Waspadai Predator Anak Berkedok Pendidikan

foto ilustrasi

Hati orang tua mana yang tidak menjerit melihat aksi pelaku pelecehan seksual terhadap anak? Terkejut, miris, sedih, diikuti marah adalah reaksi normal. Itulah sekelumit ekspresi dari orang tua korban dan publik saat melihat kasus predator anak. Oleh sebab itu, pelaku pedofil atau predator anak harus bener-bener di hukum dan diberikan sanksi seberat-beratnya.

Regulasi dan sanksi hukuman pun sejatinya sudah disiapkan oleh pemerintah untuk menghalau tindakan predator anak. Tepatnya melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dan Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 tentang kepastian hukum terkait implementasi teknis kebiri kimia. Namun, rupanya regulasi dan sanksi hukuman tersebut masih kurang memberi efek jera terhadap pelaku, bahkan pelaku predator masih saja banyak berkeliaran.

Berdasarkan data yang dirilis Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) pada 2020, kejahatan seksual terhadap anak di masa pandemi Covid-19 mengalami peningkatan kasus. Setidaknya ada 4.833 kasus kejahatan terhadap anak, dan 2.556 anak yang menjadi korban kejahatan seksual. Termasuk dengan kasus terbaru seorang guru privat di Cilincing, Jakarta Utara yang disangka mencabuli empat anak laki-laki. Modusnya pun cukup rapi, pelaku sebelumnya telah membuka perpustakaan umum yang ber wi-fi, sehingga anak-anak tertarik di situ, baik untuk belajar maupun untuk main game, (Kompas, 22/2/2021)

Belajar dari kasus itu, sekiranya menjadi alarm bagi para orang tua bahwa betapa aksi pelecehan tersebut berada begitu dekatnya dari lingkungan kita. Mengintai anak-anak dari tempat-tempat yang tidak kita duga sama sekali. Termasuk, tempat seperti perpustakaan umum yang terlengkapi dengan wi-fi yang sekiranya baik untuk belajar rupanya tidak lepas dari ulah pedofil. Itu artinya, predator telah menggunakan kedok pendidikan untuk mengelabui korban. Untuk itu, kini saatnya keterlibatan semua pihak mulai guru, orang tua, polisi, dan pembuat kebijakan perlu bersatu untuk memutus rantai kejahatan kekerasan seksual pada anak, sekalipun itu berkedok pendidikan.

Asri Kusuma Dewanti
Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Malang

Tags: