YLKI Sebut Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Langgar Nawa Cita

Foto: ilustrasi

Foto: ilustrasi

Surabaya, Bhirawa
Rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan per 1 April 2016 terus menuai reaksi banyak pihak. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) terang-terangan menilai kenaikan iuran BPJS Kesehatan merupakan sebuah kebijakan yang kontra produktif.
Ketua Pelaksana Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan sampai detik ini BPJS belum mempunyai standar pelayanan minimal yang jelas. Sehingga, hampir di semua lini pelayanan BPJS Kesehatan masih sangat mengecewakan.
“Masih banyak pasien yang ditolak opname di rumah sakit tanpa alasan yang jelas. Banyak kekecewaan seperti obat tertentu yang tidak ditanggung, dan antrian panjang, hingga pasien menjemput ajal karena belum ada tindakan medis,” ujar Tulus dikonfirmasi, Senin (14/3).
Selain itu, kenaikan iuran BPJS juga merupakan pelanggaran prinsip kegotongroyongan yang menjadi ‘jiwa’ asuransi sosial dalam BPJS. “Jika iuran BPJS terus dinaikkan, apa bedanya BPJS dengan asuransi komersil? Kenaikan iuran BPJS bisa dikategorikan melanggar Nawa Cita,” terangnya.
Tulus memandang, kalaupun pemerintah ingin menaikkan iuran BPJS, seharusnya yang dinaikkan adalah peserta PBI, yang menjadi tanggungan negara. Pemerintah harus menambah besaran iuran PBI sebagai tanggungjawab konstitusional negara, bahwa kesehatan adalah hak asasi warga negara.
Manajemen BPJS dan juga pemerintah, kata Tulus, jangan beranggapan setelah ada BPJS tidak serta merta masyarakat tidak mengeluarkan belanja kesehatan, selain BPJS.
“Justru yang terjadi sebaliknya, masyarakat lebih banyak mengeluarkan budget kesehatan (fee for service) sebagai akibat masih buruknya pelayanan BPJS,” tutur dia.
Berapa pun iuran yang diberikan BPJS, maka finansial BPJS akan tetap defisit, bahkan jebol jika belum ada perbaikan fundamental dari sisi hulu.
Sementara itu Ketua Komisi IX DPR RI Dede Yusuf menyatakan yang menjadi permasalahan kenaikan iuran BPJS Kesehatan adalah bukan terletak pada harga kenaikan iurannya.  Namun, ungkapnya, yakni terkait pelayanan yang selama ini disebut-sebut tidak memuaskan.
“Masalahnya bukan kemahalan, tetapi seperti perbaikan pelayanan yang harus dilakukan. Jika dalam setahun ini sudah baik, mungkin tahun berikutnya tidak apa-apa dinaikkan,” ujar Dede.
Dede menyampaikan bahwa DPR tidak mengizinkan untuk kenaikan premi, melainkan lebih kepada memberi solusi lain, selain kenaikan tarif.  Misalnya, memperbaiki sistem Indonesian Case Base Groups (Ina-CBG), mendorong perusahaan swasta untuk mendaftarkan pegawainya ke BPJS Kesehatan dan sebagainya.
Untuk diketahui, Presiden RI Joko Widodo telah meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 19 Tahun 2016 untuk menetapkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang efektif berlaku pada 1 April 2016 mendatang. Kenaikan iuran BPJS Kesehatan berlaku untuk semua golongan, yakni golongan satu hingga tiga.
Iuran BPJS Kesehatan mandiri, untuk kelas 3 yang awalnya 25.500 menjadi 30.000, dan kelas 2 dari 42.500 menjadi 51.000 dan kelas 1 dari 59.500 menjadi 80.000. Selain itu iuran untuk peserta PBI (Penerima Bantuan Iuran) pada aturan sebelumnya sebesar Rp 19.225 per orang per bulan, nantinya naik menjadi Rp 23.000.
Berdasarkan Pasal 16F Ayat 2, aturan tersebut akan mulai diberlakukan pada 1 April 2016. Besaran iuran merupakan hasil akhir yang telah disepakati antara Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan, dan BPJS Kesehatan.
Adapun, besaran iuran itu didasarkan pada penyesuaian tarif ditinjau dua tahun sekali dan berkaca dengan laporan keuangan 2015 yang mengalami defisit anggaran sebesar Rp 5,85 triliun.

Intervensi Teknis Pembiayaan RS
Sementara itu sebagai mitra BPJS Kesehatan, RSUD Dr Soetomo meminta kenaikan iuran BPJS dapat berpengaruh positif bagi perkembangan dan kemajuan rumah sakit.
Kepala Pelayanan RSUD Dr Soetomo Dr Joni Wahyuhadi dr SpBS, menjelaskan untuk tindakan besar seperti operasi pada pasien, Soetomo mengalami ketidakcocokan besaran pembiayaan dan klaim BPJS Kesehatan hingga Rp 50 miliar pada 2014. Jumlah dengan besaran yang hampir sama diperkirakan juga ditanggung selama 2015. “Untuk besaran biaya pada 2015 masih dalam hitungan, tetapi perkiraan hampir sama dengan 2014,” ujarnya.
Menurutnya, sebagai rumah sakit tersier, Soetomo telah menangani banyak pasien. Akan tetapi pada kenyataannya pasien yang berada di Soetomo tidak hanya pasien dengan penyakit berat, melainkan pasien dengan penyakit tidak berat terkadang dirujuk ke Soetomo. Untuk menolak pasien Soetomo tidak bisa lantaran peraturan yang mengharuskan Soetomo harus menanggani pasien BPJS.
Lebih lanjut Joni mengungkapkan, selain tidak dapat menolak pasien, saat ini Soetomo mengalami kebinggungan dalam membiayai pasien BPJS Kesehatan. Pasien dengan penyakit berat dan membutuhkan operasi harus mendapatkan prioritas utama dalam pelayanan. “Kami sudah menjadi rumah sakit yang sesuai fungsinya. Menjadi rujukan RS tersier, akan tetapi pasien yang membutuhkan pengobatan berat, biayanya tidak dapat dikaver atau diklaimkan BPJS,” katanya.
Dicontohkannya, untuk menangani satu pasien, pihak rumah sakit pernah menghabiskan biaya hingga Rp 1,2 miliar, namun yang didapatkan dari BPJS hanya berkisar Rp 30 juta. Sehingga untuk menganut peraturan Menteri Kesehatan untuk penyisihan 44 persen BPJS Kesehatan untuk biaya dokter sangat tidak mungkin, hal ini lantaran biaya alat dan obat saja kurang. ”Seharusnya BPJS bertindak sebagai pengawas pembiayaan, bukan pengatur teknis pembiayaan. Sehingga selama ini rumah sakit banyak menanggung biaya berobat pasien karena klaim yang jumlahnya tidak sesuai dengan pengobatan yang dibutuhkan,” tegasnya.
Kepala Dinkes Dinkes Jatim dr Harsono mengaku, pihaknya mendukung upaya pemerintah dalam menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Kenaikan ini akan berdampak positif bagi pelayanan kesehatan di rumah sakit, Puskesmas dan dokter keluarga. Jika dilihat sampai sampai saat ini pelayanan keseluruhan BPJS Kesehatan di Jatim sudah baik, akan tetapi perlu ditingkatkan kembali. ”Saya menduga jika ada pelayanan kesehatan yang buruk di rumah sakit maka oknum rumah sakit saja yang melakukannya,” ucapnya.
Ke depan Harsono meminta sebagai pengambil kebijakan diharapkan BPJS Kesehatan lebih tegas dalam memberlakukan sanksi kepada rumah sakit yang nakal dalam memberikan pelayanan kesehatan dan pengklaiman iuran pasien PBJS. ”Dinkes akan membantu BPJS Kesehatan dalam menertibkan rumah sakit nakal, akan tetapi untuk sanksi pemutusan kerjasama antara rumah sakit dengan BPJS Kesehatan, BPJS Kesehatan yang lebih berhak memutuskannya,” ucapnya. [dna,geh,ins]

Tags: