Wantimpres dan Inkonsistensi Jokowi

Ani Sri RahayuOleh :
Ani Sri Rahayu
Pengajar Civic Hukum (PPKn) Universitas Muhammadiyah Malang

Pelantikan sembilan anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) oleh presiden Jokowi telah mengundang kontroversi. Sebagian besar yang diangkat jadi Watimpres adalah orang dekat atau mereka yang ikut mendukung Jokowi maju sebagai capres, baik perorangan maupun dari partai politik.
Kesembilan anggota Wantimpres tersebut adalah Rusdi Kirana (pengusaha dari PKB), Sidarto Danusubroto (mantan ketua MPR dari PDIP), Suharso Monoarfa (mantan Menteri Perumahan Rakyat dari PPP), Subagyo Hadi Siswoyo (pensiunan TNI), dan ekonom Sri Adiningsih. Empat orang lainnya, Abdul Malik Fadjar (Muhammadiyah), Ahmad Hasyim Muzadi (NU), Jan Darmadi (pengusaha), dan M Yusuf Kartanegara (Pensiunan TNI).
Sembilan Wantimpres tersebut diangkat berdasarkan keputusan presiden (Keppres) Nomor 6/P/2015 yang dinyatakan bahwa atas jabatan tersebut mereka berhak mendapatkan fasilitas setara menteri. Sedangkan secara landasan konstitusional Wantimpres tercantum dalam Pasal 16 UUD 1945, yang selanjutnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden. Berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2006, Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) adalah lembaga pemerintah yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Wantimpres berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Pengundang kontroversi dari sembilan wantimpres tersebut pasalnya sembilan anggota tersebut, enam diantaranya berasal dari partai yang mengusung Jokowi pada pemilihan presiden lalu. Realitas tersebut terlihat bahwa Presiden Joko Widodo telah mengingkari janji karena melantik anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) berasal dari partai politik.
Inkonsistensi Jokowi
Padahal, Jokowi sebelumnya berjanji akan meminimalkan anggota parpol masuk dalam jajaran pemerintahannya. Meskipun penunjukan anggota Wantimpres memang hak presiden sepenuhnya. Sebab, pengguna Wantimpres ini adalah presiden langsung. Realitas Wanpinpres terlihat jelas bahwa presiden Jokowi tidak konsisten dengan keputusannya
Selain itu ada indikasi bahwa penunjukan politikus sebagai dewan pertimbangan menunjukkan bahwa Jokowi lebih percaya dengan orang parpol, meskipun nanti dengan berjalannya waktu tidak ada masalah selama Wantimpres memiliki kontribusi positif bagi bangsa Indonesia. Sebab bagaimanapun juga keputusan Jokowi lebih percaya pada orang parpol dibandingkan profesional itu hak prerogratif presiden.
Wantimpres yang akan memberi nasehat dan masukan pada presiden untuk membuat kebijakan-kebijakan dapat simpulkan bahwa presiden Jokowi lebih mengandalkan orang-orang parpol untuk menjadi penasehatnya itu sah-sah saja dan tidak salah jika dikemudian hari Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) tidak dapat bekerja profesional. Itu dilatarbelakangi enam dari sembilan anggota Watimpres masih aktif di partai politik.
Peneliti senior Founding Fathers House (FFH) Dian Permata, mengatakan, politik kepentingan dan balas budi tidak bisa dilepaskan dan menjadi instrumen utama masuknya nama-nama dalam Wantimpres. Menurut Dian Permata, keenam nama-nama tersebut sangat berkaitan erat dengan keterlibatan mereka pada Pilpres 2014. Jika keenam nama-nama tersebut sudah melepaskan ikatan dan motif politik dari masing-masing habitatnya yakni parpol maka bisa saja peluang Wantimpres profesional menjadi lebih terbuka lebar, sehingga langkah alternatif yang perlu dilakukan agar Wantimpres bisa bekerja secara profesional salah satunya dengan upaya memutus mata rantai politik dengan partai asal mereka. Sehingga, politik kepentingan dan politik sandera-menyandera dapat dilokalisir. Dengan begitu, harapan publik agar Jokowi-Kalla ditemani kaum presional dan cerdik pandai dalam mengelola bangsa ini dapat terwujud.
Tidak sebaliknya kesan yang ada sampai saat ini pemilihan susunan Watimpres, Presiden Jokowi sepertinya pasrah terhadap nama-nama yang disodorkan oleh partai politik pendukungnya saat pilpres lalu. Hal tersebut bisa dimaklumi lantaran Jokowi-JK dan partai pendukung sedang menikmati bulan madu atas keberhasilan mereka pada pilpres kemarin. Tak heran, apabila tudingan publik terhadap komposisi Watimpres sekadar bagi-bagi kue kekuasaan. Namun, lain halnya jika Jokowi memilih, nama-nama seperti Romo benny, Hasyim Muzadi, Abdul Malik Fadjar, Ahmad Syafii Maarif, Yusril Ihza Mahendra, Kwik Kian Gie, dan BJ Habibie, masuk dalam komposisi Wantimpres. Kalau nama-nama itu besar kemungkinan tudingan bagi-bagi kue kekuasaan dapat diminimalisir.
Sembilan orang yang tergabung dalam Wantimpres tersebut hanya tiga orang yang tidak memiliki afiliasi politik langsung dengan partai politik pendukung Presiden. Meskipun anggota Wantimpres adalah hak prerogratif presiden, namun Presiden diminta mempertimbangkan kepakaran, integritas, rekam jejak, kebutuhan dan karakter nonpartisan. Harapannya bukan sekadar bagi-bagi jabatan untuk parpol pendukungnya, dan nantinya pembenaran kepakarannya dicari-cari atau dipas-paskan.
Prioritas utama yang sebenarnya perlu mendapat perhatian adalah bagaimana memerankan Wantimpres secara optimal bukan hanya pembisik yang kadang bisikannya pun tidak pernah didengar Presiden, seperti semasa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Artinya, Wantimpres, jangan hanya menjadi penampung keluh kesah tetapi gagal mendelivery pesan kepada presiden.
Saat ini, komposisi orang-orang di Wantimpres adalah produk dari petimbangan kompromi  politik Presiden. Wajar adanya jika ada pihak yang meragukan apakah mayoritas dari mereka bisa memberikan pertimbangan politik yang sehat kepada Presiden. Tugas dari Wantimpres itu idealnya memberi masukan dan pertimbangan kepada Presiden. Namanya juga kan dewan pertimbangan, jadi menimbang-nimbang masukan untuk Presiden. Di sisi lain tetap Presiden yang memutuskan.
Benturan realitas politik
Pilihan komposisi Wantimpres Joko Widodo (Jokowi) yang didominasi anggota partai politik pendukungnya dapat dinilai sebagai peguatan posisi pemerintahan. Sebab pasalnya saat masa kampanye Jokowi menjanjikan kabinetnya akan diisi oleh kalangan profesional, tapi faktanya Jokowi terbentur realitas politik. Ada nilai transaksionalnya lebih kuat.
Pilihan Presiden Jokowi yang didominasi oleh orang partai politik merupakan hal yang wajar dalam politik. Hal yang wajar pilihannya dari orang-orang yang ada di lingkaran partai pendukung. Fakta tersebut mengesankan presiden Jokowi kalang kabut dengan kepentingan koalisi dan intervensi petinggi parpol Koalisi Indonesia Hebat. Sangat kelihatan menekan dan mengatur Presiden. Hak prerogatif Presiden hanyalah sebagai simbol yang tidak berarti bagi KIH, sehingga kesan kuat terbaca bahwa presiden Jokowi seakan terbelenggu dengan tekanan dari KIH dengan bagi-bagi kursi dan jabatan. Singkat kata, begitulah nasib presiden yang petugas partai dan bukan penentu di partainya. Sebab, seharunya Wantimpres adalah orang-orang yang netral dari kepentingan partai politik.
Melihat realitas politik yang demikian sudah saatnya masyarakat setidaknya mau belajar dalam mencari calon pemimpin berikutnya, bagaimana untuk tidak termakan janji-janji manis. Hal itu seperti yang dahulu didengungkan oleh Jokowi yang menegaskan koalisi tanpa syarat. Suatu pembelajaran ke depan bagi rakyat Indonesia. Mahalnya sebuah realisasi janji kampanye, visi, dan misi yang tidak sekadar ada dalam janji-janji di mulut dan atau tertulis.

                                        —————— *** ——————

Rate this article!
Tags: