Waspada “Limbah” Pilkada

Karikatur Ilustrasi

Kegaduhan sosial nyaris menjadi keniscayaan mengiringi penyelenggaraan pilkada (pemilihan kepala daerah). Bagai “limbah” yang sengaja disebar, meracuni produk demokrasi. Pada penyelenggaraan pilkada serentak, setiap peserta dan penyelenggara seyogianya mematuhi peraturan. Terutama menghindari kampanye hitam, dan politik uang. Lebih mulia, manakala kampanye di-isi paparan program men-sejahterakan rakyat.
Bakal pasangan calon (paslon) sudah didaftarkan sebagai peserta pemilihan kepala daerah. Gambarnya akan dipajang di berbagai penjuru daerah, berupa baliho, spanduk, poster, dan kartu nama. Agenda perkenalan (sosialisasi) bagai dikebut dengan persneling empat. Nyaris tanpa rem (waktu lowong). Tetapi setiap paslon (dan tim sukses) wajib memperhatikan peraturan kampanye. Diantaranya, tetap menjaga tertib sosial.
Seluruh peserta (parpol maupun calon perseorangan), seyogianya tidak menyulut emosi masa dengan isu hoax (bohong). Biasanya, tim sukses akan menggunakan media sosial (medsos) sebagai “panggung” kampanye. Telah ribuan akun baru dibuat dalam facebook, WhatsApp, twitter, instagram, SHAREit, dan sejenisnya. Medsos menjadi andalan kampanye narsis. Juga sering digunakan untuk menghantam lawan politik.
Pengalaman pilkada DKI Jakarta, patut menjadi “kaca benghala”seluruh daerah.Seluruh energi (dan kapita) seolah-olah dicurahkan untuk pilkada. Seluruh kader parpol (Ketua Umum tingkat pusat sampai tingkat kelurahan) diwajibkan berperan aktif. Tak terkecuali melibatkan kader parpol yang memiliki jabatan publik. Sehingga pilkada, bukan hanya kontestansi paslon. Tetapi telah menjadi ajang “aduan” kelompok parpol.
Berjuta-juta pernyataan penistaan dan berita bohong (hoax) bertebaran di medsos. Bagai “perang” terbuka tanpa batas. Berbagai penyiaran berbasis teknologi informasi dan komunikasi, telah dimanfaatkan untuk propaganda. Sekaligus menista lawan politik. Tanpa batas kebebasan menyatakan pendapat, nyata-nyata telah menyebabkan kegaduhan sosial. Bisa mengancam persatuan dan ketahanan nasional.
Seolah-olah Indonesia tidak memiliki undang-undang ke-arif-an ber-media sosial. UU 11 Tahun 2008 tentangInformasidanTransaksiElektronik.Padapasal 28 ayat (2), dinyatakan larangan:”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individudan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku,agama, ras, dan antargolongan (SARA).”
Pilkada serentak 2018, patut lebih diwaspadai.Karena konon, akan menjadi pertarungan terakhir parpol. Sekaligus menjadi potret sukses pemilu legislatif dan pilpres 2019. Sebanyak 171 daerah akan menggelar hajat memilih pimpinan. Sebanyak 17 diantaranya, berupapemilih gubernur (pilgub). Di Jawa Timur, misalnya, selain pilgub juga digelar 13 pilihan bupati, dan 5 pilwali. Sehingga diperkirakan lebih seru dibanding pilkada serentak tahun 2017.
Politik uang, dan kampanye hitam, akan menjadi problem utama yang harus dicermati seksama. UU Nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada, telah mewaspadai politik uang, sejak awal penjaringan bakal paslon oleh parpol. UU Pilkada pada pasal 47 ayat (1), menyatakan,”Partai Politik atau gabungan Partai Politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota.”
Larangan tersebut dibuat, karena pertimbangan kenyataan selama ini, bahwa parpol biasa minta “mahar” untuk merekomendasi bakal paslon. Tak jarang, mahar “dikreasi” dengan berbagai konvensi. Setiap peserta konvensi (pengurus parpol), memperoleh “uang transport” dari bakal paslon. Pemenang konvensi, adalah yang terbesar memberi mahar.
Namunselama tiga kali pilkada serentak, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) belum pernah melakukan operasi tangkap tangan. Benarkah, parpol telah bebas dari politik uang pada saat me-rekom bakal paslon? Seperti kata-kata joke, “no lunch free,” tidak ada makan siang gratis (dalam rekrutmen politik)?

——— 000 ———

Rate this article!
Tags: