Waspada Ke-liar-an Inflasi

Harga kebutuhan pokok non-beras, sudah mulai merangkak naik, bareng-bareng. Seluruh harga kebutuhan barang dan jasa naik, mengiringi kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) bersubsidi. Tak lama seluruh produksi juga mengalami kenaikan, berujung pada inflasi yang makin melejit. Pemerintah tidak dapat “abai” terhadap potensi inflasi yang mengancam perekonomian masyarakat secara luas. Walau telah di-iringi BLT (Bantuan Langsung Tunai) kepada masyarakat paling rentan kemiskinan.

Pemerintah patut menggelontor program ber-visi fasilitasi, dan karitatif. Terutama akses permodalan dengan model subsidi bunga. Terutama pada pelaku usha mikro dan ultra-mikro (UMUM). Serta kredit permodalan petani, peternak dan nelayan. Misalnya melalui KUR (Kredit Usaha Rakyat), dan KUT (Kredit Usaha Tani). Ironisnya, KUR, dan KUT tidak populer pada kalangan pegawai bank. Karena ongkos provisi rendah. Lebih ironis lagi, aset milik petani dan nelayan di pedesaan tidak bank-able. Tidak laku di-jamin-kan sebagai agunan.

Dampak kenaikan harga BBM tidak bisa dianggap sepele. Serta terasa bagai buah simalakama. Harga tidak naik, akan memberatkan APBN, karena pembengkakan subsidi. Namun jika harga BBM naik, niscaya langsung menyengsarakan rakyat. Banyak kalangan yang semula tidak miskin, menjadi miskin. Lebih lagi, masyarakat baru merasakan “kelegaan” kegiatan ekonomi akibat pandemi. Maka keterpaksaan kenaikan harga BBM wajib di-iringi pengamanan pasar. Mencegah keliaran harga.

Seluruh transportasi pasti terpengaruh kenaikan harga BBM. Suasana pasar telah memiliki “kalkulasi” berkait biaya transportasi. Namun pemerintah wajib mengendalikan harga pasar, berdasar UU Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan. Terutama jaminan pasokan barang kebutuhan pokok, dan barang penting. UU Perdagangan pada pasal 25 ayat (1), menyatakan, “Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengendalikan ketersediaan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jumlah yang memadai, mutu yang baik, dan harga yang terjangkau.”

Nyata-nyata terdapat frasa kata “harga yang terjangkau.” Sehingga pemerintah wajib mencegah kenaikan harga yang menyebabkan ke-liar-an harga. Sampai menekan prekonomian rakyat banyak. Seluruh transportasi pasti terpengaruh kenaikan harga BBM. Suasana pasar telah memiliki “kalkulasi” berkait biaya transportasi. Serta UU Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan. Juga meng-amanat-kan keamanan pasokan, dan harga terjangkau.

Juga masih terdapat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 2021 Tentang Penyelengaraan Bidang Perdagangan. PP memberi arahan aksi pemberdayaan pada pasar rakyat. Maka wajar, presiden meng-ingat-kan gejolak kenaikan harga yang bakal terjadi, berkait situasi tak menentu. Tetapi orasi peringatan (oleh presiden) saja, tidak cukup.

Seluruh jajaran pemerintah memiliki tanggungjawab (sekaligus kewenangan) menata perdagangan ekspor dan impor, serta distribusi komoditas di dalam negeri. Daging ayam, ikan segar, dan aneka bumbu kini mulai merayap naik. Begitu pula barang kebutuhan pokok yang sangat bergantung pada impor (antara lain, kedelai, susu segar, dan bawang putih) patut diwaspadai. akan semakin merongrong perekonomian.

Dampak kenaikan harga BBM (dimulai 3 September) diperkirakan bakal menggenjot laju inflasi sampai 6,8% dalam tahun 2022. Jauh melampaui ancang-ancang ke-normal-an inflasi (maksimal 4%). BPS (Badan Pusat Statistik) mencatat inflasi year on year (YoY) bulan Agustus 2022 sebesar 4,69%. Dipastikan inflasi pada September 2022 akan semakin membubung tinggi. Tim perekonomian, serta Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) wajib waspada.

Pemerintah juga wajib menegakkan program perlindungan sosial ekonomi masyarakat, yang dijamin konstitusi. Tercantum dalam UUD Bab XIV Tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial. Sehingga pemerintah wajib mencegah kenaikan harga yang menyebabkan ke-liar-an inflasi.

——— 000 ———

Rate this article!
Tags: