Warga Simo Magersari Surabaya Gugat Pembangunan SPBU Shell

Warga Simo Magersari RT 01/RW 06, Johny Susanto ketika mempersoalkan pembangunan SPBU Shell dalam hearing di Komisi C DPRD Surabaya. [andre/bhirawa]

DPRD Surabaya, Bhirawa
Sempat dihentikan sementara, akhirnya proyek pembangunan SPBU Shell di Jalan Simo Magersari 115-117 dilanjutkan kembali. Ini setelah manajemen PT Shell Indonesia memenuhi komitmennya terhadap warga sekitar proyek.

Setelah semua komitmen kepada warga tersebut dipenuhi, lantas apakah kasus ini selesai? Ternyata belum. Sebab, ada seorang warga RT 01/RW 06, Johny Susanto yang rumahnya bersebelahan dengan SPBU dan merasa terdampak atas pembangunan SPBU Shell belum tersentuh.

Dia bersikukuh menolak pembangunan SPBU Shell, apalagi selama ini belum pernah disosialisasikan oleh pemilik lahan.Sebenarnya, Johny Susanto membuka peluang untuk menyelesaikan polemik tersebut dengan menawarkan lahannya berupa toko seluas 297 meter persegi untuk dibeli PT Dwi Satria Utama, pemilik lahan eks korek api dengan harga Rp10 miliar.

Dalam surat jawaban yang juga dikirim ke Komisi C, pemilik lahan Oei Han Tjim intinya keberatan. Harga tersebut dinilai terlalu tinggi.

Apalagi ada rencana Pemkot Surabaya memotong lahan untuk pelebaran Jalan Simo Magersari dan melihat tiang listrik ada di dalam lahannya, maka lahan yang ditawarkan hampir terpotong habis.

Meski ada Pemkot Surabaya akan memberikan ganti rugi sesuai nilai jual obyek pajak (NJOP) saat ini sebesar Rp6.159.000 per meter persegi. Berarti tidak mungkin lahan dihargai mendekat permintaan Johny Susanto Rp33.000.000 per meter persegi.

Persoalan inilah sebenarnya akan dibahas dalam hearing di Komisi C, Rabu (12/1). Namun, pemilik lahan tak hadir dan hanya mengirim utusan bernama Frangky.

Ketua Komisi C DPRD Kota Surabaya, Baktiono mengatakan, hasil kesimpulan rapat sebelumnya, Johny Susanto ingin menjual lahannya. Dan, menurut Frangky, perwakilan pemilik lahan, waktu itu, harganya terlalu mahal.

“Karena itu, kita putuskan kembali di Komisi C bahwa kita pakai standar pemkot, yakni harga pasar, ” ujar dia.Nanti, lanjut Baktiono, akan ada tafsiran dari tim penafsir. Kalau ada standar seperti itu kan tidak ada yang dirugikan. Bahkan, Johny Susanto merelakan lahannya yang dipakai toko untuk menghidupi keluarganya.

Ini karena keluarganya merasa was-was berada di sebelah SPBU.”Setelah kita pertemukan di Komisi C, ternyata Frangky menolak untuk membeli lahan milik Johny Susanto meski sesuai appraisal karena sudah investasi di tempat lain,” ungkap politisi senior PDIP ini.

Keputusan Frangky ini memantik reaksi dari peserta hearing, khususnya warga dan anggota Komisi C. Sebab Frangky bukan pemilik lahan, tapi ia mengaku sebagai utusan.

“Kalau utusan seharusnya ada surat kuasa. Karena itu, dia bersama pendampingnya kita minta keluar dari ruangan Komisi C, ” tandas Baktiono.

Siapa pemilik lahan yang disewa PT Shell Indonesia itu memang masih misterius. Karena, menurut Baktiono, setiap pemilik lahan tersebut diundang rapat di kelurahan, kecamatan atau DPRD tak pernah hadir. Yang hadir justru perwakilan yang mengaku sebagai utusan pemilik lahan.

Selanjutnya, jelas Baktiono, Komisi C memberi waktu seminggu kepada Lurah dan Camat untuk memanggil pemilik lahan yang sebenarnya untuk bermusyawarah menyelesaikan persoalan bersama Johny Susanto.

Dia menyatakan, meski masih ada persoalan satu warga dengan pemilik lahan, tapi izin ini kan tidak bisa dihambat. Karena itu, proyek pembangunan SPBU Shell yang sempat dihentikan sementara diizinkan melanjutkan pekerjaannya sesuai perizinan yang berlaku.

Di sisi lain, Johny Susanto akan menggugat dan akan membawa kasus pembangunan SPBU Shell ke ranah hukum.”Ya masih kita beri kesempatan untuk bertemu dengan pemilik lahan yang asli yang dimediasi kelurahan/kecamatan. Kalau sudah bertemu di sana, ada titik temu, kan tidak mungkin gugatan dilayangkan,” imbuh dia.

Hal senada diungkapkan Sekretaris Komisi C, Agoeng Prasodjo. Politisi Partai Golkar ini menilai persoalan ini biang keroknya di pemilik lahan.

PT Shell Indonesia sebagai penyewa lahan, lanjut dia juga ikut menderita. Karena pembangunan SPBU Shell sempat dihentikan sementara pengerjaannya. “Siapa pemilik lahan itu tak jelas. Ibaratnya, dia korah-korah di Komisi C,” ungkap dia.

Karena itu, lanjut dia, pihaknya tak bisa menghalangi perizinan yang sudah berjalan. Apalagi, PT Shell Indonesia sudah berkomitmen dengan warga dan poin-poin yang dijalankan.

“Hanya lahan milik Johny Susanto yang belum dilaksanakan dan tak ketemu. Kami minta lurah dan camat untuk mencari pemilik lahan. Tapi di sisi lain biarkan pembangunan SPBU Shell berjalan, ” tegas Agoeng seraya menambahkan jika Johny Susanto tidak puas silakan ajukan gugatan ke PTUN.

Anggota Komisi C,MInun Latif menambahkan, dalam kasus ini kuncinya ada di pemilik lahan. “Selama pemilik lahan tak bisa dipertemukan dengan warga, masalah ini sulit dituntaskan alias tetap menemui jalan buntu,” ujar politisi PKB ini.

Sementara Johny Susanto, warga Jalan Simo Magersari 66, bertekad membawa kasus ini ke ranah hukum setelah berbagai upaya menemui jalan buntu.

“Ya terpaksa saya akan menggugat kasus ini ke PTUN. Ini karena belum ada jawaban memuaskan untuk keluarga saya, ” tandas dia.

Kapan gugatan ini dilayangkan? ” Ya secepatnya. Besok pun kita siap karena sejak awal memang mbulet. Saya akan koordinasikan dulu dengan penasihat hukum saya,” kata Johny Susanto.

Bernard, perwakilan PT Shell Indonesia menyampaikan, jika pihaknya melakukan tanda tangan kontrak dengan pemilik lahan, Oei Han Tjim. “Setelah teken kontrak sewa lahan itu, pemilik lahan menunjuk Pak Frangky untuk komunikasi, jelas dia.

Camat Sukomanunggal, Lakoli mengaku, soal keberadaan Frangky sebagai utusan pemilik lahan memang belum pernah ditanyakan waktu rapat.

“Dia bilangnya sebagai utusan pemilik lahan. Jadi, selain Pak Frangky kami tak bisa menembus siapa pemilik lahan aslinya. Karena yang dimunculkan selalu Pak Frangky, ” tutur dia. [dre]

Tags: