Wamena “Merana”

Teror kerusuhan dan pembunuhan (32 korban jiwa) telah ditebar di Wamena (Papua). Tak terkecuali membakar rumah adat kepala suku di lembah Baliem. Menyebabkan belasan ribu warga mengungsi ke Jayapura. Ribuan warga berbagai etnis memilih keluar dari Papua, pulang kembali ke kampung halaman. Presiden telah memerintahkan aparat keamanan mengejar pelaku teror pembunuhan, dan pembakaran gedung pemerintah daerah, dan fasilitas umum.
Gelombang pengungsi masih memenuhi pelabuhan Soekarno-Hatta (Makasar), dan Tanjung Perak (Surabaya). Sebagian akan melanjutkan perjalanan laut ke kawasan Kalimantan, Sumatera, seantero Jawa, serta Bali, dan NTB. Sekitar 500 orang yang diangkut KM Ciremai, merupakan bagian dari 15 ribu orang, yang keluar dari Wamena. Sebagian masih berlindung di Makodim, Polres, gereja, serta masjid-masjid, dan perkantoran pemerintah di Jayawijaya. Juga ditampung di rumah penduduk asli Wamena.
Sesungguhnya tidak terdapat persoalan antara pendatang dengan warga asli Wamena. Bahkan warga asli lembah Baliem menjalin hubungan dengan seluruh pendatang. Buktinya, banyak rumah penduduk asli dijadikan tempat berlindung warga pendatang. Tetapi hanya disebabkan berita hoaks ber-altar rasis, yang menyulut aksi kerusuhan. Lebih dari seribu bangunan rumah penduduk, rumah toko, kantor BUMN, dan kantor Bupati Jayawijaya, dibakar. Juga 122 mobil, dan 102 sepedamotor turut ludes disulut api.
Wamena (ibukota kabupaten Jayawijaya) “merana” ditinggalkan warga pendatang, yang telah memakmurkannya selama 20 tahun terakhir. Gelombang eksodus akibat kerusuhan tercatat sebagai yang terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Sebanyak 15 ribu orang diangkut dengan transportasi penerbangan (milik TNI, dan penerbangan komersial). Sebagian juga diangkut kapal laut milik PT Pelni. Berbagai pemerintah propinsi turut sibuk memfasilitasi kepulangan warganya. Terutama Sumatera Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Jawa Barat.
Pengangkutan pengungsi dengan pesawat milik TNI telah dihentikan (sejak Minggu, 6 Oktober). Karena suasana kota Wamena berangsur pulih. TNI, Polisi, bersama aparat pemerintah daerah (Jawawijaya), bersama membersihkan puing-puing. Beberapa toko sudah mulai buka. Begitu pula sekolah-sekolah sudah mulai menyelenggarakan kegiatan. Walau hanya kumpul-kumpul guru dengan murid, sebagai penglipur trauma. Kegiatan kependidikan belum dilakukan, pulang lebih cepat.
Suasana Wamena berangsur tenang. Gubernur Papua telah meminta maaf kepada seluruh anggota keluarga korban berbagai etnis. Juga diminta agar pendatang tidak meninggalkan Papua. Pemerintah propinsi Papua berjanji segera melakukan perbaikan sesuai UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Terutama rehabilitasi serta rekonstruksi infrastruktur termasuk rumah dan tempat usaha milik masyarakat.
Berdasar UU Penanggulang Bencana, kerusuhan rasis di Wamena tergolong bencana sosial. Tercantum dalam pasal 1 angka ke-4, yakni, ” … serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial, … dan teror.” Kewajiban rehabilitasi, serta rekonstruksi tercantum pada pasal 57 dan pasal 58, terdapat sebelas item. Anggarannya bersumber APBN, APBD (propinsi dan kabupaten), serta sokongan masyarakat. Tak terkecuali penggunaan dana otsus (otonomi khusus).
Tetapi penanganan bencana sosial, bukan sekadar sekadar tugas BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), dan BPBD. Melainkan juga menjadi tupiksi aparat keamanan (TNI) dan Polri. Papua, dan Papua Barat, memiliki kawasan rawan bencana, di perkotaan sampai pedalaman (perang antar suku). Sehingga penegakan hukum terhadap pelaku kerusuhan, dan teror rasis, wajib dilakukan. Terutama gangguan teroris, seperti pernah terjadi di Nduga, Papua (awal Desember 2018). Aparat keamanan, terutama Koopsus TNI, dan Densus 88, patut ditugaskan ke daerah rawan teror ber-altar rasial. Karena setiap masyarakat berhak memperoleh jaminan keamanan.
——— 000 ———

Rate this article!
Wamena “Merana”,5 / 5 ( 1votes )
Tags: