
Karikatur Ilustrasi
Serasa percaya – tidak percaya, cabai mampu melambungkan angka inflasi melebihi apapun di Indonesia. Periode seperti saat ini, November sampai Pebruari, biasa menjadi paceklik cabai. Setelah bisa “ditundukkan” selama setahun, kini harga cabai mulai merangkak naik lagi. Selalu dimulai dari Jawa Barat, kenaikan harga cabai pada pertengahan Desember telah naik sampai 100%. Kini harga cabai di Jakarta dan Jawa Barat mencapai Rp 40 ribu per-kilogram.
Di Jawa Timur, rata-rata masih seharga Rp 26.600,- per-kilo. Naik tipis (2,3%) dibanding sepekan sebelumnya. Cabai mulai menunjukkan martabatnya sebagai komoditas strategis di Indonesia. Maka diperlukan inspeksi (dan penyidikan) pemerintah, mengendalikan harga cabai. Terutama pada musim hujan, cabai sangat rentan (cepat busuk). Cuaca dapat dijadikan alasan pedagang besar untuk melonjakkan harga cabai.
Sekarang (jelang akhir tahun), waktu yang tepat untuk “sweeping” stok cabai. Kebutuhan cabai nasional ditaksir sebanyak satu juta ton per-tahun! Sedangkan hasil panen cabai sekitar 1,2 juta ton. Pulau Jawa, terutama Jawa barat dan Jawa Timur, menyumbang pasokan terbesar. Maka mestinya, tidak terjadi kelangkaan. Bahkan masih bisa ekspor. Tetapi realita suplai and demand, berbeda. Cabai sering langka seiring musim hujan.
Cabai tak boleh diremehkan. Selama lima tahun terakhir, perekonomian nasional, sudah sering diguncang harga cabai. Dimulai tahun 2011, harga cabai juga melonjak pada bulan Desember. Konon menurut perhitungan BPS, sumbangan angka laju inflasi oleh cabai saat itu mengalahkan dampak kenaikan harga BBM (0,96%). Dua tahun berikutnya (2013) cabai semakin menggoyang perekonomian nasional.
Ingat dulu, selama dua bulan (Januari-Februari 2013) menjadi pendorong inflasi cukup tinggi, hingga mencapai 1,78%.Indonesia bukan sedang darurat maupun paceklik cabai. Tetapi kenyataannya, cabai sulit dicari. Semula diduga disebabkan distribusi yang sedang libur tahun baru. Banyak truk tidak beroperasi karena jeda dua pekan selama tahun baru. Sebagian juga disebabkan kendala musim, banyak jalan propinsi dan jalan negara terendam banjir.
Krisi harga cabai juga terjadi pada dua bulan awal tahun 2016. Kementerian Pertanian mencanangkan cara sistemik menanggulangi kelangkaan cabai (dan bawang merah). Dua jenis hortikultura khas Indonesia itu, sering mengalami volateli, kenaikan harga tiba-tiba. Cara sistemik itu, penambahan areal cabai seluas 340 ribu hektar, dan lahan bawang merah seluas 129 ribu hektar. Lokasinya di propinsi Banten dan Jawa Barat, itu hanya untuk menyokong konsumsi di kawasan Jabodetabek.
Cabai menembus “harga psikologis” sudah melampaui Rp 100 ribu per-kilogram. Sampai Maret (2017) lalu, harga cabai masih bertahan “pedas.” Ini tidak biasa. Sehingga Polisi turut menyidik mahal-nya harga cabai. Begitu juga KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha), menurunkan tim menjejaki harga cabai, mulai hulu (sentra cabai) hingga hilir di pasar krempyeng. Boleh jadi terdapat pedagang besar cabai “bermain” untuk mengeruk keuntungan, berdalih kendala musim hujan.
Nasihat pepatah “kecil-kecil cabe rawit,” ternyata benar. Bentuknya kecil, tetapi bisa merongrong perekonomian rakyat dalam skala nasional. Sehingga presiden perlu memberi instruksi kepada menteri terkait untuk men-stabilkan harga cabai. Termasuk kepada Polri dan KPPU, agar harga cabai tidak semakin me-liar. Perlu razia cabai, untuk memutus matai rantai sindikat tengkulak.
Harga cabai seyogianya berada pada harga ke-ekonomi-an, yang tidak memberatkan rakyat (konsumen), dan tidak merugikan petani. Juga diperlukan cara lebih sistemik, berupa fasilitasi tata-niaga hasil panen. Serta fasilitasi usaha ke-pertanian. Antaralain pe-masal-an (memberi) tanaman cabai pada setiap rumahtangga. Kelak, pemerintah tidak akan tergagap-gagap lagi menghadapi masalah cabai.
——— 000 ———