Wujudkan Singkronisasi dalam Implementasi Memerangi Narkoba

Kabareskrim-Mabes-Polri-Komjen-Pol-Anang-Iskandar-saat-menjadi-pembicara-pada-acara-sosialisasi-nasional-UU-No-35-tahun-2009-tentang-narkotika-Selasa-54-di-Hotel-Garden-Palace.-[Abednego/bhirawa].

Kabareskrim-Mabes-Polri-Komjen-Pol-Anang-Iskandar-saat-menjadi-pembicara-pada-acara-sosialisasi-nasional-UU-No-35-tahun-2009-tentang-narkotika-Selasa-[5/4]-di-Hotel-Garden-Palace.-[Abednego/bhirawa].

(Persiapan Revisi UU Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika)
Surabaya, Bhirawa.
Adanya ketidaksingkronan dalam implementasi Undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika, berimbas pada penanganan kasus narkoba di kalangan seperti Kepolisian, BNN, Kejaksaan dan Pengadilan. Dari situlah genderang wacana revisi UU nomor 35 tahun 2009 semakin kuat didengar.
Pada acara sosialisasi nasional yang bertemakan “Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (implementasi dan permasalahan)” dan diadakan di Hotel Garden Palace, Surabaya, Selasa (5/4), turut hadir sebagai pembicara diantaranya Kabareskrim Mabes Polri Komjen Pol Anang Iskandar, Jampidum Kejaksaan Agung Nur Rohmat, SH. MH., dan anggota Komisi III DPR RI Hendry Yosodininggrat.
Menyoal tentang implementasi UU nomor 35 tahun 2009, Kabareskrim Mabes Polri mengaku telah memberikan TR terhadap para penyidik untuk tidak menahan penyalaguna narkoba, dalam hal ini pecandu.
Diakui Anang Iskandar,  memang penyalaguna merupakan criminal dan diancam dalam Pasal 127 dengan ancaman 4 tahun penjara. Namun melalui Team Assesmen Terpadu (TAT) akan diketahui apakah pelaku benar-benar seorang pecandu atau memang pengedar narkoba.
Jika pelaku memang murni sebagai pecandu narkoba, Anang mewajibkan untuk Ketua Majelis Hakim  dalam hal memutuskan rehabilitasi bagi pelaku.
“Hakim tidak perlu pusing, hukumnya wajib dan berwenang dalam memutuskan hukuman rehabilitasi bagi penyalaguna (pecandu) narkoba. Pengedar harus dipenjara, sedangkan penyalaguna harus direhabilitasi,” tegas Anang Iskandar pada pemaparan materi sosialisasi UU tentang narkotika, Selasa (5/4).
Rehabitasi yang merupakan kewajiban dan tanggungjawab dari Badan Narkotika Nasional (BNN), Kementerian Sosial (Kemensos), dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tertuang pada Pasal 54 UU No 35 tahun 2009 yang berbunyi “Pecandu narkotika dan korban penyalagunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial”.
“Pentingnya asesmen yakni guna mencari penyalaguna yang memang pecandu maupun pengedar. Jadi dengan adanya ini, penegak hukum jangan semena-mena dan berpatokan pada rehabilitasi. Kalau untuk pengedar, silahkan dipenjara saja,” ungkap pria yang pernah menjabat sebagai Kepala BNN ini.
Di sisi lain, anggota Komisi III DPR RI Henry Yosodiningrat mengaku saat ini Indonesia dalam bencana besar sindikat peredaran gelap narkoba. Tujuannya untuk menghancurkan bangsa Indonesia dengan merusak generasi penerus bangsa melalui narkoba. Adanya wacana revisi UU 35 tahun 2009 tentang narkotika didukung sepenuhnya oleh Henry.
Selain sebagai payung hukum bagi BNN, Henry mengakui bahwa semua pasal yang ada didalamnya merupakan kekuatan dalam upaya penyelamatan bangsa Indonesia dari bahaya narkoba. Pihaknya juga mengatakan perlu adanya singkronisasi antara KUHAP dan UU 35 tahun 2009, terkait adanya dualisme antara penyidik Polri dan BNN.
“Di lapangan sering terdengar adanya saling dorong antar instansi penegak hukum dalam pengusutan kasus narkoba. Dengan adanya wacana revisi UU No 35 tahun 2009, saya menjadi anggota DPR yang terdepan dan paling utama dalam mendukung revisi UU tersebut,” tegas Henry.
Sementara Direktur Hukum BNN Darmawel Aswar menampung semua usulan baik dari masyarakat, instansi penegak hukum, dan Komisi III DPR terkait revisi UU No 35 tahun 2009 tentang narkotika. Usulan revisi ini tidak lepas dari adanya kelemahan-kelemahan didalam UU No 35 tahun 2009. Khususnya pada UU yang menyebutkan Kepala BNN diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Tapi kenyataannya selama ini Kepala BNN setara dengan Eselon I.
“Kalau ini menjadi Eselon I, maka BNN akan sulit melakukan koordinasi, bahkan akan sulit bagi BNN sebagai vocal point P4GN. Jadi jangan Eselon I, tapi bisa diupayakan semua hak-hak Kepala BNN setara dengan Menteri,” pinta Darmawel.
Mengenai kegiatan penyidik BNN yang masih dipertanyakan, Darmawel menginginkan UU yang mengatur hal tersebut bisa diperkuat. Sebab dalam KUHAP memang tidak diatur. Selanjutnya dalam UU 35 No 2009 masih ada yang belum efektif, contohnya di Pasal 101 yang menyatakan kalau seluruh asset yang didapat dari tindak pidana narkotika dapat digunakan untuk kepentingan P4GN dan rehabilitasi. Namun sampai hari ini belum berjalan.
“Hal seperti inilah yang coba kita perbaiki. Sehingga melalui kegiatan ini diharapkan akan menghasilkan peraturan perundang-undangan yang lebih implementatif dan lebih berdaya tangkal tinggi terhadap laju perkembangan kasus penyalagunaan narkotika,” pungkasnya. [bed.adv]

Tags: