Wujudkan Energi Berkeadilan Melalui Pengembangan Solar Cell

Materi paparan potensi PLTS Atap di Indonesia yang disampaikan Wakil Ketua Umum AESI Anthony Utomo dalam konferensi pers “Quo Vadis Energi Terbarukan : Masa Depan PLTS Atap di Mata Pengguna” secara daring, Senin (26/7)

Revisi Permen 49/2018 Akselerasi Pertumbuhan Energi Terbarukan

PLTS Atap Solusi Energi Berkelanjutan dan Bangkitkan UMKM Energi

Surabaya, Bhirawa
Akses energi merupakan prasyarat utama berlangsungnya pembangunan. Daerah yang mudah akses energinya akan maju dan berkembang, sementara yang kesulitan akses energi akan tertinggal. Artinya, terjadinya ketimpangan di sektor energi ini akan memantik ketidakadilan dalam masyarakat.

Wahyu Kuncoro SN, Wartawan Bhirawa

“Energi sangat diperlukan untuk berbagai fungsi pokok, misalnya penerangan, penyediaan air bersih, pendidikan, hingga fasilitas kesehatan,” kata pakar energi dari Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Prof Dr Iwan Vanany saat dimintai tanggapannya terkait kebutuhan energi, Senin (26/7).

Menurut Vanany, dari segi ekonomi, selain digunakan untuk mengoperasikan peralatan usaha dan industri, energi juga mampu meningkatkan produktivitas kerja dengan adanya penerangan dan akses komunikasi seperti telepon dan internet.

Pentingnya peran akses energi tegas Vanany, menjadikannya sebagai sebuah prasyarat pembangunan yang wajib terpenuhi.

Sayangnya, jelas Vanany ketersediaan akses energi ini belum sepenuhnya tercapai di Indonesia. Sebagai sebuah negara kepulauan, Indonesia menghadapi kendala geografis dalam mendistribusikan energi, terutama untuk masyarakat di daerah pelosok.

“Itu artinya, masih ada banyak penduduk di negara ini yang kesulitan atau bahkan belum bisa memenuhi kebutuhan dasarnya,” tegasnya

Untuk mengatasi ketidakadilan ini, menyediakan akses energi ke seluruh penduduk Indonesia bahkan hingga ke pelosok merupakan hal mutlak yang harus dilakukan pemerintah. Namun, pemerintah juga harus memastikan bahwa tidak hanya tersedia, akses energi juga harus terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat dan ramah lingkungan.

Menurut Vanany, menyediakan energi terjangkau saja tidak cukup, pemerintah juga harus melakukan transisi menuju sistem energi terbarukan dan rendah karbon yang terarah, konsisten, inklusif, dan memiliki target serta indikator yang jelas. Salah satu caranya adalah dengan memprioritaskan penggunaan energi terbarukan. Potensi besar energi terbarukan yang ada di Indonesia namun belum secara serius dimanfaatkan adalah energi surya (surya cell).

Mendorong Pengembangan Surya Cell

Energi terbarukan melalui Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap kini menjadi primadona dalam memenuhi kebutuhan bauran energi masyarakat dan industri. Hal ini bisa dilihat dari pertumbuhan pengguna PLTS Atap yang sangat signifikan. Demikian disampaikan Wakil Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Anthony Utomo saat bertemu wartawan secara daring, Senin (26/7). Dalam acara yang dikemas dalam bentuk konferensi pers dengan tema “Quo Vadis Energi Terbarukan : Masa Depan PLTS Atap di Mata Pengguna” tersebut juga menghadirkan Vice Director Samator Group Imelda Harsono dan juga pengusaha dari PT PIM Pharmaceutical Tirta Kusuma.

Menurut Anthony, merujuk dari data Kementerian ESDM, dari hanya 351 pengguna pada saat Maret 2018 melejit menjadi hampir 10 (sepuluh) kali lipatnya yakni 3472 pengguna pada Maret 2021 hanya dalam 3 (tiga) tahun terakhir. Pertumbuhan tersebut selain animo investasi masyarakat dan industri yang luas, juga dampak dari kebijakan PLTS Atap melalui Peraturan Menteri (ESDM) No 49/2018 yang memang memungkinkan pengguna PLTS Atap untuk bisa melaksanakan export atau mengirimkan energi yang dihasilkan dengan skema net metering dengan PLN, dihargai sebesar 65% dan dikembalikan dalam bentuk potongan tagihan pelanggan.

Menurut pelaku usaha penyedia solusi PLTS Atap dari kelompok usaha Utomodeck, momen ini harus disikapi pemangku kepentingan utama, antara lain PLN dengan lebih supportif agar timbul ekosistem yang lebih mendukung pencapaian target nasional energi terbarukan.

“Adanya minat yang tinggi di masyarakat dan pengguna harus didukung oleh ekosistem yang kondusif dan kebijakan yang implementatif di level teknis, khususnya PLN. Salah satu yang didorong oleh AESI adalah penguatan regulasi dalam bentuk perbaikan Permen 49/2018 agar bisa lebih mengakselerasi pertumbuhan energi terbarukan di Indonesia, tentunya ini akan memberikan multiplier effect akan tumbuhnya greenjobs dan menjadi salah satu alternatif pemulihan ekonomi di Indonesia” jelas Anthony. Lebih lanjut menurut Anthony salah satu program di AESI adalah penciptaan solarpreneur atau wirausahawan yang bergerak di bidang UMKM Energi. Usaha pemasangan PLTS Atap bisa berperan signifikan dalam penciptaan lapangan kerja di Indonesia. Namun, hal ini harus dilengkapi dengan kepastian dukungan sarana ekosistem dari PLN, karena itu untuk menghindari mispersepsi maupun diskursus informasi regulasi di lapangan.

“Kami mendorong untuk dibentuknya Help Desk bersama antara AESI, Kementerian ESDM dan PLN sehingga untuk kasus yang dialami, para pengguna memiliki kanal pengaduan yang jelas dan transparan,” tegasnya.

PLTS atap juga dapat menjadi solusi strategis pemerintah untuk penyediaan akses energi yang berkualitas, berkelanjutan, dan tidak membebani anggaran negara. Pemerintah dapat mengganti subsidi listrik untuk rumah tangga atau kelompok penerima subsidi lain dengan PLTS atap, sehingga mereka dapat menggunakan listrik yang cukup untuk kegiatan produktif dan bahkan tidak perlu membayar listrik. PLN akan diuntungkan dengan kelebihan listrik yang dapat diekspor, dan dalam jangka panjang subsidi listrik akan hilang seluruhnya. Pemasangan 1 GWp PLTS atap untuk penggantian subsidi listrik akan menurunkan jumlah subsidi hingga 1,3 triliun rupiah per tahun.

Meskipun masa depan dan tren PLTS Atap di industri energi terbarukan begitu menarik dan menjanjikan karena bisa memberikan penghematan pengguna dan mengurangi emisi karbon, ternyata di level implementasi ke pengguna masih perlu perbaikan sehingga lebih banyak pihak terpacu untuk menggunakan PLTS Atap sebagai bagian dari solusi bauran energi yang digunakan.

Misalnya pengalaman Tirta Kusuma dari PT PIM Pharmaceuticals, produsen farmasi dan obat-obatan yang memiliki beberapa fasilitas di Jawa Timur.

“Sebagai salah satu pelaku usaha kami melihat PLTS Atap ini adalah salah satu alternatif kami untuk makin kompetitif dan lincah karena bisa menghemat pemakaian listrik dan ikut melestarikan lingkungan. Sayangnya Permen 49/2018 yang begitu menarik belum dapat kami nikmati karena hingga saat ini kami belum bisa mendapatkan penyambungan net metering dari PLN di salah satu gedung kami, meskipun seluruh syarat sudah kami lengkapi sejak tahun lalu” Tirta menyampaikan.

“Harapan kami sebagai perusahaan yang harus menunjang kepastian pasokan obat-obatan dan vitamin kepada masyarakat di tengah pandemik tentunya bisa didukung dengan pembaruan Peraturan Menteri ESDM ini sehingga bisa ada kepastian dan transparansi permintaan Net Metering terhadap perusahaan kami” tambahnya.

Hal senada juga diungkapkan Imelda Harsono, Vice Director Samator Group yang juga Direktur PT Aneka Gas Industri Tbk.

“Pabrik Samator di Driyorejo adalah salah satu pionir pengguna energi terbarukan PLTS Atap yang sejak 5 (lima) tahun lalu diatas atap seluas 10.000 m2 atau 1 hektar dengan kapasitas 1 (satu) Megawatt Peak menggunakan investasi dari dana internal.” ujarnya Imelda berpendapat bahwa untuk mengakselerasi penggunaan PLTS Atap, para pengguna dengan investasi penggunaan nyata seperti Samator Group harus didorong dan bukan malah dianjurkan untuk hanya membeli sertifikat hijau.

“Beberapa waktu lalu kami diminta PLN untuk membeli REC atau dikenal dengan Renewable Energy Certificate agar insiatif PLTS Atap kami didukung PLN. Menurut kami selaku pengguna, REC ini adalah salah satu mekanisme yang kurang menarik, karena selain discourage pengguna untuk berinvestasi di PLTS Atap, traceability dari sumber energi terbarukannya juga akan susah dilacak. Bilamana belum ada insentif khusus bagi pengguna

seperti kami, setidaknya jangan dibebani dengan inisiatif yang menurut kami tidak terlalu bermanfaat seperti sertifikat hijau ini ” tambah Imelda

Terkait hal tersebut, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM. Dr. Dadan Kusdiana dalam berbagai kesempatan mengungkapkan draft terbaru revisi Permen 49/2018 ini akan mengembalikan tarif ekspor-impor listrik net-metering menjadi 1:1 sesuai Peraturan Direksi (Perdir) PLN No 0733.K/DIR/2013) yang sebelumnya dipakai, periode reset kelebihan transfer listrik diperpanjang dari 3 bulan menjadi 6 bulan, dan penyederhanaan proses pendaftaran serta penukaran kWh meter yang bisa dimonitor secara online. Perubahan ini sesuai dengan masukan berbagai pihak untuk meningkatkan keekonomian PLTS atap sehingga diadopsi lebih luas oleh masyarakat.

——- *** ——-

Tags: