhadap bahasa, adat, dan tradisi masyarakat Desa Panabuh ini. Namun, semuanya tidak digubris oleh Ibu Irma yang sambil lalu meninggalkan keduanya dengan membawa tempeh yang sudah tidak lengkap lagi isinya. Ibu Buchi pun dongkol hatinya.
Waktu menunjukkan pukul setengah lima sore. Suara motor ayah Buchi terdengar memasuki halaman rumah. Ia yang baru pulang kerja mulai nihil terhadap perilaku istrinya. Bukan disambut dengan senyuman, namun tingkah aneh seperti orang kesurupan yang mencabuti dupa-dupa di samping, depan, dan belakang rumahnya.
“Buchi batuk-batuk terus semenjak dupa-dupa ini dibakar oleh ibu Irma Yah. Belum lagi tadi siang, Buchi dimarahin karena mengambil dua kue bikinannya yang ada di atas nampan bambu itu. Buchi kan masih kecil, mana paham dengan beginian! Aku sakit hati dong Yah!” jawab ibu Buchi ketika sang suami berusaha menghentikan perbuatannya.
“Jangan diteruskan. Ini bagian dari tradisi mereka, kita harus menghargainya. Tinggal tutup saja jendela dan pintu rumah. Semua beres. Nanti malam biar Ayah yang ngomong baik-baik ke bu Irma,” kata suami melerai. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Dupa-dupa itu lenyap dipatahkan dan dibuang oleh sang Istri. Kini halaman rumah kembali bersih dari kepulan asap dan wangi dupa yang menyeruak.
Bias matahari di ufuk barat tampak jingga kemerahan. Mega-mega mulai melebur dengan langit yang gelap dan burung-burung kembali ke peraduannya. Jika kemarin rumah-rumah menyambut sore dengan cahaya terang lampu teras dan kandang entok yang dinyalakan oleh pemilik rumah, kali ini sintru. Hanya seberkas silau lampu jalanan dan nyala petromak pada beberapa perahu yang menepi ditinggal pemiliknya. Suasana terasa lebih mencengkam, ketika tidak didapati satu pun umat muslim yang pergi ke surau seperti kemarin. Ditambah suara deru ombak sungai Brantas yang disapu oleh hembusan angin dan dedaunan bambu yang jatuh begitu kentara terdengar di telinga. Ayah dan ibu Buchi mulai ketakutan karena beberapa kali ayam jago berkokok tidak wajar dan cicak berdecit tidak karuan. Di saat itu juga, Buchi yang sedang dipangku oleh ibunya terus mengigau ingin kue nagasari dan merengek tenggorokannya gatal. Merasa perkara ini tidak wajar, ibu Buchi pun berniat menghampiri ibu Irma untuk meminta kue nagasari buatannya meskipun kejadian tadi siang masih membekas di hatinya.
“Jangan sekarang. Lebih baik setelah maghrib saja,” sang Suami yang diamanati menjaga Buchi berusaha mencegah langkah istrinya yang sudah menggebu hendak keluar rumah. Namun seruan itu hanya dianggap terpaan angin lalu semata.
“Begitu sakit hatikah bu Irma, sampai-sampai tidak membukakan pintu untukku Yah?” tanya ibu Buchi yang tidak berselang lama sudah kembali dengan tangan hampa.
“Bukan perkara itu Bu. Warga sini tidak akan membukakan pintu, apalagi menyambut tamu ketika maghrib seperti ini,” jawab ayah Buchi, sembari melempar pandang ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul setengah enam sore.
***
Bukan lagi kicauan burung yang bersahutan menyapa dinginnya pagi, namun warta kematian seorang pemuda bernama Burhan yang disiarkan silih berganti dari satu surau ke surau lain, kembali meresahkan warga Desa Panabuh yang hendak menyongsong rezeki. Dari segi tabiat, sosok Burhan lebih dikenal sebagai pemuda yang mawas diri dan selalu taat beribadah, ketimbang Aji si tukang mabuk dan penjudi. Hanya saja kesamaan terletak pada kematian keduanya yang tidak wajar. Jika mayat Aji ditemukan mengapung di sungai Brantas, lain dengan Burhan yang berlumuran lumpur di bawah pohon randu.
“Pak, tolong anak saya,” suara ayah Buchi memecah kerumunan bapak-bapak yang sibuk mengurus proses pemakaman Burhan. Melihat badan gemetar dan deru napas yang tersengal-sengal, tanpa berpikir panjang beberapa warga pun turut berbondong mengikuti langkah Ayah Buchi menuju ke rumahnya.
“Niki walat,” tukas juru kunci desa setelah mendapati tubuh mungil Buchi yang pucat pasih dan beraroma dupa, “Mboten mawas diri lan ora ngeregani tradisi,” simpulnya kemudian, setelah sesaat menatap ibu Buchi yang kejang di samping anak perempuannya.

————- *** ————–

Galuh Farah R.Y, perempuan kelahiran Sidoarjo, 28 Juni 1998 adalah mahasiswa dari program studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Muhammadiyah Malang, yang sangat tertarik pada dunia mistisisme dalam karya sastra. Jika ada yang perlu diperbincangkan, bisa kita mulai melalui galuhfarah28@gmail.com

Rate this article!
Walat,5 / 5 ( 1votes )
Tags: