Waspada Lone Wolf Terorism

karikatur ilustrasi

Anggota Kepolisian ditikam di dekat markas besar polisi. Ini bagai “kado yang tidak di-inginkan” pada peringatan hari Bhayangkara. Sudah sering terjadi polisi diserang pelaku tak dikenal. Dilakukan secara tiba-tiba, tidak terduga. Penyerangan yang bisa dikategorikan tindakan terorisme, bisa dilakukan karena berbagai motif. Terutama “dendam” terhadap kinerja polisi yang sukses memberantas terorisme. Maka polisi memerlukan dukungan, terutama sarana pelindungan diri.
Layak dianggap sebagai “kado” (hari Bhayangkara ke-71). Karena Polri memperoleh hikmah. Yakni, pencerahan semakin suburnya sel terorisme baru dalam aksi lone wolf terorism. Secara harfiah, bisa diartikan sebagai teror (serangan) serigala kesepian. Dilakukan oleh seseorang yang tidak terikat dengan sindikat kelompok radikal. Bukan anggota jaringan terorisme yang sudah dikenal. Model aksi (individual) ini, boleh jadi yang paling sulit terdeteksi.
Maka Polri perlu menambah lebih banyak “mata” dan “telinga,” melalui dukungan masyarakat. Berupa partisipasi sistemik dan terstruktur. Kerjasama dengan ormas (organisasi kemasyarakatan) menjadi keniscayaan. Di beberapa daerah, misalnya, telah dibentuk forum komunikasi masyarakat di tingkat kelurahan (dibawahkan seorang Brigadir). Forum bersama masyarakat itu cukup efektif mencegah tindak kriminal pekat (penyakit masyarakat).
Tetapi itu tidak cukup untuk menanggulangi aksi terorisme. Masih diperlukan kerjasama dengan ormas keagamaan di tingkat kabupaten dan kota, serta kecamatan. Dibawahkan oleh Kapolres dan Kapolsek. Kerjasama dengan ormas keagamaan seyogianya bersifat semi formal, dikukuhkan dalam akad kesepakatan. Selain itu, Polri perlu menyelenggarakan acara aksi sosial keagamaan. Misalnya, istighotsah dan doa bersama tokoh-tokoh masyarakat.
Gerakan radikalisme telah menjadi musuh sosial bersama. Namun perlu waspada, radikalisme yang eksklusif menyasar kelompok potensial pemuda.  Dengan memanfaatkan isu demokrasi dalam menjalankan keyakinan agama, kelompok radikal bebas mengisi ruang publik. Organisasi “bawah-tanah” radikalisme berkembang, membonceng HAM. Radikalisme “memperoleh tempat” di berbagai kalangan, yang tidak paham keagamaan.
Begitu pula ISIS ber-simbiose dengan kelompok minoritas yang telah ada. Namun mayoritas masyarakat muslim, menolak sweeping warung makan pada siang hari. Bahkan rakyat secara komunitas berinisiatif membentengi diri dari penyusupan gerakan dakwah radikal. Penolakan rakyat akan sangat bermanfat, karena secara hukum Indonesia belum memiliki peraturan yang melarang warganya bergabung dengan organisasi asing. Lebih-lebih jika kepergian ke luar negeri dengan alasan bekerja atau sekolah.
Sesungguhnya, pergerakan radikalisme, mudah dibedakan dengan gerakan dakwah sosial ormas keagamaan lain. Yakni, tidak mau dikategorikan Muhammadiyah, sekaligus sangat anti-pati terhadap NU (Nahdlatul Ulama)! Bersyukur, hampir 100% rakyat Indonesia mengutuk cara dakwah radikal. Tak terkecuali sweeping warung makan pada bulan Ramadhan. Padahal agama mentolerir penundaan puasa untuk musafir (dalam perjalanan), dan orang sakit.
Dakwah muslim minoritas, nyata-nyata sering menimbulkan konflik di tengah masyarakat. Disebabkan perbedaan beberapa kaidah ushul fiqih (hukum beribadah). Penyebab konflik di tengah masyarakat ini, terdengar sampai ke jazirah Arab. Juga menimbulkan pro dan kontra. Namun ulama (tradisional) di Indonesia, dikenal memiliki ilmu keagamaan sangat memadai. Setara dengan syeh dan mufti berdedikasi kelas dunia.
Gerakan dakwah muslim minoritas, telah di-warning oleh Kementerian Agama Arab Saudi, dalam kunjungan raja Salman ke Indonesia. Dakwah Salafy, harus lebih membuka diri, dan banyak belajar pada ulama Indonesia. Serta tidak gampang menebar kata permusuhan (menuding bid’ah dan kafir) terhadap muslim mayoritas. Di Indonesia, gerakan dakwah minoritas juga memiliki pesantren tetapi tidak diminati masyarakat.
Masyarakat secara komunitas berinisiatif membentengi diri dari penyusupan gerakan dakwah radikal. Masyarakat telah paham, bahwa kelompok teroris bukan dari kalangan ulama maupun santri.

                                                                                                                   ———   000   ———
 

Rate this article!
Tags: