We Are A Nation In Waiting

NurudinOleh :
Nurudin
Penulis adalahDosen Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

Buku tulisan Adam Schwartz berjudul A Nation in Waiting yang terbit tahun 90an masih relevan untuk mengkaji konstekasi politik di tanah air. Buku yang pernah menjadi kontroversi saat Soeharto berkuasa itu menjadi sindiran bahwa kita menjadi bangsa yang sedang menunggu. Menunggu apa? Menunggu perubahan.
Pada waktu itu, Schwartz mengungkap kasus-kasus yang tidak pernah mencuat kepermukaan karena sengaja ditutupi pemerintah Ode Baru (Orba). Sebut saja misalnya soal kebijakan ekonomi, korupsi, geliat kaum Muslim, kian kuatnya peran  China di Indonesia sampai soal Timor Timur (sekarang Timor Leste). Berbagai gejolak ini kemudian mencuat secara transparan, sejak Soeharto turun dari jabatannya sebagai presiden tahun 1998, bahkan sampai sekarang.
Apakah perubahan-perubahan yang diharapkan masyarakat saat ini sudah terwujud sebagaimana tuntutan-tuntutan yang mencuat sejak lama? Sebagaimana sindiran Schwartz, kita masih menjadi bangsa yang sedang menunggu perubahan.
Sebenarnya ada banyak hal yang harus ditunggu di Indonesia. Perubahan yang diharapkan sejak dahulu seolah jalan di tempat. Memang mengalami perubahan, tetapi perubahan itu seolah hanya di permukaan. Ada hiruk pikuk geliat perubahan, tetapi seolah tidak menyentuh substansi isi. Perubahan hanya melingkar-lingkar di udara tanpa menyentuh tanah. Sebagai bukti, problem di masyarakat bukan kian berkurang seolah semakin menumpuk dan mengalami eskalasi.
Harapan Terlalu Besar
Sebenarnya, mengapa kondisi bangsa kita saat ini sebagaimana kita saksikan? Itu semua sangat mungkin terjadi karena harapan semua pihak yang terlalu besar atas perubahan di Indonesia. Sebagaimana diketahui, sejak Indonesia Merdeka (1945) harapan-harapan besar sudah diangankan.
Saat presiden Soekarno berkuasa, sendi-sendi bernegara sudah sedemikian ditancapkan kuat dalam pemerintahan. Namun demikian, sendi-sendi itu cenderung rapuh sejak Soekarno berkuasa terlalu lama, sementara keinginan elit politik lain di luar kekuasaannya untuk terlibat dalam kebijakan negara tak kalah tingginya.
Lihat misalnya hasrat partai komunis yang ingin ikut berkuasa waktu itu. Partai ini bisa jadi tidak akan ikut bermain di lingkar politik presiden jika presiden mawas diri untuk tidak berkuasa lama. Bibit-bibit perpecahan muncul sejak Muhammad Hatta (Wapres) mengundurkan diri karena sudah tidak cocok dengan presiden Soekarno. Hatta memutuskan mengalah untuk mundur.
Kemudian, Soekarno diganti Soeharto dengan Orde Baru (Orba)nya. Harapan rakyat sedemikian meletup tinggi agar Soeharto bisa mengantarkan bangsa ini ke arah kemajuan. Konflik politik pada era Soekarno ingin segera diakhiri.  Awal berkuasa tercapai stabilitas dan pertumbuhan ekonomi yang elok sebagai bangsa dengan penguasa baru.
Namun demikian, semakin lama berkuasa semakin banyak pihak yang dirugikan atas kebijakan Orba. Dimanapun dan kapanpun politik membutuhkan korban untuk langgengnya kekuasaan. Bahkan era Orba, rakyat yang tidak salah pun bisa menjadi salah kalau melawan kekuasaan. Era ini sangat terkenal dengan istilah “subversif”, “menentang pancasila”, “makar” dan lain-lain istilah yang diidentikan dengan melawan kekuasaan.
Saat Soeharto turun, harapan juga sedemikian tinggi sampai kekuasaan Habibie, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Joko Widodo (Jokowi). Namun demikian setiap ganti presiden persoalan tidak lantas berkurang. Habibie dianggap kurang tegas, Gus Dur terlalu menuruti keinginan dirinya, SBY terlalu santun dan Jokowi sedang diuji sekarang ini.
Soal Jokowi, menjadi masalah khas dalam pembahasan artikel ini. Tidak saja dia presiden sekarang tetapi ia juga menyisakan persoalan yang tidak semudah dari era sebelumnya. Jokowi adalah figur yang secara body language, gesture, face itu merakyat. Karenanya, harapan rakyat padanya tentu saja sangat besar. Ini tentu akan berbeda dengan presiden Indonesia sebelumnya yang berasal dari kalangan elit, baik secara institusional maupun individu.
Maka, rakyat berharap besar pada sosok Jokowi. Berbagai perubahan untuk mengantarkan bangsa ini ke arah perubahan dipikulkan di pundaknya. Ketika Jokowi terpilih, rakyat mengelu-elukan bak “dewa penyelamat” untuk masa depan Indonesia yang cemerlang. Harapan tinggal harapan karena mengelola negara tidak sebagaimana membalikkan telapak tangan. Rakyat juga tidak paham bahwa mengelola negara itu tidak sama dengan mengelola wilayah seluas Rukun Tetangga (RT).
Namun demikian, harapan yang besar itu sudah sedemikian mencuat dan muncul di permukaan. Jokowi tentu saja sadar akan hal ini, tapi ia juga tidak serta merta bisa memutuskan sendiri. Ia hanya eksekutif sebagai pelaksana kebijakan negara yang sudah digariskan. Bisa jadi, kekecewaan rakyat mulai tumbuh karena harapan yang sedemikian besarnya itu.
Dorong dan Awasi
Rakyat boleh berharap pada pemerintahan Jokowi. Tentu saja ia tidak hanya sekadar berharap terlalu tinggi, tetapi tidak ada tindak nyata. Rakyat kita juga harus dibiasakan dan membiasakan untuk membuktikan diri dalam tindakan. Sebab, sudah banyak orang yang suka bicara tetapi tidak ada tindakan konkrit. Berapa banyak anggota DPR, pengamat, mahasiswa, rakyat kebanyakan yang banyak bicara tetapi minim tindakan konkrit.
Jika ada program pemerintah yang bagus tentu harus didorong dengan cara apapun lepas dari suka dan tidak suka pada pemerintah. Lepas juga apakah ia dulu mendukung atau tidak mendukung presiden terpilih. Jika diamati dari pembicaraan sehari-hari atau yang dishare media sosial, banyak  individu yang belum bisa melepaskan perasan suka dan  tidak suka itu. Mereka yang mendukung Jokowi masih mendukung secara berlebihan, yang benci tidak jauh berbeda.
Demikian juga jika pemerintah melenceng tentu harus dikritik dan diawasi dengan seksama. Pemerintah atau kelompok pendukung Jokowi tidak usah gerah, bahwa kelompok itu dituduh hanya mengekspresikan kebencian. Sudah saatnya prasangka itu diubah dengan pemikiran jernih bahwa kritikan itu penting karena betapa sayang dan adanya harapan yang besar pada perubahan bangsa ini di masa datang. Kritikan tidak semata-mata dipandang sebagai sebuah rongrongan. Tentu saja, masing-masing orang mempunyai cara sendiri-sendiri dalam melakukan kritik. Kritik mempunyai dunianya sendiri.
Seorang guru tentu saja mengkritik dalam mengajar dengan memberikan pemahaman kepada siswanya. Guru jelas  tidak bisa  disamakan dengan mahasiswa yang suka demonstrasi di jalanan. Sementara itu yang bermedia sosial biarlah lewat media tersebut. Intinya adalah masing-masing orang mempunyai tugas masing-masing dan tidak bisa dipukul rata.
Inilah beberapa persoalan penting mendasar ke depan bagi bangsa yang bernama Indonesia. Bangsa Indonesia yang dalam kurun waktu lama menjadi bangsa yang sedang menunggu perubahan.

                                                                                                                  ————- *** ————-

Rate this article!
Tags: