Zakat dan Wakaf Memberdayakan Umat

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan senior, penggiat dakwah sosial politik

Potensi zakat dan wakaf bagai “sumur uang” yang takkan habis ditimba. Berdasar syariat, negara memiliki wewenang mengelola. Namun tidak dapat digunakan selain untuk memberdayakan fakir miskin. Setiap tahun, zakat ditebar oleh aghniya’ (keluarga kaya) kepada keluarga fakir miskin. Tetapi yang dibutuhkan, bukan sekadar beras untuk konsumsi sepekan, melainkan “kail” sebagai modal kerja. Agar keluarga miskin bisa memberi zakat pada tahun berikutnya.
Zakat pada tataran kaidah agama, merupakan “buah” (bukti) ke-iman-an, sebagai pilar utama ibadah. Diantara bentuk-bentuk ke-saleh-an, zakat memiliki posisi tertinggi, selain shalat. Dalam AlQuran sering disebut bersama-sama (dalam satu kalimat ayat) dengan kata (perintah) shalat. Bahkan beberapa ulama sepakat, bahwa tidak sempurna ibadah, manakala tida disertai zakat. Dalam AlQuran, perintah zakat disebut lebih dari dua puluh kali.
Perintah zakat berkembang sesuai pencerahan zaman. Awalnya, zakat hanya berupa zakat fitrah. Yakni, pen-suci-an ibadah puasa Ramadhan. Pada beberapa hadits, Kanjeng Nabi Muhammad SAW, mewajibkan zakat sebagai pembersih dari perilaku (dan kata-kata) yang tidak baik pada saat puasa. Zakat fitrah, ditunaikan oleh kepala keluarga, sebanyak anggota keluarga yang ditanggungnya (termasuk pembantu). Masing-masing jiwa wajib memberi menu makanan utama (terbaik) kepada fakir miskin, dengan takaran berat 2,7 kilogram.
Pada perkembangan pencerahan, perintah pemungutan zakat juga diwajibkan terhadap harta orang muslim yang kaya. Zakat harta (mal), berlaku untuk kekayaan berupa simpanan uang, emas dan aset bergerak (kendaraan). Tidak seluruh harta dikenakan zakat, kecuali yang melebihi “nishab” (batas minimal kekayaan). Logam mulia emas, menjadi takaran kurs nishab, yakni seberat 90 gram. Kekayaan lain, di-kurs dengan hargta emas seberat 90 gram (sekitar Rp 3 juta).
Zakat mal, dipungut sekali setahun dengan nilai 2,5%. Maka, untuk kekayaan minimal senilai Rp 3 juta, wajib dikeluarkan zakat hanya sebesar Rp 75 ribu. Namun untuk kekayaan berupa hasil pertanian (dan pertambangan) diberlakukan perhitungan khusus. “Nishab” hasil panen minimal seberat 815 kilogram (kurang dari itu tidak wajib zakat). Misalnya, hasil pertanian dari ladang tadah hujan, zakatnya sebesar 10%.  Tetapi ladang dengan irigasi teknis, nilai zakat-nya cuma 5%.
Pada masa kini, kekayaan berupa deposito (dan tabungan di bank) juga wajib di-zakati. Setara dengan keuntungan hasil perdagangan. Nilai zakat kekayaan deposito dan bisnis (perdagangan), adalah setara dengan zakat mal, sebesar 2,5%. Nishabnya, saat ini minimal sekitar Rp 3 juta. Gampangnya, keluarga kaya cukup men-jumlah-kan kekayaan, dan berzakat senilai 2,5%. Kecuali usaha pertanian (agro-bisnis), diberlaku kalkulasi zakat hasil pertanian dan pertambangan.
Manajemen Zakat
Jumlah total zakat tahun (2017) ini, ditaksir sebesar Rp 350 trilyun lebih. Angka ini diperoleh dari pertumbuhan nilai zakat per-tahun sebesar 8%. Sedangkan nilai zakat pada tahun 2015, ditaksir telah melebihi angka Rp 300 trilyun. Tetapi yang disalurkan melalui Baznas (Badan Amil Zakat nasional) hanya sekitar Rp 3 trilyun. Cuma 1%, itupun dilakukan oleh kalangan pejabat. Boleh jadi disebabkan sosialisasi yang kurang.
Namun sepinya zakat melalui pengelolaan negara juga bisa disebabkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah sangat rendah. Terbukti, zakat yang terbesar (99%) diserahkan kepada organisasi yang dikelola masyarakat. Rakyat secara komunal telah terbiasa mengelola zakat dan wakaf, selama ber-abad-abad, jauh sebelum lahirnya negara Republik Indonesia. Sehingga zakat (dan wakaf) bagai dari rakyat untuk rakyat.
Rezim terdahulu (zaman presiden Soeharto), pemerintah pernah memiliki lembaga amal yang cukup kuat. Bukan lembaga resmi kenegaraan, tetapi dipimpin oleh presiden. Didirikan pada tahun 1982, diberi nama yayasan “Amalbakti Muslim Pancasila (YAMP).” Lembaga ini memotong gaji PNS (serta anggota TNI dan Polri) yang beragama Islam, untuk disisihkan sebagai amal jariyah. Penyisihan gaji dilakukan secara resmi berdasar hasil rapat kerja KORPRI.
Nilai (jariyah) sangat kecil, mulai Rp 50,- (saat ini setara Rp 5.000,-) untuk PNS golongan I, sampai Rp 1.000,- untuk golongan IV. Tapi jariyah yang terkumpul cukup besar. Hasil jariyah YAMP digunakan untuk membangun masjid. Serta membantu juru dakwah di daerah transmigran, terutama di kawasan berbukit di Sumatera, juga di Kalimantan. Kinerja juru dakwah kalangan transmigran, sekaligus dimanfaatkan untuk akulturasi budaya.
Hasil YAMP, sampai kini (akhir 2016) telah dibangun sebanyak 999 (seribu kurang satu) masjid di berbagai daerah. Uniknya, bentuk kubah masjid (bagian atap) yang dibangun hampir seragam. Bukan berbentuk setengah lingkaran, melainkan limas (ruang segilima). Mirip konstruksi masjid Demak (Jawa Tengah), khas masjid Jawa. Seolah-olah sesuai nama yayasan, muslim Pancasila.
Pemerintahan rezim masa kini juga berperhatian terhadap potensi perekonomian berbasis ajaran agama Islam. Maka presiden Jokowi, menggagas pembentukan lembaga keuangan syariah. Diperlukan manajemen, dan kinerja lebih sistemik. Serta personel pengurus dedikatif, tidak kalah dengan zaman Pak Harto. Karena yang diurus bukan sekedar jariyah, melainkan zakat dan wakaf. Dana yang terkumpul bisa trilyunan rupiah per-tahun.
Usaha Rakyat Mandiri
Hasilnya, konon di-wacana-kan untuk mendorong aksesi keuangan sektor UMKM (usaha mikro, kecil dan menengah). Selama ini UMKM kesulitan meng-akses lembaga permodalan, karena agunan yang berupa aset rata-rata tidak bank-able. Maka pelaku UMKM sering terjerat rentenir bank thithil. Walau bunga pinjaman sangat tinggi, namun rentenir bisa diakses tanpa agunan. Seyogianya, perbankan BUMN juga berani memberi kredit seperti bank thithil. Namun perlu di-iringi bimbingan manajemen.
Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM, jumlah usaha mikro dan kecil, sekitar 55 juta unit usaha. Itu meliputi 99,91% dari total unit usaha yang ada di Indonesia. Sisanya, 0,9% aterdiri dari usaha menengah dan skala besar. Usaha mikro dan kecil di Indonesia menyerap 98,877 juta pekerja atau 94,52% dari total pekerja di Indonesia. Artinya, dengan memberdayakan bisnis gurem kalangan grass-root, akan memberi harapan mayoritas rakyat.
Potensi zakat yang sangat besar, diungkap oleh kalangan ormas Islam. Presiden (bersama Wakil Presiden) memandang sangat urgen segera merespons pemanfaatan zakat. Lembaga terkait keuangan (dan keagamaan) telah diminta menyusun proposal. Visinya, segera membentuk LKS PWU (Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang). Termasuk di dalamnya wakaf berupa aset bergerak (kendaraan bermotor) dan tidak bergerak (bangunan dan tanah).
Pembentukan LKS PWU, telah ditetapkan dalam rapat terbatas kabinet, sejak Januari 2017 lalu. Antaralain diikuti Kementerian Agama, Keuangan, OJK (Otoritas Jasa Keuangan), serta BI (Bank Indonesia). Tujuannya untuk memberdayakan ekonomi umat sekaligus menggerakkan ekonomi nasional. Khususnya pada sektor UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah).
Prioritas pada sektor usaha mikro dan kecil, karena telah terbukti “sakti.” Serta berjasa besar menyelamatkan perekonomian nasional pada saat resesi ekonomi global. Pada tahun 1997-98, hanya sektor usaha mikro dan kecil yang tetap berjalan. Sedangkan industri besar dan usaha swasta nasional telah terbelit kredit macet, disebabkan nilai dolar membubung tinggi.
Namun pembentukan LKS PWU mesti dilakukan secara cermat. Sebab sebenarnya, zakat, wakaf dan sedekah, merupakan domain umat. Bukan domain pemerintah. Selama ini masyarakat menyerahkan zakat, dan wakaf kepada tokoh masyarakat setempat. Antaralain, kepada ulama pengasuh pesantren, madrasah, dan rumah yatim piatu. Serta kepada organisasi masyarakat (ormas, NU, Muhammadiyah dan lainnya).
Mesti dijaga benar, pembentukan LKS PWU oleh pemerintah, seyogianya tidak menjadi “pesaing” lembaga yang didirikan oleh masyarakat. Perlu penjelasan kepada segenap organisasi keagamaan (Islam). Walau sebenarnya, ormas Islam tidak khawatir “bersaing” dengan pemerintah. Masyarakat secara komunal telah terbiasa mengelola zakat dan wakaf, selama ber-abad-abad, jauh sebelum lahirnya negara Republik Indonesia.

———   000   ———

Rate this article!
Tags: