Warga Kota Surabaya Enggan Beli Surat Ijo

surat-ijo(Harga Kelewat Mahal)
Surabaya, Bhirawa
Pelepasan tanah surah ijo oleh Pemkot Surabaya  kepada masyarakat, kurang mendapatkan respon. Hingga sekarang ini, baru sembilan orang yang mengajukan surat ijo menjadi hak milik. Harga yang dianggap terlalu mahal diperkirakan menjadi sebab kurang tertariknya masyarakat untuk  membeli  lahan ini.
Kepala Dinas Pengelolaan Bangunan dan Tanah (DPBT) Kota Surabaya Maria Theresia Ekawati Rahayu mengatakan pelepasan tanah surat ijo menjadi hak  milik ini diatur  diatur dalam Perda 16/2014 tentang Pelepasan Tanah Aset Pemerintah Kota Surabaya. Sedangkan tata caranya diatur lebih rinci dalam Perwali 51/2015 tentang Tata Cara Pelepasan Tanah Aset Pemerintah Kota Surabaya.
“Sejak diundangkan, warga yang mengajukan pelepasan surat ijo masih sedikit.  Baru adak sembilan pemohon. Tiga di antaranya tidak memenuhi syarat lantaran memegang surat ijo di bawah 20 tahun,” jelas Kepala DPBT yang disapa Yayuk ini, beberapa waktu lalu.
Minimnya permohonan dari warga pemegang surat ijo ini, masih lanjutnya, bisa jadi karena harga tanah  itu sesuai dengan harga pasar dan ditentukan oleh tim penilai independen.  “Inilah yang membuat warga  keberatan sehingga memilih tetap memperpanjang IPT,” tegasnya.
Ia menambahkan  untuk mendapatkan surat ijo menjadi hak milik,  ber-KTP Surabaya.  Pemohon merupakan pemegang IPT  (izin pemakaian tanah) selama 20 tahun berturut-turut, serta IPT masih berlaku. Selain itu, luas lahan yang ingin dilepas berukuran maksimal 250 meter persegi.
“Warga bisa mengajukan permohonan pelepasan tanah kepada Wali kota Surabaya melalui Kepala DPBT dengan dilampiri KTP, fotokopi IPT. Selain itu bukti pembayaran retribusi IPT terakhir serta surat pernyataan kesanggupan membayar segala biaya yang timbul akibat adanya permohonan pelepasan hak,” terang Yayuk.
Yayuk mengatakan ada sebanyak 2.502 persil yang dinyatakan memenuhi syarat untuk dilepas. Persil-persil tersebut tersebar di wilayah Surabaya pusat, selatan, timur dan utara. Sebenarnya pelepasan ini sempat disambut gembira pemegang surat ijo. Namun karena  tanah tersebut harus dibeli sesuai dengan harga pasaran, membuat mereka mundur.
Diantaranya Subakri, warga Kalidami, Kelurahan Mojo, Kecamatan Gubeng. Semula dirinya senang akan mendapatkan hak milik tanah yang ditempati puluhan tahun tersebut karena Pemkot Surabaya mau melepaskan. Sayangnya kegembiraan itu sesaat karena, harga yang dipatok pemkot sangat mahal. Padahal, kebanyakan yang  tinggal di tanah surat ijo  adalah mereka tak mampu.
Selain harga tanah sesuai dengan NJOP, warga  juga hanya diberi kelonggaran mengangsur hingga tiga tahun. Tentu saja, warga tak sanggup untuk bisa mendapatkan tanah tersebut sebagai hak milik.
“Setelah saya hitung-hitung, untuk mendapatkan  tanah surat ijo ini, biayanya cukup besar. Saya harus mengangsur Rp 8 juta per bulan selama 3 tahun. Uang dari mana sebanyak itu?” cetusnya.
Sedangkan Ketua GPHSIS (Gerakan Pejuang Hapus Surat Ijo Surabaya (GPHSIS) Bambang Sudibyo menolak langkah pemkot yang menjual tanah ijo ke warga yang  tinggal di tanah tersebut. Ia  mengatakan Pemkot Surabaya  tidak bisa mengakui surat tanah ijo sebagai miliknya dan kini mau dijual ke masyarakat lewat perda. Pasalnya hingga kini pemkot tidak mengantongi  surat  kepemilikan atas tanah  surat ijo yang mencapai 8.319.081,62 meter persegi.
“Perda  dimana pemkot bisa menjual surat ijo jelas-jelas bertentangan dengan PP no:38 tahun 2008. Yang namanya aset daerah, maka pemda lewat APBD melakukan pembelian terhadap obyek tertentu. Sedangkan surat ijo, pemkot membelinya? Kan tidak. Jadi jelas apa yang dilakukan pemkot ini melanggar aturan yang ada di atasnya,” bebernya.
Seharusnya jika pemkot memiliki itikad baik, maka  warga cukup mengganti tanah tersebut sebatas kemampuannya atau istilahnya partisipasi pembangunan.  Mereka yang kaya hingga yang miskin bisa mendapatkan tanah tersebut sesuai dengan kemampuannya. (geh)

Tags: