Waspada Krisis Gandum

Setahun Konflik Rusia-Ukraina

Oleh :
Sutawi
Guru Besar Agribisnis Universitas Muhammadiyah Malang

Presiden Joko Widodo dalam berbagai kesempatan mengingatkan agar bangsa Indonesia waspada terhadap kemungkinan terjadi krisis pangan tahun 2023. Menurut UU No. 18/2012 tentang Pangan, krisis pangan adalah kondisi kelangkaan pangan yang dialami sebagian besar masyarakat di suatu wilayah yang disebabkan oleh kesulitan distribusi pangan, dampak perubahan iklim, bencana alam dan lingkungan, dan konflik sosial, termasuk akibat perang. World Food Programme (WFP) mencatat rekor 349 juta orang di 79 negara menghadapi krisis pangan pada 2022, meningkat dari 287 juta pada 2021 dan 200 juta pada pra-pandemi Covid-19. Lebih dari 900.000 orang di seluruh dunia berjuang untuk bertahan hidup dalam kondisi kelaparan. Angka ini sepuluh kali lebih banyak dibanding lima tahun lalu. WFP menyebutkan kombinasi faktor konflik, guncangan ekonomi, iklim ekstrem, dan melonjaknya harga pupuk akan menciptakan krisis pangan dengan proporsi yang lebih besar pada beberapa tahun mendatang.

Invasi militer Rusia ke Ukraina sejak 24 Februari 2022 tahun lalu berdampak terhadap produksi, konsumsi, pola perdagangan, dan tingginya harga komoditas pangan, sehingga mengancam ketahanan pangan global. Ukraina adalah produsen gandum terbesar kesepuluh di dunia pada 2022 dengan produksi 433 juta ton. Ukraina mengekspor rata-rata empat juta ton biji-bijian (gandum, jagung, dan jelai) per bulan. Pengiriman gandum dan biji-bijian sempat terhenti beberapa bulan akibat blokade Rusia terhadap pelabuhan-pelabuhan Ukraina. Perang memiliki implikasi jangka pendek dan jangka panjang terhadap kemampuan Ukraina untuk memproduksi dan mengekspor komoditas pangan. Perang menghambat petani bekerja di ladang, sedangkan wajib militer dan eksodus penduduk menyebabkan tenaga kerja pertanian berkurang. Situasi ini diperburuk oleh terbatasnya akses terhadap pasokan sarana produksi penting seperti pupuk. Perang juga memiliki beberapa konsekuensi tidak langsung dan berjenjang. Pertama, harga pupuk mencapai rekor tertinggi, sehingga penggunaan pupuk berkurang dan hasil panen menurun. Kedua, banyak negara menerapkan pembatasan ekspor, sehingga mendorong kenaikan harga komoditas pangan di pasar internasional. Ketiga, terjadi panic buying terhadap komoditas pangan di tingkat individu, industri, dan negara.

Sebagai negara yang makanan pokok penduduknya berupa beras, Indonesia tidak perlu khawatir terhadap krisis komoditas beras. BPS mencatat trend produksi beras Indonesia meningkat sebanyak 31,31 juta ton (2019), 31,5 juta ton (2020), dan 31,36 juta ton (2021). Dengan jumlah penduduk 275 juta jiwa dan konsumsi beras 97,36 kg/kapita/tahun, maka total kebutuhan beras untuk konsumsi rumah tangga di Indonesia mencapai 26,774 juta ton setiap tahun. Jika ditambah konsumsi di luar rumah tangga sebesar 17,24 kg/kapita/tahun, maka total kebutuhan beras Indonesia mencapai 31,515 juta ton/tahun. Kementan (2021) mencatat nilai SSR (Self Sufficiency Ratio) beras telah mencapai 99,4%, berarti bahwa 99,4% kebutuhan beras dapat dipenuhi oleh produksi domestik. Atas prestasi tersebut, Indonesia mendapatkan penghargaan dari International Rice Research Institute (IRRI) yang diserahkan oleh Direktur Jenderal IRRI Jean Balie kepada Presiden RI Joko Widodo pada 14 Agustus 2022.

Indonesia perlu waspada terhadap krisis komoditas gandum. Berdasarkan data USDA (Kementan AS), sejak periode 2016/2017 konsumsi gandum Indonesia melambung hingga 10 juta ton. Konsumsi gandum Indonesia pada periode 2021/2022 ditaksir mencapai 10,4 juta ton, naik dari 10,1 juta ton pada periode 2020/2021. Padahal, jumlah impor gandum Indonesia pada periode 2012-2015 hanya sebesar 6,25-7,43 juta ton setiap tahun. Konsumsi gandum penduduk Indonesia saat ini mencapai 37 kg per kapita per tahun, setara 38 persen konsumsi beras. Konsumsi gandum meningkat 146 persen dibanding konsumsi tahun 2014 sebesar 15 kg per kapita per tahun. Dengan pertumbuhan konsumsi mencapai 18% per tahun, pada peringatan Indonesia Emas tahun 2045 diperkirakan konsumsi gandum bisa menyamai konsumsi beras.

Gandum merupakan komoditas pangan yang seratus persen impor. BPS mencatat impor gandum Indonesia mengalami kenaikan 10-11 juta ton setiap tahun sejak 2016 hingga sekarang. Australia dan Kanada merupakan dua negara pengekspor gandum terbesar ke Indonesia selama 2012 hingga 2020, masing-masing 29,24 juta ton dan 15,48 juta ton. Gabungan impor gandum dari dua negara itu memberi andil hingga 54,28 persen dari gandum yang diimpor Indonesia selama sembilan tahun tersebut. Ukraina dan Rusia merupakan negara pengekspor gandum terbesar ketiga dan keenam ke Indonesia dalam periode yang sama, dengan berat kumulatif masing-masing 14,16 juta ton dan 3,82 juta ton. Gabungan berat impor gandum dari dua negara itu menyumbang 22,22 persen dari impor gandum yang masuk Indonesia selama periode tersebut. Konflik Ukraina dan Rusia sempat membuat Ukraina menutup keran ekspor gandumnya. Akibat kejadian ini, Indonesia mengalihkan impor gandum dari Australia dan Argentina. Pada Januari-Juli 2022 Indonesia mengimpor gandum sebanyak 2,06 juta ton dari Australia dan 1,47 juta ton dari Argentina. Kedua negara ini mencakup 64,1% dari total impor gandum Indonesia pada periode tersebut. Indonesia juga mengimpor gandum dari Kanada sebesar 694 ribu ton, Brasil 594 ribu ton, dan India 545 ribu ton, sedangkan dari Ukraina hanya 5.509 ton.

Peningkatan volume impor gandum antara lain dipengaruhi oleh faktor pendapatan, jumlah penduduk, harga gandum, kurs, dan perkembangan industri berbasis gandum (Pradeksa dkk., 2016). Kenaikan pendapatan nasional sebesar 1% menyebabkan volume impor gandum naik sebesar 0,253%, karena masyarakat mempunyai daya beli lebih untuk produk gandum. Kenaikan jumlah penduduk sebesar 1% menyebabkan volume impor gandum naik sebesar 3,025%. Jika harga gandum internasional mengalami kenaikan sebesar 1%, volume impor gandum pun naik sebesar 0,491%. Hasil analisis ini tidak sesuai teori bahwa kenaikan harga gandum internasional akan menurunkan volume impor gandum Indonesia. Variabel harga beras domestik tidak berpengaruh signifikan terhadap volume impor gandum Indonesia, karena makanan berbahan dasar gandum sudah mempunyai tempat sendiri dalam pola konsumsi masyarakat. Sebelum konflik Ukraina dan Rusia meletus, harga tepung gandum pada kisaran Rp8.500 – Rp9.000, lebih murah dibanding harga beras medium Rp10.400.

Kenaikan impor gandum dipacu perubahan pola konsumsi masyarakat kelas menengah-atas pada konsumsi produk berbasis gandum seperti roti, biskuit, pizza, pasta, cookies, dan makanan ringan, sedangkan masyarakat kelas menengah-bawah pada konsumsi mi instan yang harganya murah dan mudah dimasak. Berdasarkan data World Instant Noodles Association (WINA) per 13 Mei 2022, konsumsi mi instan di Indonesia sebesar 13,27 miliar porsi pada 2021. Jumlah tersebut naik 5,05% dibandingkan pada tahun sebelumnya sebanyak 12,64 miliar porsi. Posisi Indonesia berada tepat di bawah China/Hong Kong dengan konsumsi mi instan sebesar 43,99 miliar porsi. BPS mencatat konsumsi mi instan per kapita di Indonesia sebanyak 3,96 bungkus berukuran ±80 gram setiap bulan pada 2021. Jumlah itu naik 9,09% dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebanyak 3,63 bungkus per bulan.

———- *** ———–

Rate this article!
Waspada Krisis Gandum,5 / 5 ( 1votes )
Tags: