Waspada “Mafia” Swab

foto ilustrasi

Tarif test mandiri bebas (negatif) CoViD-19 sudah turun lebih murah lagi, dengan hasil maksimal selama 24 jam. Penurunan harga swab PCR menjadi keniscayaan, karena bahan testing mudah (dan murah) di pasaran internasional. Sehingga presiden patut memerintahkan penurunan tarif. Menjadi lebih terjangkau, dan tidak menyulitkan masyarakat. Namun pemerintah seyogianya mempertimbangkan penggunaan bahan dan metode skrening CoViD-19 dalam negeri.

Skrening negatif CoViD-19 menjadi persyaratan perjalanan dalam negeri dengan moda transportasi udara. Aturan swab PCR sebagai syarat perjalanan diterbitkan Satgas CoViD-19, dalam Surat Edaran Nomor 21 Tahun 2021. Namun ditentang banyak kalangan, karena dianggap menyulitkan. Sebelumnya cukup dengan swab antigen, yang lebih murah, dan lebih cepat (hanya sekitar 2 jam) menerbitkan hasil swab. Sehingga swab PCR terasa tidak efisien, tidak laku.

Skrening swab PCR juga berpotensi “mafia” di bandara. YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) telah menelisik adanya “mafia,” dengan mem-banderol harga lebih mahal dibanding tarif pemerintah. Intrik “mafia” menaikkan harga, dengan cara mengklasifikasi kecepatan hasil swab PCR. Jika pemerintah menetapkan penerbitan hasil swab selama 24 jam, maka “mafia” bisa menawarkan waktu yang lebih cepat. Hanya dalam waktu 12 jam, atau 6 jam, dengan harga yang lebih mahal (sampai 200%).

Pemerintah telah menurunkan harga swab PCR menjadi Rp 275 ribu, berlaku di seluruh Jawa dan Bali. Sedangkan di lua Jawa seharga Rp 300 ribu (semula Rp 525 ribu). Walau keuntungan “mafia” semakin berkurang, namun masih terbuka peluang mengeruk keuntungan liar. Antara lain melalui waktu penerbitan hasil swab PCR yang lebih cepat. Terutama di bandara, banyak penumpang tidak memiliki waktu panjang. Sehingga tawaran “mafia” terasa bagai membantu. Bahkan telah tertangkap sindikat hasil swab palsu.

Maka penurunan harga swab PCR, disambut lega masyarakat pengguna moda transportasi udara. Tetapi kalangan karyawan maskapai penerbangan, malah menganggap sebagai diskriminasi layanan moda transportasi. Karena moda transportasi yang lain (darat, dan laut) cukup menggunakan swab antigen, yang lebih murah, dan lebih mudah. Bisa berujung penumpang pesawat makin sepi. Berkonsekuensi dengan makin terpuruknya UMKM (terutama usaha kuliner) di bandara.

Tidak ada metode skrening CoViD-19 yang benar-benar menjamin akurasi 100%. Seperti terjadi pada kontingen bulutangkis Indonesia yang terusir dari kejuaraan dunia All England Open 2021, di Birmingham, Inggris. Padahal seluruh atlet telah menjalani test swab PCR sesaat sebelum berangkat ke London. Penyebabnya, kontingen Indonesia bersama satu pesawat dengan penumpang yang positif CoViD-19. Berdasar peraturan Otoritas Kesehatan Inggris, harus dikarantina selama 14 hari. menyebabkan tidak bisa bertanding.

Banyak pula hasil test Rapid antigen, dan swab PCR menunjukkan hasil berbeda pada tempat (lembaga) yang berbeda, hanya berselang satu hari. Berbagai penyebab perbedaan selalu diajukan sebagai reasoning. Termasuk paradigma masa inkubasi virus yang belum terdeteksi. Namun ke-tidakpasti-an masih ditolerir sebagai upaya pencegahan penyebaran virus corona. Sehingga uji swab PCR masih dikukuhkan sebagai skrening CoViD-19 paling diunggulkan. Seluruh alat skrening wajib “ditimbang” kecocokan dengan metode swab PCR.

Sesungguhnya di dalam negeri telah terdapat metode skrening CoViD-19 yang telah memperoleh izin edar Kementerian Kesehatan. Juga terbukti paling laris digunakan di semua stasiun keretaapi, sebagai persyaratan perjalanan jarak jauh dan menengah. Antara lain GeNose, yang pada proses produksinya juga “ditimbang” kecocokan dengan metode swab PCR. Hasilnya, sama 100%! Produk dalam negeri terbukti populer, karena lebih cepat, murah, dan tidak mengerikan.

——— 000 ———

Rate this article!
Waspada “Mafia” Swab,5 / 5 ( 1votes )
Tags: