Zonasi dan Redupnya Budaya Mutu

(Menyambut PPDB 2019/2020)

O l e h:
Ng. Tirto Adi MP
Doktor Manajemen Pendidikan, Alumni Universitas Negeri Malang, Dosen Unusida (Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo),
Penulis & Trainer KTI, Manajemen Sekolah, dan Pembelajaran Inovatif.

SEJAK Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Permendikbud RI) Nomor 51 Tahun 2018 tentang PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) diundangkan -tertanggal 31 Desember 2018-kalangan masyarakat risau. Kerisauan kepala sekolah, guru, orang tua/wali termasuk peserta didik itu dipicu oleh tidak dimanfaatkannya hasil belajar siswa untuk syarat masuk PPDB. USBN (ujian sekolah berstandar nasional) bagi SD/MI dan UN (ujian nasional) bagi SMP/MTs tidak lagi berguna untuk masuk SMP/SMA/SMK negeri sederajat. Permendikbud RI 51/2018 mementahkan Permendikbud RI 14/2018 tertanggal 2 Mei 2018 tentang PPDB yang sebelumnya mensyaratkan nilai USBN/UN merupakan syarat masuk dalam PPDB.
Permendikbud RI 51/2018 (pasal 16) menegaskan bahwa PPDB dilaksanakan melalui tiga jalur, yaitu zonasi, prestasi, dan perpindahan tugas orang tua/wali. PPDB jalur zonasi, menggunakan dasar domisili, yakni jarak tempat tinggal terdekat calon peserta didik ke sekolah. Jalur prestasi berdasarkan atas capaian prestasi peserta didik hasil pertandingan/perlombaan di bidang akademik, seni-budaya, dan olahraga.
SE Mendikbud dan Mendagri 1/2019 yang mempertegas keberadaan Permendikbud RI 51-2018 agar pemda tidak memodifikasi ketentuan PPDB, agaknya mulai tidak diindahkan oleh banyak provinsi dan kabupaten/kota. Pasalnya, ketika jalur zonasi itu akan diterapkan, resistensi dari masyarakat semakin kuat. Intinya, hasil belajar siswa berupa USBN/UN perlu digunakan sebagai dasar dalam PPDB.
Nasib SPP-SKS
Secara alamiah, persebaran potensi peserta didik dalam pendidikan pada dasarnya mengikuti pola kurva normal. Artinya, di suatu kelas atau satuan pendidikan (sekolah/madrasah) mesti dijumpai ada anak yang memiliki potensi cepat belajar, normal dan lambat belajar. Anak-anak yang cepat dan lambat belajar sebagai anak berkebutuhan khusus (ABK) difasilitasi dengan satuan pendidikan inklusif. Sementara, anak-nak normal biasanya dalam satuan pendidikan reguler. Dulu, pernah ada program akselerasi, yakni kelas yang diperuntukkan bagi anak-anak CI-BI (cerdas istimewa-berbakat istimewa) dengan IQ (intelligence quotient) minimal 130. Karena proses penjaringan penerimaan dan pelaksanaannya ada yang mis-management dari sebagian guru, orang tua/wali atau lembaga psikologi, akhirnya kelas itu menjadi eksklusif. Padahal secara normatif dalam UU RI 23/2002 tentang Perlindungan Anak dan UU RI 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dinyatakan bahwa “tiap warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak mendapatkan pendidikan khusus”. Karena kelas akselerasi dinilai bertentangan dengan tahapan perkembangan mental-psikologis anak, maka tahun pelajaran 2014/2015 dihapus.
Sebagai gantinya, diterbitkanlah Permendikbud RI 158/2014 tentang penyelenggaraan Sistem Kredit Semester pada pendidikan dasar dan menengah. Satuan Pendidikan Penyelenggara Sistem Kredit Semester (SPP-SKS), merupakan tempat baru bagi anak CI-BI untuk menyelesaikan pendidikannya dalam waktu 4 semester (2 tahun). Dasar penjaringan anak-anak SPP-SKS adalah hasil USBN/UN dan tes potensi akademik oleh psikolog profesional. Jika dalam PPDB jalur zonasi hanya menggunakan jarak tempat tinggal dan menafikkan prestasi akademik USBN/UN, akankah SPP-SKS mengalami nasib serupa dengan program akselerasi? Sudah saatnya dalam kebijakan pendidikan, yang menyangkut hajat hidup orang banyak, tidak hanya parsial mengatasi symptoms-nya tetapi harus secara holistik menyelesaikan root cause-nya. Karena peserta didik bukanlah kelinci percobaan dalam dunia pendidikan, tetapi mereka adalah subjek belajar mandiri pengganti generasi mendatang.
Redupnya Budaya Mutu
Ketika UN sebagai penentu kelulusan, energi dalam penyelenggaraan pendidikan terutama pembelajaran, seluruhnya berfokus pada UN. UN, pada waktu itu, bukan lagi sebagai alat tapi dijadikan tujuan. Karenanya mulai dari pejabat pendidikan, bupati/walikota, pihak legislatif, kepala sekolah, guru, orang tua/wali, dan siswa begitu banyak yang menjadikan UN sebagai tujuan akhir pendidikan. Beragam kecurangan dengan berbagai modusnya dilakukan demi hasil UN yang gemilang. Tragisnya, keberhasilan UN adalah menjadi indikator penting bagi keberhasilan kepala daerah, kepala dinas atau kepala sekolah/madrasah dalam mengelola pendidikan. Dengan tidak lagi menjadikan UN sebagai penentu kelulusan, seluruh stakeholder pendidikan kembali ke khithah penyelenggaraan pendidikan yang sebenarnya yakni menyiapkan generasi yang berkarakter, cerdas, dan cakap. Bukan berkompetisi dalam capaian tingginya hasil UN.
Tetapi, dengan tidak dijadikannya hasil UN sebagai pertimbangan dalam seleksi PPDB -terutama untuk masuk SMP/SMA negeri sederajat, menjadikan stakeholder pendidikan terutama siswa, menjadi kendor semangat belajarnya. Regulasi PPDB yang baru (Permendikbud RI 51-2018) memang bertujuan memperluas pemerataan dan mendorong peningkatan akses layanan pendidikan. Tetapi jangan sampai kebijakan pemerataan dan perluasan akses pendidikan ini mengorbankan terhadap kebijakan peningkatan kualitas pendidikan.
Kebijakan UN masih diperlukan untuk pendidikan Indonesia saat ini dan beberapa tahun ke depan. Hasil analisis Direktorat Pembinaan SMP (2014) terhadap guru-guru SMP di 76 kabupaten/kota dari 29 provinsi di Indonesia menunjukkan bahwa masih 30%-42% guru saja yang telah menguasai konsep penilaian dan hanya 25%-37% guru yang mampu menerapkan penilaian sesuai dengan Kurikulum 2013. Data ini menunjukkan bahwa kehadiran UN masih dibutuhkan sebagai quality control dari pemerintah.
Gejala redupnya budaya mutu ini harus segera diatasi agar kualitas pendidikan tidak kian menurun. Memperkuat bekal peserta didik akan kemampuan daya sanding (collaborative advantage) adalah penting, tapi tidak harus serta merta menafikan kemampuan daya saing (competitive advantage). Demikian pula dengan kebijakan pemerataan dan perluasan akses pendidikan sebagai prioritas pilihan. Tidak harus mengorbankan soal kualitas pendidikan. Untuk itu, menciptakan dan merawat atmosfer budaya mutu menjadi sebuah keniscayaan. Pesan Watson, M.A & Gryna, F.M (2001) dalam artikelnya berjudul Quality Culture in Small Business: Four Case Studies barangkali bisa menjadi pengingat. Membangun budaya mutu adalah menciptakan sebuah pola dari kebiasaan, keyakinan dan perilaku keberpihakan terhadap mutu. Memberikan apresiasi terhadap hasil UN yang dilakukan peserta didik (misalnya, sebagai syarat masuk sekolah) adalah bagian dari membangun atmosfer budaya mutu itu pada tingkat sekolah. Bukankah begitu.

——————- *** ———————-

Rate this article!
Tags: