Waspada Upaya De-legitimasi

Yunus SupantoOleh :
Yunus Supanto
Wartawan Senior, Penggiat Dakwah Sosial Politik

DPRD DKI Jakarta sudah membentuk panitia khusus hak angket. Maka Gubernur-nya akan diselidiki, apakah melanggar peraturan dan perundang-undangan atau tidak. Jika terbukti melanggar, maka Basuki Tjahaja Purnama, bisa di-lengser-kan. Tidak sulit “mencopot” Gubernur dari jabatannya, karena analogi konstitusi (UUD), bahwa pucuk pemerintahan dapat diberhentikan dalam masa jabatannya. Pelaksanaan hak angket merupakan bukti, tiada pejabat publik yang bisa bertindak semau-gue.
Pemberhentian Kepala Daerah (Gubernur maupun Bupati dan Walikota), bukan mustahil. UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, telah memberi rambu-rambu. Diatur khusus pada pasal 78. Pada ayat (2) huruf d, dinyatakan manakala Kepala Daerah “tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf b.” Yakni, kewajiban men-taati seluruh ketentuan peraturan peraturan perundang-undangan.
Semua itu bisa bermula dari pelaksanaan hak angket. UU tentang Pemerintahan  Daerah, menjamin pelaksanaan hak angket. Tercantum  pada pasal 106 tentang hak DPRD Propinsi. Selanjutnya, klausul tersebut di-breakdown dengan persyaratan pengajuan hak angket pada pasal 115  ayat (1). Yakni, paling sedikit didukung oleh 15 orang anggota DPRD provinsi dan lebih dari 1 (satu) fraksi. Selanjutnya, hak angket memiliki prosedur, diatur dengan 4 pasal berikutnya berturut-turut.
Walikota Surabaya, Tri Rismaharini, pernah menghadapi problem hampir serupa, diberi nota hak angket oleh DPRD Kota Surabaya (periode 2009-2014). Upaya pelengseran dilakukan menggunakan (dulu) UU 32 tahun 2004 pasal 29 ayat (2) huruf d dan e. Bahwa Kepala Daerah diberhentikan karena melanggar sumpah (huruf d) serta tidak melaksanakan kewajiban (e). Rapat paripurna DPRD Surabaya yang disyaratkan pasal 29 ayat (3) pun sudah dilaksanakan dengan keputusan memberhentikan Walikota.
Bahkan berlanjut  memenuhi persyaratan ayat (4), dengan mengirim surat pemberhentian ke MA (Mahkamah Agung) untuk memeriksa Walikota. Andai saat itu MA memutus Walikota Surabaya terbukti bersalah melanggar sumpah, pastilah Risma sudah lengser. Beruntung, elit parpol (tingkat Propinsi) memerintahkan penghentian pelengseran melalui instruksi kepada fraksi-fraksi di DPRD Kota Surabaya.
Dua versi APBD
Tetapi kasus yang dihadapi Gubernur DKI Jakarta, Ahok, berbeda. Selain sering ber-pembawaan uring-uringan, Gubernur Jakarta diduga telah mengirim dokumen “lain” APBD 2015 kepada Kementerian Dalam Negeri. Tetapi dokumen APBD yang diajukan Ahok bukan hasil persetujuan DPRD DKI Jakarta. Jika benar, ini memang kesalahan fatal. Sesuai prosedur, setiap Perda yang telah disahkan bersama (antara DPRD dengan Kepala Daerah) harus ditelaah oleh Kementerian Dalam Negeri. Termasuk Perda tantang APBD.
Maka pasti, terdapat dua versi APBD DKI Jakarta 2015. Pertama, hasil pembahasan di DPRD. Dan kedua, yang di-istilahkan oleh Ahok berbasis e-budgeting (di dalamnya minus usulan alokasi senilai Rp 12 trilyun lebih). Niscaya, dua versi APBD menimbulkan kegaduhan pemerintahan daerah. Sekaligus ke-musykil-an. Yakni, penyebutan “dana siluman” (Rp 12 trilyun, untuk usulan yang tidak disepakati).
Penyebutan “dana siluman” (dan istilah lain, “dicuri” ataupun “dirampok”) seolah-olah memperhadapkan DPRD dengan rakyat. Pada sisi lain, Ahok menyebut APBD versi gubernur berbasis e-budgeting. Padahal e-budgeting, bukan alat pengaman dari praktik korupsi. e-Budgeting hanyalah sekadar cara dalam keterbukaan informasi. Sama dengan menempel lembar informasi APBD di papan pengumuman di kantor Kecamatan, atau di kelurahan. Juga bisa ditempel di tembok kuburan umum.
Sebagaimana amanat UU (Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan), bahwa seluruh Perda wajib disebarluaskan melalui media masa. Jadi, e-budgeting bukanlah inovasi baru, melainkan mandatory (kewajiban berdasar undang-undang). Dengan mem-propaganda e-budgeting (versi Ahok), seolah-olah mengamankan perampokan dana APBD oleh DPRD. Padahal walau sudah e-budgeting, APBD tetap bisa dirampok oleh siapa saja. Bisa dikorupsi  oleh pimpinan SKPD, anggota dewan maupun kontraktor rekanan.
Maka perseteruan antara Gubernur dengan DPRD, mestilah di-investigasi berdasar konstitusi. Dalam UUD pasal 20 ayat (2), tentang pembuatan UU, terdapat frasa “persetujuan bersama.” Yakni pada proses pembahasan Rancangan, harus disetujui oleh pihak eksekutif dan legislatif. Pasal 20 ayat (3), disebutkan, andai RUU tidak memperoleh persetujuan bersama, tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
Dalam hal pembuatan Perda (tak terkecuali Perda tentang APBD), DPRD memiliki kewenangan mutlak. Dalam UU Pemerintahan Daerah, pada pasal 97 huruf a, dinyatakan “membahas bersama gubernur dan menyetujui atau tidak menyetujui rancangan Perda Provinsi.” Manakala Rancangan Perda APBD tidak memperoleh persetujuan, maka tidak boleh dilanjutkan. Dus, tidak boleh dimintakan telaah (dan persetujuan) ke Kementerian Dalam Negeri.
Penjara 8 Tahun
Andai hal itu dilakukan Ahok, maka pelaksanaan hak angket sungguh sangat miris. Berdasar UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, akan memperhadapkan Ahok dengan penegak hukum. UU tersebut pada pasal 85 ayat (4) menyatakan, “Dalam hal ditemukan bukti kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah melakukan tindak pidana …, DPRD menyerahkan proses penyelesaiannya kepada aparat penegak hukum  sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Ahok bisa disangka memalsukan dokumen negara. Dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana), pemalsuan dokumen diancam dengan hukuman paling lama 8 tahun penjara (pasal 264, menyangkut dokumen otentik). Manakala hakim di Pengadilan se-pemahaman dengan pansus hak angket DPRD DKI Jakarta, sudah pasti Ahok akan dijebloskan ke penjara. Niscaya, kehilangan jabatannya sebagai gubernur.
Perseteruan sengit antara Gubernur) DPRD dengan rakyat, sungguh-sungguh tidak elok. Begitu pula sebaliknya, DPRD mestilah bersikap profesional dalam melaksanakan kewenangannya. UU juga menjamin adanya fasilitasi agar DPRD lebih profesional. Misalnya pembentukan tim ahli, yang diisi oleh pakar yang diminta oleh fraksi maupun alat kelengkapan dewan.
Tim ahli, bukan sekadar pakar ilmu hukum, pakar ilmu ekonomi dan ilmu politik dan ahli bahasa. Melainkan tenaga ahli yang telah memahami prosedur ke-Perda-an dan kinerja ke-DPRD-an. Tentang Perda, misalnya, bukanlah produk hukum. Melainkan produk politik yang diproses melalui “mesin” politik. Altar hukum hanya bingkai. Dengan fasilitasi tim ahli (dari kalangan aktifis dan praktisi), kinerja DPRD akan terlaksana profesional.
Profesionalisme DPRD, niscaya akan meningkatkan mutu pelaksanaan fungsi  DPRD sebagaimana diamanatkan UUD pasal 18 ayat (6). Menjadi satu bagian pemerintahan bersama gubernur. Bukan saling serang, berupaya men-delegitimasi, dan menurunkan martabat kelembagaan pemerintahan daerah. Itulah muara perseteruan antara Gubernur Ahok dengan DPRD-nya. Pembawaan sering uring-uringan, seolah-olah membawa suasana vis a vis, antara eksekutif dengan legislatif.

                                                                                      ————— *** —————

Rate this article!
Tags: