Wawali Surabaya Minta Mundur

Wacana niat mundur Walikota Surabaya, menyita perhatian publik cukup luas khususnya kalangan menengah-atas dan intelektual. Ini tidak sekadar menunjukkan popularitas Tri Rismaharini. Tetapi juga bisa digunakan sebagai takaran hubungan dirinya dengan parpol-parpol. Konon Risma disebut-sebut sebagai orang kuat baru di blantika politik. Bahkan namanya (dalam survei) telah layak running Cawapres.

Hubungan antara Risma dengan kalangan parpol tidaklah cukup mesra. Bahkan selama November-Desember 2011 pernah akan dilengserkan. Saat itu fraksi-fraksi besar DPRD Kota Surabaya (Partai Demokrat, PDIP dan Golkar) telah sepakat bulat untuk melengserkan Walikota. Upaya pelengseran dilakukan melalui Hak Angket, memakai UU 32 tahun 2004 pasal 29 ayat (2) huruf d dan e.Bahwa Kepala Daerah diberhentikan karena melanggar sumpah (huruf d) serta tidak melaksanakan kewajiban (e).

Rapat paripurna DPRD Surabaya yang disyaratkan pasal 29 ayat (3) sudah dilaksanakan dengan keputusan memberhentikan Walikota. Bahkan berlanjut  memenuhi persyaratan ayat (4), dengan mengirim surat pemberhentian ke (Mahkamah Agung) untuk memeriksa Walikota. Andai saat itu MA memutus Walikota Surabaya terbukti bersalah melanggar sumpah, pastilah Risma sudah lengser.

Pasal 29 ayat (2) huruf d, memang tergolong pasal karet.” Siapapun Kepala Daerah-nya, bisa dituding melanggar sumpah. Dengan pasal itu, perilaku apapun dapat dinyatakan sebagai melanggar sumpah atau tidak melaksanakan kewajiban. Andai fraksi-fraksi di DPRD berhasil bersekongkol, pasal karet bisa dijadikan senjata ampuh. Lebih lagi konon, saat itu DPRD Kota Surabaya sudah melobi MA. Sehingga seolah-olah Risma bagai di ujung tanduk, tinggal menunggu hari.

Tetapi Walikota Tri Risma Harini (saat itu) sedang berada dipuncak popularitas. Risma memperoleh dukungan luas, masyarakat bersedia pasang badan. Elit parpol tingkat propinsi dan pusat (DPW dan DPP) tak ingin parpol menganulir kebijakan parpol Surabaya. Pada sisi lain Mahkamah Agung (MA) juga tidak sepaham dengan DPRD Kota Surabaya. Dukungan masyarakat hanya melihat kinerja Risma yang baik, tanpa altar politik.

Semula, tataran politik tiada yang mengenal Risma. Di jajaran Pemkot Surabaya, cukup banyak perempuan yang memimpin SKPD. Sehingga dalam Pilwali 2010, Risma bagai membonceng Bambang DH yang ingin tak boleh lagi menjadi calon Walikota. Tetapi karena masih ingin berkantor di Taman Surya, Bambang DH mengikuti pilwali Surabaya sebagai Wakil Wali kota. Terpilih lagi.

Namun publik (politik) Surabaya lebih memperhatikan Walikota. Ternyata, Tri Risma seorang pekerja keras, suka blusukan ke kampung-kampung, sampai ikut terjun mengatur lalulintas pagi hari. Pendek kata, Risma berkibar. Bambang DH bagai tenggelam dibalik popularitas walikota baru. Tetapi popularitas Risma,tidak menciptakan rasa nyaman kalangan politisi. Konon, karena Risma dianggap terlalu kenceng, (lurus) dan semau-gue.

Tidak nyaman, juga dirasakan oleh Wakil Walikota saat itu. Bambang DH sudah tiga kali minta mundur dari jabatannya. Niat mundur pertama disampaikan beberapa bulan setelah memenangi Pilkada. Disusul permintaan kedua pada bulan Pebruari 2011, dan yang ketiga disampaikan pada 22 Januari (2013). Namun ketiga permintaan mundur itu tidak disampaikan melalui jalur yang benar (pada DPRD Kota surabaya).

Kini, giliran Risma yang diisukan tidak nyaman dengan Wakil Walikota Wisnu Sakti Buana. Tetapi niat mundur Risma dicegah oleh berbagai kalangan secara luas. Warga kota Surabaya masih membutuhkan Walikota yang bekerja keras secara fisik, hadir ketika dibutuhkan dan cukup berani melawan siapapun (termasuk Gubernur dan pengusaha besar). Kelebihan lainnya, Risma ber-pembawaan lugu, kadang marah, kadang menangis.Tetapi semuanya masih bergantung pada Megawati Soekarnoputri. Konon Risma, meski tak nyaman bagi politisi daerah, namun cukup mesra dengan pucuk pimpinan DPP PDIPitu. *

Rate this article!