Xenofobia dan Islamofobia hingga Polarisasi

(Teror di Selandia Baru)

Oleh :
Hardi Alunaza SD
Dosen Prodi Ilmu Hubungan Internasional Fisip Universitas Tanjungpura.

Penembakan yang terjadi di Selandia Baru pada 15 Maret 2019 lalu bukanlah pembunuhan brutal pertama yang disiarkan langsung di Facebook. Seorang pejuang ISIS juga pernah menggunakan teknologi tersebut untuk mengakui pembunuhan seorang kapten polisi Prancis dan koleganya di tahun 2016. Pelaku memberondong Masjid Al-Noor dan Masjid Linwood Christchurch, Selandia Baru dengan senjata semi otomatis yang merenggut puluhan nyawa manusia. Di dalam artikelnya berjudul Global terror and the rise of Xenophobia/Islamophobia: An analysis of American cultural production since September 1 yang terbit di Jurnal Islamic Studies Volume 49, Nomor 4 pada tahun 2010, Muhammad Safeer Awan seorang peneliti dari Islamabad menulis bahwa serangan teroris yang dicurigai berasal dari kelompok Islam pada 11 September 2001 di New York menjadi pemicu bangkitnya sentimen Islamofobia dan Xenofobia di Amerika Serikat, Eropa termasuk di Selandia Baru.
Kasus teror yang terjadi ini dapat memicu Xenofobia, Islamofobia, dan juga polarisasi. Bagi pihak yang merasa terancam dengan kehadiran pihak asing dari negara lain, maka kasus teror ini mereka katakan sebagai gejala Xenofobia. Ketidaktertarikan terhadap penduduk negara lain yang dianggap mengancam eksistensi mereka kemudian dijadikan anggapan untuk terus meneruskan kebiasaan mereka untuk melakukan aksi teror. Kebencian ini yang melahirkan pandangan dan mengancam pelaku dimana pelaku sudah gagal berinteraksi dengan para pendatang. Kasus yang serupa juga pernah muncul di Amerika dengan kelompok Ku Klux Klan (KKK) yang dibentuk pada 1865 di Tennessee. Kelompok ini memiliki kebencian terhadap orang-orang kulit hitam, Yahudi, dan Katolik. Sehingga mereka tega menyiksa orang-orang kulit hitam di depan publik, dan membakar rumah mereka. Konsep pemikiran ini kemudian terus berkembang, sehingga yang menjadi sasaran tidak hanya kulit hitam, tetapi juga para imigran. Permasalahan seperti ini yang menjadi dasar problematik yang menyerang fondasi Negara Barat.
Sementara Islamofobia adalah pandangan bagi mereka yang melihat bahwa aksi teror ini adalah bentuk dari diskriminasi dan prasangka buruk terhadap Islam. Sehingga Islam dan yang berhubungan dengan Islam disudutkan untuk mendapatkan pembenaran untuk melakukan aksi kekerasan dan teror. Mereka berpandangan bahwa muslim itu mengancam keturunan, budaya, dan agama mereka sehingga kebencian itu dilangsungkan dalam aksi teror. Aksi yang dilakukan oleh pelaku pada penembakan di Selandia Baru tersebut dinilai memicu aksi balas dendam dari kelompok Islam Radikal. Muslim yang memiliki paham radikal akan menjadikan isu tersebut sebagai ide untuk menciptakan serangan balasan. Padahal sejatinya tidak ada dalam Islam aksi terorisme yang mengatasnamakan agama. Apalagi sampai menyampaikan bahwa Islam adalah dasar untuk melakukan tindakan kekerasan.
Kasus di Selandia Baru dapat memicu adanya polarisasi masyarakat khususnya bangsa Indonesia. Kelompok masyarakat yang pertama akan melihat kasus ini sebagai wujud dari multikulturalisme yang berkembang di Selandia Baru. Melalui proses jauh saat melihat banyaknya ragam budaya, kepercayaan, dan etnis yang berbaur menjadi satu. Sementara, efek negatif dari isu tersebut adalah adanya pihak yang mencoba mencari pembenaran untuk melakukan aksi pembalasan dendam.
Ada beberapa hal yang dapat menjadi pembelajaran dari kasus teror yang dilakukan oleh pejuang supremasi kulit putih di Selandia Baru. Pertama, memberikan perhatian yang berkelanjutan kepada ekstremis sayap kanan. Hal itu dikarenakan adanya kemungkinan ideologi yang memotivasinya telah menyebar di seluruh dunia dan telah menggerogoti kehidupan perpolitikan. Berdasarkan penelitian Anti-Defamation League dalam satu dekade terakhir 73,3% dari semua tragedi yang melibatkan ekstremisme di Amerika Serikat dapat dihubungkan dengan ekstremisme sayap kanan. Sementara, 23,4% dapat dihubungkan dengan ekstremisme Islam. Sungguh jelas bahwa dibutuhkan usaha untuk melindungi komunitas muslim dari aksi kekerasan dan lebih memberikan perhatian kepada ideologi fasisme. Sebab mereka menopang baik kelompok sayap kanan maupun orang-orang yang melakukan aksi kekerasan atas identitas Islam.
Adanya kecenderungan politik yang menganggap bahwa Selandia Baru hidup dalam lingkungan internasional yang aman dan damai. Sehingga kasus teror ini menjadi bukti bahwa hal tersebut tidak sepenuhnya benar. Selandia Baru juga perlu menentukan secara ulang Kebijakan Luar Negeri dan keamanan mereka dalam proses deradikalisasi baik di dalam negeri maupun luar negeri. Program pencegahan yang berlangsung di Inggris telah menunjukkan keberhasilan dalam pencegahan ekstremisme sayap kanan, model yang mungkin baik untuk diikuti. Pelajaran lain adalah berhubungan dengan proses radikalisasi. Kita perlu mengerti lebih baik mengapa orang yang melakukan pembunuhan massal meyakini hal-hal yang penuh kebencian tersebut. Ini jelas permasalahan sosial yang serius yang disebabkan oleh banyak hal, termasuk perubahan demografis, ketimpangan, kemiskinan, dan kurangnya pendidikan. Kita harus sadar bahayanya reaksi berlebihan, tetapi penting juga untuk melipatgandakan usaha kita membentuk strategi berlapis dan empiris yang menyasar radikalisme untuk menemukan penyebab ekstremisme yang berasal dari faktor global dan juga lokal.

———- *** ————

Tags: