Warga Eks Dolly Gugat Pemkot Surabaya Rp 2,7 Miliar

Warga eks lokalisasi Dolly melakukan unjuk rasa dan mendaftarkan gugatan atas Pemkot Surabaya ke PN Surabaya, Senin (23/7). [[abednego/bhirawa]

PN Surabaya, Bhirawa
Puluhan warga eks lokalisasi Dolly mendaftarkan gugatan atas Pemkot Surabaya ke Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Senin (23/7). Gugatan terhadap Pemkot Surabaya ini akibat dampak dari penutupan salah satu bekas lokalisasi terbesar di Indonesia tersebut.
Tak tanggung-tanggung nilai kerugian materiil dan immateriil yang digugat mencapai Rp 2,7 miliar. Nilai tersebut berdasarkan tuntutan 1.800 warga eks Dolly yang terkena dampak penutupan lokalisasi sejak 2014 hingga 2018.
Saat mendaftar gugatan ke Pengadilan yang ada di Jl Arjuno Surabaya ini, warga yang tergabung dalam Komunitas Pemuda Independen (KOPI) dan Front Pekerja Lokalisasi (FPL) itu juga menggelar aksi unjuk rasa di depan PN Surabaya. Sebagian dari massa tersebut membentangkan spanduk putih bertuliskan ‘Stop Intimidasi dan Diskriminasi serta Kembalikan Hak Sumber Perekonomian Warga Jarak Dolly’.
Kuasa hukum warga eks lokalisasi Dolly, Okky Suryatama sesaat sebelum memasuki ruang pendaftaran gugatan perdata di PN Surabaya mengatakan, dalam gugatan ini pihaknya mendesak Pemkot Surabaya memberi ganti rugi atas kerugian materiil dan immateril dari korban penutupan lokalisasi.
Tak hanya itu, dalam gugatanya dia menuding ada tiga tergugat yang berkaitan atas penutupan lokalisasi Dolly. Di samping Pemkot Surabaya, juga Satuan Polisi (Satpol) Pamong Praja (PP) Kota Surabaya dan Polrestabes Surabaya.
“Ketiga lembaga ini bertanggungjawab atas dampak dan kerugian setelah adanya penutupan lokalisasi Dolly,” kata Okky Suryatama, Senin (23/7).
Sementara itu, Jubir FPL dan KOPI, Saputro menambahkan selama 3,5 tahun pasca penutupan lokalisasi Dolly, Pemkot sebenarnya menjanjikan membangun pabrik sepatu dan usaha batik. Namun janji akan adanya kesejahteraan pasca penutupan tidak terlihat. Bahkan ekonomi warga setempat tak kunjung membaik.
Meski sudah berupaya membangun usaha secara mandiri, lanjut Saputro, tapi hasilnya hanya pas-pasan. Selain tak mendapatkan kesejahteraan, warga juga tidak mendapatkan kompensasi atas penutupan lokalisasi ini.
“Sebaliknya, intimidasi pada warga sekitar sering didapatkan, baik setiap hari hingga tiap bulan. Diskriminasi juga dialami warga, karena ternyata masih banyak prostitusi terselubung yang berkedok kafe dan warung, masih banyak berdiri di Surabaya,” tegasnya.
Saputro menambahkan, unjuk rasa ini sekaligus pembuka dari proses gugatan class action terhadap Pemkot Surabaya yang dilakukan 150 warga Jarak-Dolly. Gugatan ini diwujudkan dalam proses sidang perdata, di mana warga menuntut ganti rugi pada Pemkot Surabaya sebesar Rp 2,7 miliar selama 3,5 tahun pasca penutupan lokalisasi. “Kami menuntut pemkot untuk ganti rugi ini dalam sidang perdata,” pungkasnya. [bed]

Tags: