WfH dan Momentum Belajar Kearifan

Slamet Yuliono

Oleh :
Slamet Yuliono
Guru SMP Negeri 1 Turen

Work from Home (WfH) bagi guru mempunyai tugas baru nan menarik. Menarik karena tugas yang seharusnya diberikan kepada peserta didik akan melibatkan orang tua (wali) sebagai pembimbing dan sekaligus berperan sebagai guru pendamping. Bentuk tugas yang (akan) diberikan kepada anak didik selain harus menyenangkan kalau bisa diberikan dalam bentuk riil (nyata). Bukan dalam impian nan semu, yang sulit diaplikasikan di kehidupan nyata. Contohnya, penerapan (tradisi di jawa) bila berkomunikasi dengan orang yang lebih tua (kakak, ayah/ibu) harus dilatih ‘unggah-ungguh’ atau sikap sopan santun dalam bertata krama.
Bila selama ini guru dalam memberi materi ajar di sekolah maupun tugas di rumah berbentuk teori ‘ansich’. Sejak pertengahan Maret 2020 gegara virus korona (covid – 19) mengharuskan peserta didik WfH, sehingga harus melakukan pembelajaran secara online. Inilah saat yang tepat guru, orang tua, dan peserta didik belajar tentang makna kehidupan dan kearifan diri

Membumikan Kearifan
Corona-19 adalah saat yang tepat bagi kita untuk benar-benar belajar menahan ‘ego’ masing-masing. Tidak untuk saling menyalahkan dan ‘nyinyir’ dari apa pun yang melatarbelakangi, Masing-masing kita sangat tidak pantas untuk merasa menang sendiri atau yang paling unggul kedudukannya. Ciptakan peran masing-masing sesuai dengan kewenangannya. Tugas guru yang meliputi mendidik, mengajar dan melatih. Mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup dan kehidupan. Mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan melatih berarti mengembangkan keterampilan-keterampilan pada peserta didik. Tidak merasa paling pintar, harus diikuti perkataannya dan tidak asal perintah.
Tugas orang tua tidak sebatas hanya memberi makan, minum, membelikan pakaian baru, dan tempat berteduh yang nyaman. Beberapa hal tersebut bukan berarti tidak perlu, sangat perlu. Namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mendidik anak. Beberapa tugas orang tua yang perlu diperhatikan adalah menanamkan pandangan hidup beragama pada masa kanak-kanak dalam keluarga. Membelajarkan anak untuk mengetahui dasar-dasar tanggung jawab. Membantu mengembangkan keberbakatan anak dengan cara menyekolahkan.
Tugas peserta didik selain belajar, juga harus memahami dan mempelajari materi yang diajarakan oleh guru, taat pada peraturan sekolah demi terciptanya kondisi sekolah yang kondusif, aman, nyaman dalam belajar, dan menjalani aktivitas selama di sekolah. Selain itu juga harus mematuhi tata tertib sekolah sebagai patokan dan kontrol perilaku di sekolah. Jika tata tertib dilangar maka akan mendapatkan sangsi atau hukuman. Patuh dan hormat pada guru artinya jika peserta didik ingin menjadi sosok yang cerdas haruslah patuh, taat dan hormat pada guru. Disiplin di sisi lain sebagi pembeda, ada sebuah istilah “kunci meraih sukses adalah disiplin” istilah ini memiliki makna yang kuat jika seseorang memiliki disiplin yang tinggi maka dia akan sukses. Begitu juga dengan peserta didik jika mereka memiliki disiplin yang tinggi maka dia akan dapat meraih cita-cita yang diinginkan. Menjaga nama baik sekolah juga perlu ditanamkan, dengan menjaga nama baik sekolah maka peserta didik dan sekolah akan mendapatkan nilai positif dari masyarakat.
Tri tunggal dalam upaya memajukan pendidikan bisa berjalan beriringan, kalau diantara kita mampu mengedepankan kearifan dalam bersikap dan berargumen. Kita yang terkenal dengan sebutan bangsa yang sangat taat beragama dituntut untuk mengembangkan dan mengasah kecerdasan spiritual ini.
Melalui kecerdasan itu, kita diharapkan mampu memaksimalkan kecerdasan yang lain secara holistis, intelektual, dan emosional. Rasionalitas digunakan sesuai dengan kapasitasnya sehingga jelas mana yang bersifat perintah, kepatuhan, kesadaran, dan mana yang dapat digabung atau tidak. Sebagaimana pula bagaimana kita melatih kecerdasan emosional kita yang berbasis spiritual sehingga kendali dan integritas kita menjadi lebih kuat.
Kebersamaan itu diharapkan dapat mengantarkan kita memahami keterbatasan diri, akal, dan pikiran kita. Keterbatasan diri mengantarkan pada kesadaran atas ketidakmampuan kita hidup sendiri tanpa bantuan dan dukungan yang lain. Ketika orang lain bersedih atau kena musibah, kita mutlak tidak sekadar bersimpati, tapi sekaligus berempati kepada yang lain.
Sekali lagi saat ini bukan saatnya kita saling menyalahkan. Tragedi ini di sisi yang lain ‘maaf’ patut kita syukuri. Tragedi kemanusiaan global untuk mengingatkan manusia agar lebih berhati-hati. Jangan memandang enteng terhadap segala permasalahan.

Catatan Kecil
Akhirnya, hikmah dari peperangan melawan korona dan kita diharuskan WfH tidak mungkin dimenangkan tanpa kerja sama yang kompak. antara pemerintah dan masyarakat, tanpa pandang etnis, agama, profesi, dan status sosial. Berikutnya, saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan sebuah catatan kecil.
Satu, kita salut pada kepekaan pemerintah (khususnya lingkungan pendidikan) yang dengan cepat merespon dan mampu memberi jalan keluar yang ‘brilian’ dalam upaya menghindari korban corona – 19 yang lebih besar. Dengan jalan pembelajaran daring, dan penyediaan fasilitas dengan merekomendasikan dana khusus bagi berlangsungnya kegiatan pembelajaran adalah solusi yang menyejukkan.
Dua, satunya kata antara peserta didik, orang tua, dan guru dalam mengantisipasi gagalnya proses pembelajaran. Penerapan daring sebagai antisipasi hilangnya tatap muka dalam proses pembelajaran sangat besar pengaruhnya. Apalagi dengan saling berkomunikasinya tiga komponen penunjang pengembangan pembelajaran.
Tiga, saling asah, asih, dan asuh menjadi pemandangan tersendiri dalam proses kegiatan ini. Belum pernah terjadi pembelajaran sekompak seperti ini. Selama ini pertemuan kegiatan ajar paling banyak hanya dua arah. Peserta didik dengan guru atau guru dengan orang tua. Kini dengan adanya ‘tragedi’ corona – 19 ini konsep tri tunggal pembelajaran benar-benar terwujud.
Empat, saatnya semua elemen bangsa sepakat untuk saling mendukung. Pemerintah, guru, siswa, dan orang tua mulai introspeksi diri. Mereka dituntut bersama-sama untuk memajukan bangsa, saling kerja sama. Bukan untuk saling menyalahkan dan menghujat.
Sekarang ini saatnya untuk membuktikan pada diri kita masing-masing, sudahkah kita mengaca pada tupoksi yang ada dalam diri kita. Bila belum terlaksana, mari kita ciptakan budaya paham akan arti kehidupan dengan mengedepankan kearifan. Kalau tidak sekarang kapan lagi. Semoga. [*]

Rate this article!
Tags: