Walhi Jatim Tuntut Evaluasi Kebijakan Pembangunan Kota Batu

Suasana Diskusi HAM dan Lingkungan Hidup yang digelar di sumber mata air Gemulo Kota Batu, Kamis (10/12).

Menyusutnya Jumlah Mata Air
Kota Batu, Bhirawa
Selama ini Kota Batu telah mendeklarasikan sebagai Kota Ramah Hak Asasi Manusia (HAM). Namun faktanya, kebijakan pemerintah kota (pemkot) terlalu berorientasi pada pembangunan wisata sehingga mengabaikan eksistensi sumber mata air yang justru merupakan pelanggaran HAM.

Hal ini menjadi diskusi serius antara Walhi, Nawakalam, dan MCW yang digelar di sumber mata air Gemulo Kota Batu, Kamis (10/12).

Dalam forum diskusi HAM kemarin ditegaskan bahwa tidak ada manusia bahkan hewan dan tumbuhan yang bisa hidup tanpa keberadaan air sebagai kebutuhan dasar. Dan faktanya, banyak kebijakan pembangunan di Kota Batu yang justru menganggu eksistensi sumber mata air.

“Bagaimana kok kemudian Kota Batu bisa dikatakan Kota Ramah HAM?,” tanya anggota Dewan Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jatim, Purnawan D Negara, Kamis (10/12).

Dalam risetnya, Walhi Jatim bersama Nawakalam mengungkap adanya penyusutan sumber mata air di Kota Batu. Dari total 111 mata air yang ada, kini jumlahnya menyusut menjadi 51 saja. Dan kini yang masih konsisten hanya 28 titik.

“Dari hasil penelusuran terhadap kondisi 51 umber mata air di Kota Batu, terdapat 17 titik mata air yang tidak dilindungi. Artinya, kerusakan sumber mata air akibat pembangunan dan privatisasi untuk kepentingan bisnis di Kota Batu adalah sebuah pelanggaran HAM,”jelas aktivis MCW, Atha Nursasi.

Selain itu, dampak lain dari kebijakan pembangunan pro pariwisata di Kota Batu adalah menyusutnya jumlah lahan pertanian. Pertumbuhan ekonomi yang didominasi oleh sektor konstruksi dan penyediaan akomodasi dengan cepat menggerus lahan pertanian Kota Batu.

Pada tahun 2003 jumlah petani di kota Batu sebanyak 19.326 rumah tangga.

Dalam sepuluh tahun kemudian menyusut menjadi 17.358 rumah tangga. Demikian juga jumlah lahan pertanian yang tersedia di tahun 2003 sebanyak 2.681 hektar. Namun sepuluh tahun kemudian menyusut menjadi 2.373 hektar.

“Dari data di atas menunjukkan telah terjadi perampasan ruang hidup di Kota Batu, dan sekaligus menunjukkan bahwa pemerintah kota tidak serius untuk berkomitmen dalam memenuhi, melindungi, dan menghormati hak asasi manusia,” tegas aktivis Nawakalam, Indra.

Dalam diskusi kemarin akhirnya mendesak kepada pemkot sebagai pemangku kewajiban untuk melakukan pemulihan terhadap kerusakan lingkungan hidup dari segala bentuk eksploitasi.

Selain itu mengajak seluruh masyarakat pro HAM dan demokrasi untuk membangun konsolidasi dalam mempertahankan kedaulatan dan keseimbangan ekologi.

“Hal ini bisa dilakukan pemerintah dengan melakukan perubahan kebijakan yang mengarah pada penyelamatan lingkungan hidup dan sumber daya alam khususnya mata air,”pungkas Atha. [nas]

Tags: