Angkutan Masal “Pintar”

KEMACETAN di kotKarikatur MPUa-kota metropolitan Jawa Timur, sudah memprihatinkan. Kendaraan roda empat harus berjalan merayap, sangat menyita waktu. Perjalanan antar-kota sejauh 90 kilometer harus ditempuh sampai 4 jam. Kerugian karena “mengantre” di jalan, tidak cuma kerugian material (BBM menguap tapi dengan kilometer diam). Melainkan juga kerugian waktu, sampai gangguan psikologis serius. Kata seloroh kalangan sopir, “bisa tua di jalan.”
Sudah banyak Pemerintah Daerah ber-inovasi mengatasi kemacetan. Daerah “Malang Raya” (Kota Batu, Kota Malang dan Kabupaten Malang), sudah menyodorkan proposal angkutan masal yang nyaman. Bahkan sedang dijajaki “bus pintar.” Yakni, bus yang dapat mengatasi kemacet lalulintas. Bus “pintar” itu mestinya,  dilengkapi remote control yang bisa mengatur lampu lalulintas. Artinya, dari jarak 20 meter lampu lalulintas bisa diatur hijau, sampai bus “pintar” lewat.
Benarkah banyaknya kepemilikan mobil inharent dengan kemacetan? Nampaknya tidak selalu benar, kalau penggunaan mobil ditata seksama, dengan memperhatikan kepentingan publik. Ternyata logis saja, asal mobil (milik pribadi) tidak digunakan, serta memilih angkutan umum (masal). Bahkan konon, jumlah kepemilikan mobil di Jakarta masih tergolong “sedikit.” Yakni, kurang dari 300 unit per-seribu penduduk.
Di Surabaya, pasti masih jauh lebih sedikit. Tetapi macetnya (Jakarta dan Surabaya) bagai kota terpadat di dunia, seolah-olah tak terurai dan tak bisa dipecahkan. Menilik rasio jumlah kepemilikan mobil di Jakarta, kira-kira hanya seperti kota Chicago (Amerika Serikat) pada tahun 1930-an. Maka seharusnya, Jakarta tidak padat benar lalulintasnya. Dan Surabaya harusnya lebih longgar, lancar pada saat berangkat mapun pulang kantor (dan sekolah).
Begitu pula sistem perencanaan kota sebenarnya sejatinya sudah benar, menuruti master plan area dan Surabaya Metropolitan Area  (SMA). Mengapa macet? Penyebabnya bukan tata-perkotaan, melainkan kondisi piskologi-sosial. Yakni, diduga karena kemaruk-nya kalangan menengah baru untuk memakai mobil sebagai simbol gengsi ekonominya. Mudahnya pemilikan kendaraan bermotor, melalui  leasing.
Sehingga banyaknya mobil sebenarnya tidak menunjukkan kenaikan tingkat kesejahteraan, melainkan indeks kesejahteraan telah meningkat secara alamiah.  Gampang punya mobil dan sepedamotor walau dengan cara meng-angsur. Meski sebenarnya, leasing dan berbagai jasa finansial, nyata-nyata bagai rentenir sangat mencekik perekonomian.
Tetapi karena kepadatan lalulintas itu pemerintah bisa mengambil keuntungan. Semakin banyak kendaraan yang berlalu lalang, semakin besar pula penghasilan pemerintah dari PBB-KB (Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor). Maka konsekuensinya, pemerintah dianggap berkewajiban memikirkan keberadaan infra-struktur jalan.
Inilah sebenarnya, problematika transportasi kawasan metropolitan. Bahkan kota Bogor, pernah ber-wacana melarang mobil pribadi ber-plat B (Jakarta) masuk Bogor, khusus pada hari Sabtu dan Minggu. Ironisnya, angkutan masal semakin tidak diminati. Boleh jadi, karena tidak nyaman dan tidak aman. Kondisi angkutan masal, berbagai jurusan (lyn), bus kota sampai komuter, sepi penumpang.
Begitu pula Pemkot Surabaya berwacana mengaktifkan kembali sarana angkutan trem dan monorel. Sehingga, akan ada proyek “mercusuar” yang padat modal dan padat  teknologi.  Diantaranya bekerjasama dengan PT KAI. Selain itu juga pusat per-parkiran. Moda angkutan masal memang perlu ditambah, dan perlu diperbaiki. Tetapi harus pula ditambah berbagai peraturan (regulasi) yang ditegakkan secara rigid.
Misalnya, UU Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalulintas, yang mengatur kenalikan kendaraan bermotor, sekaligus mengatur kelaikan jalan. Juga beberapa Perda. Tetapi berbagai regulasi kini terasa diabaikan oleh masyarakat (juga penegak hukum). Terutama penegakan larangan parkir. Saat ini, jalanan di Surabaya hampir dikuasai sindikat per-parkir-an (liar).
Banyak larangan parkir dilanggar, bahkan preman parkir mengecat badan jalan sebagai tanda areal parkir?! Jika terus dibiarkan, moda transportasi masal apapun yang digagas tidak akan berguna.

                                                                                                                      ———   000   ———

Rate this article!
Tags: