YLKI: Migrasi Daya ke 1.300 VA, Beban Ekonomi Warga Naik 300%

Foto: ilustrasi

Foto: ilustrasi

DPR Sebut Pemerintah Menjurus ke Neolib
Jakarta, Bhirawa
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menolak rencana pemerintah yang menghapus subsidi listrik dengan daya 450 VA dan 900 VA untuk dimigrasikan ke daya 1.300 VA. Hal ini dinilai akan semakin menambah beban ekonomi masyarakat hingga mencapai 300%.
Kepala YLKI Tulus Abadi mengakui memang rencana ini bukan mencabut subsidi listrik, namun untuk memperjelas pemberian subsidi yang semestinya diberikan pada 24,7 juta pelanggan PLN dari total 48 juta pelanggan PLN penerima subsidi.
Namun, Tulus menegaskan, tidak setuju dengan skema yang ditetapkan PLN untuk memigrasikan seluruh pengguna 450 VA dan 900 VA ke 1.300. Pasalnya, tarif mekanisme tersebut akan dilepas ke pasar karena menjadi harga keekonomian dan masyarakat tidak akan sanggup mengikuti hal tersebut.
“Memang sejak 2003 tarif listrik berdaya 450 VA dan 900 VA belum ada penyesuaian. Tapi cara ngurangin subsidi itu saya tidak setuju, karena beban ekonomi warga akan semakin berat. Itu nanti kenaikan antara 200-300 persen. Misalnya tagihan semula per bulannya Rp 150 ribu akan jadi Rp 400 atau Rp 500 ribu, ” tuturnya dalam diskusi bertajuk ‘Energi Kita’ di Dewan Pers, Jakarta, Minggu (1/11).
Tulus mengatakan, sebaiknya skema migrasi dilakukan secara bertahap untuk penetapan tarif listriknya. Misalnya per tiga bulan dalam satu tahun kenaikan listrik dinaikkan 20 persen misalnya. “Skema bertahap ini, supaya masyarakat yang migrasi bisa menyiapkan diri. Tapi jika langsung migrasi tanpa bertahap, akan memberatkan,” tuturnya.
Tulus juga mengungkap masyarakat telah terjerat informasi yang tidak lengkap dan kurang mendukung. Ibaratnya mereka kena ‘jebakan Batman’ terkait penaikan tarif listrik beserta instrumennya.
“Masyarakat ditawari konsumsi listrik rumah tangga 1.300 VA dengan iming-iming tambah daya gratis, namun setelah itu tarif listrik 1.300 VA ke atas, naik secara otomatis bersama mekanisme pasar. Ini namanya ‘jebakan Batman’,” katanya.
Ia menjelaskan indikasi mekanisme pasar adalah kurs rupiah, harga minyak mentah dunia dan inflasi, itu yang akan diprotes. “Kalau semua tarif diserahkan ke mekanisme pasar, lalu apa peran negara dalam hal ini?,” tanya Tulus.
Dijelaskannya rencana pencabutan 450 VA dan 900 VA ini hanyalah kedok untuk menaikkan tarif agar sesuai dengan harga mekanisme pasar. “Kalau memang begitu maka wajib diprotes, karena tidak ada intervensi negara dalam menentukan tarif,” katanya.
Tulus Abadi juga menjelaskan banyak masyarakat yang tidak mengerti, ketika pindah ke 1.300 VA risikonya serius dengan tarif rupiah per Kwh. Seolah katagorinya sama, padahal 1.300 VA untuk golongan mampu.
“Masyarakat banyak yang dipaksa atau ditodong langsung pindah ke sistem token, walau menurut aturan seharusnya tidak diwajibkan. Daya juga ditingkatkan ke 1.300 VA secara gratis, mereka tidak mengerti konsekuensinya,” katanya.
Sebelumnya, Sekretaris Perusahaan PT PLN Adi Supriono menjelaskan tarif listrik dengan daya 900VA akan dihitung sama dengan tarif berdaya 1.300VA mulai 1 Januari 2016. “Nanti yang dimigrasi tarifnya. Kalau dia mau tetap pakai 900VA tidak apa-apa, cuma harganya jadi beda listrik yang 900VA dan yang non subsidi,” ujar dia di Kantor Pusat PLN.
Adi mengatakan PLN tidak akan memaksa pelanggan menaikkan daya listrik, tetapi masyarakat mampu yang tetap menggunakan daya 450VA dan 900VA akan dikenakan tarif non subsidi seperti pengguna daya 1.300VA.
Hingga akhir 2015, ujar dia, PLN menawarkan penambahan daya dari 900VA ke 1.300VA tanpa dipungut biaya untuk mendorong masyarakat berpindah dari penggunaan daya 900VA yang disubsidi ke 1.300VA yang tidak disubsidi.
Pemerintah berencana menghapus subsidi listrik daya 450 VA dan 900 VA dan dimigrasikan ke daya 1.300 VA. Rencana tersebut diklaim sebagai upaya untuk menerapkan subsidi listrik yang tepat sasaran.
Sementara itu ekonom Universitas Indonesia Riyanto mengatakan, jika skema pemerintah hanya melakukan migrasi listrik berdaya 450 VA dan 900 VA ke 1.300 malah akan menjadi beban masyarakat. Hal tersebut karena pembayaran listrik yang dilakukan tiap bulannya akan berubah drastis, naik hingga 300 persen dari biasanya.
Sebaiknya pemerintah menerapkan cara bagi masyarakat yang mampu menghemat penggunaan listrik hingga 80 kwh diberikan harga khusus atau gratis pembayaran listrik. Selain efektif bagi masyarakat, ini juga menerapkan skema hemat listrik.
“Itu bisa diterapkan. Masyarakat bisa hemat listrik, dan hemat pengeluaran tentunya. Dibandingkan tiba-tiba langsung memigrasi, bebannya tentu akan beda,”ujar Riyanto dalam diskusi ‘Energi Kita’ di Gedung DPR.
Dijelaskannya jika masyarakat bisa melakukan hal tersebut, kenaikan bisa dilakukan secara bertahap.

Sistem Pengawasan Diperbaiki
Rencana pencabutan subsidi listrik terhadap 23 juta kepala keluarga mendapat kritik dari Komisi VII DPR RI. Pasalnya, pengguna listrik 450VA kebanyakan adalah masyarakat kecil.
Anggota komisi VII Ramson Siagian, mengatakan sejauh ini belum ada kesepakatan antara DPR dengan pemerintah mengenai rencana yang berlaku pada 2016 ini.
“Justru seharusnya masyarakat kecil dilindungi. Makanya kami terkejut ketika pemerintah mau mencabut subsidi pelanggan 450 VA,” ujarnya saat diskusi bertajuk ‘Dampak Pencabutan Subsidi Listrik terhadap Perekonomian’ di Jakarta,  Minggu (1/11).
Namun memang telah ada keputusan antara komisi VII dengan pemerintah dan PT PLN agar pengawasan pemberian subsidi listrik lebih efektif. Harus ada inovasi bentuk satu sistem sehingga pengguna 450 VA adalah masyarakat yang benar-benar berhak.
Pasalnya, selama ini ada indikasi bahwa subsidi tersebut tidak tepat sasaran. “Bukannya malah mencabut subsidi semua pelanggan listrik VA, tapi sistem pengawasannya yang diperbaiki,” kata pria yang juga menjabat sebagai Ketua DPP Partai Gerindra ini.
Komisi VII akan segera memanggil pihak dari PLN dan Kementerian ESDM untuk menjelaskan kebijakan baru tersebut. “Karena yang harus memutuskan ini bukan PLN, tapi pemerintah. PLN hanya bertindak sebagai operator saja,” ujarnya.
Masyarakat kecil, kata Ramson, belum siap bersaing dan masih butuh proteksi dalam hal ini subsidi. Komisi VII menginginkan subsidi dicabut bagi masyarakat yang sudah mampu, namun bukan dengan jalan mencabut subsidi listrik 23 juta kepala keluarga.
Komisi VII telah menyetujui anggaran subsidi listrik pada APBN 2016 sekitar Rp 50 triliun, namun pemerintah menurunkannya menjadi Rp 39 triliun. Fraksi Gerindra menilai APBN tersebut tidak pro rakyat. “Harusnya anggaran ini memihak ke rakyat, jangan malah menjurus ke neolib,” kata Ramson. [ins,okz]

Tags: