Warga Suku Tengger Bermasker saat Rayakan Karo

Tradisi Sodoran siku tengger patuhi protokol kesehatan. [wiwit agus pribadi]

Tradisi Anca’an Sambut Hari Raya Karo
Probolinggo, Bhirawa
Perayaaan Hari Raya Karo yang dilakukan oleh warga Suku Tengger berbeda dengan Anugerah sebelum-sebelumnya. Anugerah kali ini, yang jatuh Jumat (4/9) malam, situasinya masih pandemi. Semua warga suku Tengger memakai masker. Pada kalender warga suku tengger, hari Karo masuk pada tahun 1942 saka. Hal ini dilakukan biasanya setelah Anugerah Yadnya Kasada di lanjut dengan berbagai acara ritual.
Supoyo salah satu tokoh suku Tengger, Minggu (6/9) menutyurkan anugerah kali ini masih dalam situasi pandemi. Alhasil, Anugerah Anugerah, ada harapan dan doa yang teriring di dalamnya. Warga suku Tengger meminta keselamatan dan terhindarnya masyarakat umum dari virus yang berasal dari Wuhan, Tiongkok tersebut.
“Dalam doa yang kami panjatkan di samping keselamatan untuk menjaga warga sekitar. Perayaaan ini diharapkan juga dapat menghindarkan kita dari virus korona, “ujarnya saat ditemui di Balai Desa Ngadisari, tempat yang menjadi sentral acara Anugerah.
Di masa pandemi Covid-19 ini, puluhan warga suku Tengger yang terlibat menggunakan maaker. Hal itu dilakukan untuk menjaga persebaran virus korona. Tradisi di dalam acara, masih ada yang digelar. Wawasan dengan tradisi Sodoran, yang merupakan sebuah ungkapan dan mengisahkan tentang proses terciptanya manusia, yaitu dari perkawinan antara laki-laki dan perempuan.
Dalam tradisi tahunan ini, iring-iringan mempelai pria yang tidak terlalu jauh berjalan menuju Balai Desa Ngadisari. Arak-arakan ini jugaa membawa sejumlah pusaka Suku Tengger, atau biasa disebut Jimat Klontong, yang berusia ratusan tahu. Selepas itu, mempelai wanita melangsungkan tradisi antar wuluh . Saat pelaksanaan, para wanita setempat membawa bermacam makanan, dan hasil bumi setempat.
“Beberapa tradisi itu mengisahkan manusia. Sodoran sediri dimulai dari tarian yang mengacungkan telunjuk ke atas, menggambarkan kekuasan Sang Pencipta, “ujar pria yang juga dikenal sebagai kepala Desa Ngadisari tersebut.
Sebelumnya Warga Suku Tengger di Desa Wonokerso, Kecamatan Sumber, Kabupaten Probolinggo melaksanakan Tradisi Anca’an dalam menyambut Hari Raya Karo. Anca ‘sendiri adalah tempat sesajen yang terbuat dari bambu anyaman dan juga pelepah pisang. Dalam ritual itu, warga desa memakai pakaian adat Suku Tengger tersebut membawa sesajen mulai dari ayam, buah-buahan dan kue. Pelaksanaan Tradisi Anca’an digelar di balai desa ini, katanya.
Menurutnya, kegiatan ini merupakan tradisi turun temurun dari nenek moyang Suku Tengger di pelaksanaan Hari Raya Karo. “Untuk pelaksanaan Hari Raya Karo dimulai hari ini hingga tujuh hari kedepan,” ujarnya.
Dijelaskannya, pelaksanaan tradisi di tengah Pandemi Corona berbeda dengan tahun sebelumnya. Warga diwajibkan memakai makser dan mematuhi protokol kesehatan. Dalam pelaksanaan ritual, warga dipandu oleh dukun yang menyelipkan doa agar wabah Corona segera berlalu, diberikan kesehatan, banyak rezeki serta dijauhkan dari marabahaya.
Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Bambang Suprapto, Minggu (6/9) mengatakan Hari Raya Karo merupakan upacara adat Suku Tengger terhadap Sang Hyang Widhi karena terciptanya jagat raya yang berupaya utama terciptanya manusia. “Ini merupakan wujud syukur kepada Sang Maha Pencipta Semesta,” tuturnya.
Ia menjelaskan untuk Tradisi Anca’an yakni kegiatan selamatan warga Suku Tengger dengan membawa sesajen. “Mereka berkumpul di salah satu tempat dengan dipandu oleh dukun yang ada di Suku Tengger,” tandasnya.
Warga Suku Tengger menggelar peringatan Hari Raya Karo Tahun Saka 1940 juga dengan Tradisi Sodoran. Puluhan warga suku yang tinggal di lereng Gunung Bromo ini pun hadir dalam acara penting ini. Tradisi Sodoran sendiri mengisahkan tentang proses terciptanya manusia, yaitu dari perkawinan antara laki-laki dan perempuan. Dalam tradisi tahunan ini, iring-iringan mempelai pria diarak dari Desa Jetak menuju Balai Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura di mana peringatan Hari Raya Karo dilaksanakan.
Arak-arakan ini jugaa membawa sejumlah pusaka Suku Tengger, atau biasa disebut Jimat Klontong, yang berusia ratusan tahun. Hal serupa juga dilakukan mempelai wanita yang diarak dari Desa Wonotoro menuju Balai Desa Ngadisari. Dalam arak-arakan itu, kedua mempelai diiringi oleh musik gamelan, tandasnya.
Setelah bertemu di depan Balai Desa Ngadisari, keduanya kemudian diantar menuju kursi pelaminan. Di Balai Desa, warga telah menunggu kedua mempelai lengkap dengan berbagai macam sesajian. Puncaknya adalah tarian dari rombongan yang dibawa kedua mempelai. Tarian ini menggambarkan penciptaan benih bopo atau laki-laki dan babu atau perempuan oleh Sang Hyang Widi di jagat raya, tambah Supoyo. [wap]

Tags: