Gas Untuk Rakyat

Seharusnya tidak terjadi proses pengolahan pada industri kecil (rumahan) menggunakan bahan bakar limbah sampah plastik. Sangat berbahaya, karena residu pembakarannya mencemari udara, dan air. Namun pilihan berbahaya terpaksa ditempuh, disebabkan bahan bakar masih tergolong mahal, termasuk gas kemasan tabung. Terdapat jutaan unit usaha skala mikro masih “terjebak” menggunakan bahan bakar tidak ramah lingkungan.
Merebaknya isu penggunaan bahan bakar sampah plastik, di Sidoarjo (Jawa Timur) bisa memupus usaha skala mikro. Karena juga di-iringi isu telor ayam kampung (sekitar) terdekat industri, telah tercemar dioxin. Berdasar laporan IPEN (International Pollutants Elimination Network) kandungan dioxin pada telor ayam kampung di Tropodo, sangat tinggi. Sampai 70 kali lebih tinggi dibanding standar keamanan makanan Eropa.
Sampah plastik yang digunakan sebagai bahan bakar berasal dari negara barat (Eropa, Amerika, Kanada, dan Australia). Padahal terdapat larangan impor sampah, berdasar UU Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Tetapi terdapat pula Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 tahun 2016, yang bisa diterabas masuknya limbah non-B3. Pada perdagangan sampah plastik dihargai Rp 100 ribu per- satu truk. Jauh lebih murah dibanding harga bahan bakar kayu (Rp 1,5 juta per-satu truk).
Pemerintah (dan daerah) perlu segera mem-fasiltasi distribusi bahan bakar ramah lingkungan. Diantaranya melalui pembangunan infratsruktur jaringan gas (jargas). Saluran pipa jaringan gas rumah tangga, hingga kini masih dinikmati keluarga menengah ke atas, dan industri. Sedangkan rumah tangga berpenghasilan rendah, harus membeli gas tabung yang harganya lebih mahal. Hingga kini penerima manfaat jaringan gas hanya 565 ribu sambungan rumah tangga.
Padahal rumah tangga miskin diperkirakan mencapai lebih dari 4 juta. Dibutuhkan kerja keras pemerintah bayar “utang” hak atas gas bumi kepada rumah tangga berpenghasilan rendah. Maka wajar pemerintah perlu meng-geber pembangunan jargas sambungan rumah tangga. Ditarget sebanyak satu juta sambungan jargas per-tahun, khusus di-distribusi-kan pada kalangan menengah ke bawah, dan pelanggan Kecil (UMKM).
Jargas juga telah memiliki payung hukum ke-segera-an melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 6 tahun 2019 tentang Penyediaan dan Pendistribusian Gas Bumi untuk Rumah Tangga dan Pelanggan Kecil. Pembangunan jaringan gas bumi untuk rumah tangga, bisa mengurangi penggunaan tabung gas “melon” (ukuran 3 kilogram). Sekaligus mengurangi subsidi impor gas.
Maka sesungguhnya pemerintah lebih ringan menyediakan jargas pipa rumah tangga. Gas bumi bukan dari impor, melainkan diambil dari dalam bumi Indonesia. Berdasar data BPH Migas, Indonesia memiliki cadangan gas bumi sangat melimpah. Sampai sebanyak 142,72 triiyun standard cubic feet, atau sekitar 4,043 trilyun meter-kubik. Sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Berdasar amanat konstitusi, kekayaan alam Indonesia harus dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat. UUD pasal 33 ayat (3), meng-amanat-kan, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Sudah dikuasai oleh negara melalui BUMN (Badan Usaha Milik Negara), tetapi belum di-distribusi-kan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Realitanya, sejak lama gas bumi hanya dinikmati kalangan menengah ke atas. Sedangkan rumah tangga menengah ke bawah dijatah tabung gas LPG, sejak tahun 2007. Ironis, pemerintah masih mengandalkan impor gas untuk LPG. Tahun (2019) ini nilainya diperkirakan mencapai Rp 5 trilyun. Padahal Indonesia memiliki cadangan gas bumi sangat berlimpah.
Pemerintah bisa berhemat (mengurangi subsidi), masyarakat juga berhemat belanja bahan bakar. Pembangunan jargas bumi, sekaligus “mengamankan” distribusi, dan ramah lingkungan.

——— 000 ———

Rate this article!
Gas Untuk Rakyat,5 / 5 ( 1votes )
Tags: