Waspada Putus Sekolah!

foto ilustrasi

Dampak pandemi CoViD-19 telah memporakporandakan perekonomian setiap rumahtangga. Terasa lebih berat pada kalangan masyarakat berpenghasilan rendah, pekerja sektor informal, dan pekerja harian. Bisa mengancam keberlanjutan pendidikan anak-anak, terutama murid sekolah swasta. Kementerian Pendidikan perlu mengantisipasi gejala putus sekolah melalui aksi nyata bantuan sosial (Bansos). Profesi ke-guru-an, dan sekolah swasta juga perlu dilibatkan mencegah putus sekolah.

United Nations Children’s Fund (UNICEF) menyebut, pandemi CoViD-19 menjadi salahsatu penyebab siswa putus sekolah. UNICEF memperkirakan terdapat sekitar 1% siswa yang berhenti sekolah akibat pandemi. Prakiraan tersebut di Indonesia bisa mencapai 4,5 juta siswa pada seluurh jenjang pendidikan (SD hingga SLTA). Namun berdasar catatan Kemendikbud Ristek tahun ajaran 2019-2020, hanya terdapat 157 ribu (0,34%) siswa yang putus sekolah.

Walau sangat kecil tetapi wajib dicegah, dengan berbagai cara insentif pendidikan. Termasuk Bansos khusus siswa yang berupa penghasilan. Selain bantuan sarana sekolah (seragam, sepatu, dan transportasi, siswa juga membutuhkan “penghasilan.” Misalnya, Bansos hewan ternak yang bisa dipelihara siswa setelah pulang sekolah. Sehingga siswa dapat menyokong perekonomian keluarga yang tertekan pandemi.

Siswa bekerja menyokong perekonomian telah menjadi realita keseharian, di perkotaan, dan di perdesaan. Berdasar data SUSENAS BPS (Badan Pusat Statitistik) terdapat 1,6 juta pekerja anak (usia 10 hingga 17 tahun). Meningkat sebanyak 400 ribu anak dibanding tahun 2017. Badan Pekerja Internasional (ILO, International Labour Organization), mengkhawatirkan pekerja anak bisa merampas mas kecil, dan martabat anak. Menjadi ancaman tumbuh kembang fisik, dan mental anak.

ILO telah menerbitkan kesepakatan negara-negara tentang penghapusan pekerja anak, dengan konvensi nomor 138, dan nomor 182 (khusus pekerjaan yang membahayakan fisik, dan mental anak). Konvensi internasional telah diratifikasi Indonesia dengan penerbitan UU Nomor 20 tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention No. 138 Concerning Minimum Age for Admission to Employment (Konvensi ILO Mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja). UU sangat simple, berisi satu pasal.

Sedangkan terhadap konvensi nomor 182, secara komprehensif telah diterbitkan UU Nomor 23 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak. Pada pasal 11, dinyatakan: “Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yangsebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannyademi pengembangan diri.”

Sedang hak pendidikan tercantum dalam pasal 9 ayat (1). Dinyatakan, “Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.” Amanat pendidikan anak juga terkoneksi dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. UU Sisdiknas pada pasal 6 ayat (1), menyatakan, “Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.”

Berdasar data Kemendikbud Ristek, pada tahun ajaran 2019-2020 terdapat siswa sebanyak 45,5 juta murid. Terdiri dari 25,2 juta siswa tingkat SD dan sederajat, serta 10,1 juta siswa SMP sederajat. Tingkat SMA sebanyak 5 juta siswa, dan SMK sebanyak 5,2 juta siswa. Sedangkan angka putus sekolah paling banyak pada tingkat SD sebanyak 59,4 ribu siswa, tingkat SMP sebanyak 38,5 siswa, serta tingkat SMA sebanyak 26,9 ribu siswa, dan SMK sebanyak 32,4 ribu siswa.

Besarnya angka putus sekolah pendidikan dasar, boleh jadi bagai fenomena gunung es. Patut diduga angka putus sekolah sesungguhnya lebih besar dibanding yang dilaporkan. Menjadi kewajiban pemerintah (terutama daerah) mencegah putus sekolah, dengan berbagai insentif Bansos.

——— 000 ———

Rate this article!
Waspada Putus Sekolah!,5 / 5 ( 1votes )
Tags: