Yatim Dampak Pandemi

foto ilustrasi

Sudah banyak pasien CoViD-19 usia produktif (25 hingga 50 tahun), tidak tertolong jiwanya, dengan meninggalkan anak berstatus yatim. Pemerintah seyogianya telah membuat road-map penanganan anak yatim dampak pandemi. Terutama segera menyusun pola pengasuhan, menyediakan dukungan psikologi, perlindungan sosial (ekonomi dan pendidikan). Hingga kini belum terdapat data valid tentang jumlah anak yatim dampak pandemi. Namun hak anak yatim dijamin konstitusi.

Kesedihan mendalam telah dialami Arga (13 tahun), bersama tiga saudara sekandungnya. Nasib yang sama dialami tiga anak bersaudara di Gresik Jawa Timur. Juga terjadi di Banten, Jawa Barat, dan Jawa Tengah, serta di seluruh Indonesia. Pandemi global semakin menambah kisah pilu, dengan bertambahnya anak-anak yang harus berjuang hidup sendiri. Hidup sebatang-kara, karena orangtua meninggal dunia akibat CoViD-19.

Jumlah yatim piatu bertambah sebanyak 1,5 juta anak di seluruh dunia. Yakni, anak-anak yang ditinggal orangtua kelompok usia produktif dengan tingkat kegiatan paling padat. Usia 25 hingga 50 tahun, meliputi sepertiga jumlah kematian akibat pandemi. Prakiraan Badan Perlindungan Anak sedunia, setiap kasus kematian CoViD-19 pada rentang usia produktif, patut diantisipasi meninggalkan anak yatim. Pada lingkup nasional, data kematian akibat CoViD-19 sebanyak 90 ribu jiwa.

Potensi usia produktif yang meninggal mencapai 30 ribu orang jiwa. Sehingga potensi anak yatim dampak CoViD-19 minimal sebanyak 30 ribu jiwa. Potensi ini menjadi keniscayaan, tersebar di seluruh Indonesia. Menjadi kewajiban pemerintah memiliki data valid tentang jumlah anak yatim baru. Tidak sulit, karena seluruh kematian dampak CoViD-19 pasti diketahui (dan terdata) oleh pemerintahan desa, kelurahan, serta Puskesmas.

Anak-anak Indonesia sesungguhnya memiliki benteng perlindungan yang cukup kokoh. Dijamin konstitusi sebagai hak asasi manusia (HAM) khusus anak. Tercantum dalam UUD pasal 28-B ayat (2), mengamanatkan: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dan kekerasan dan diskriminasi.” Juga masih ditambah pasal 34 ayat (1), dinyatakan, “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.”

Konstitusi diperkuat regulasi lex specialist, berupa UU Nomor 17 Tahun 2016 tetang Perlindungan Anak. Istimewanya UU Perlindungan Anak telah mengalami penyempurnaan tiga kali. Dalam pasal 60 huruf c, tercantum khusus tentang anak korban bencana. Namun walau telah diubah tiga kali, terasa bahwa UU tentang Perlindungan Anak, masih revisi perbaikan. Terutama norma aturan yang mengatur anak yatim piatu (kaya maupun miskin).

UU Perlindungan Anak, belum menampung HAM anak korban pandemi. Hanya terdapat pasal 45 ayat (2), yang menyatakan, “Dalam hal orangtua dan keluarga yang tidak mampu melaksanakan tanggungjawab … Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memenuhinya.” Nampaknya, DPR periode 2014-2019 tidak menduga bakal terjadi pandemi global. Namun HAM anak tidak berkurang, karena telah di-cover eksplisit dalam UUD pasal 28-B ayat (2).

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bersama Komnas Anak, patut bekerja ekstra keras. Kini telah terdapat Sistem informasi online perlindungan anak, ditambah call center Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129. Berbasis data Puskesmas, dan Kepolisian Sektor (Polsek di tingkat kecamatan). SAPA 129, bisa menghimpun partisipasi masyarakat mengurus anak yatim dampak pandemi.

Satgas Penanganan CoViD-19 (pusat dan daerah) kini tidak hanya mengurus wabahnya. Tetapi juga wajib mengurus dampak ke-rentan-an perlindungan generasi penerus. Anak-anak yang kehilangan orangtua (dan sanak kerabat pengasuhan) rentan gangguan kesehatan mental, dan penyakit kronis.

——— 000 ———

Rate this article!
Yatim Dampak Pandemi,5 / 5 ( 1votes )
Tags: