Apa yang Salah dengan Pendidikan SMK?

Oleh:
Muashofa Efida
Guru di SMK Plus Nahdlatul Ulama Sidoarjo

Lulusan Siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dianggap sebagai lulusan yang lebih memiliki kompetensi keahlian dibanding dengan lulusan sekolah pada umumnanya (baca : SMA). Lantaran itu, lulusan SMK dinilai lebih siap untuk bekerja maupun membuka lapangan pekerjaan begitu lulus sekolah.

Hal inilah yang menjadi alasan utama masyarakat untuk berbondong-bondong mendaftar ke SMK. Namun sayangnya, ekspektasi kadang tak sesuai dengan realita yang ada. SMK ternyata justru menjadi penyumbang terbesar angka pengangguran di Indonesia. Apa yang salah dalam pendidikan SMK?

Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) dari tahun 2020 sampai 2022, menunjukkan bahwa SMK menjadi pemecah rekor penyumbang angka pengangguran tertinggi. Data ini tentu sangat menggelitik institusi pendidikan SMK. Fakta ini menunjukkan bahwa mayoritas lulusan SMK belum bisa menjawab kebutuhan dunia usaha dan dunia industri (DUDI).

Seolah terdapat kesenjangan antara kebutuhan DUDI dan kurikulum yang berjalan di SMK. Kondisi ini memaksa pendidikan SMK harus segera berbenah dan beradaptasi terhadap kecepatan perubahan kebutuhan DUDI.

Kesuksesan lulusan SMK di dunia kerja tidak semata-mata ditentukan oleh pengetahuan dan keahlian yang dimilikinya, atau yang lebih dikenal dengan istilah hard skill. Bahwa kesuksesan seseorang di dunia kerja ditentukan oleh soft skill sebesar 80% dan hard skill sebesar 20%.

Faktanya, pembelajaran soft skill kurang ditekankan pada kurikulum SMK. Lalu, bagaimana langkah strategis SMK untuk membekali soft skill kepada siswanya? Model pembelajaran apa yang tepat untuk dilaksanakan dalam rangka mengaktifkan soft skill siswa?

Soft skill dan Etos Kerja
Soft skill adalah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang menyangkut komponen intrapersonal dan interpersonal. Komponen intrapersonal meliputi rasa percaya diri, berpikir kritis, ketahanan mental, kreatif, manajemen diri, dan sebagainya. Komponen interpersonal meliputi kerjasama atau kolaborasi, komunikasi, sosialisasi, negosiasi, mengkoordinasikan orang lain, dan sebagainya. Pada dasarnya, soft skill yang meliputi kedua komponen ini akan terasah dengan banyaknya pengalaman hidup, khususnya di dunia kerja.

Dunia kerja tentu mencari tenaga kerja yang memiliki etos kerja tinggi. Mereka ini yang berjiwa loyalitas, siap mental dengan segala kondisi di lapangan pekerjaan, siap dengan segala bentuk tekanan kerja, dan mampu bekerjasama dengan rekan kerjanya maupun mitra bisnisnya. Hard skill saja tidak cukup untuk mendukung kesuksesan seseorang dalam dunia kerja, mengingat soft skill menjadi kemudi utama dalam kesuksesan perjalanan karir.

Proses rekrutmen tenaga kerja mempertimbangkan hard skill dan juga soft skill. DUDI akan dengan mudah menelusuri hard skill calon pekerja, yaitu melalui nilai akademik, prestasi, dan pengalaman kerja yang tertera dalam curriculum vitae. DUDI menggunakan psikotes dan wawancara sebagai teknis dalam penelusuran soft skill. Tidak sedikit mereka yang sedang mencari kerja, tumbang saat sesi wawancara. Hal ini menunjukkan bahwa masih minimnya soft skill yang dimiliki oleh calon pekerja.

Pihak DUDI melakukan beberapa kegiatan dalam upaya untuk mengasah dan meningkatkan soft skill tenaga kerjanya. Kegiatan bisa dilakukan dalam bentuk workshop, public speaking, dan outbond. Kegiatan ini dilakukan untuk menjawab kebutuhan DUDI yang belum secara maksimum atau belum sama sekali dibekalkan oleh institusi pendidikan sebelumnya.

Saya pernah menghadiri kegiatan seminar mengenai budaya kerja. Sebagai narasumbernya adalah General Manager perusahan besar di Indonesia. Beliau dengan terang-terangan mengatakan bahwa tenaga kerja yang dicari oleh perusahaan adalah mereka yang berkarakter. Perusahaan akan dengan mudah membina pengetahuan keterampilan pekerja, namun karakter akan sangat susah diajarkan. Sejatinya, karakter adalah nilai pribadi seseorang yang dibawanya. Hal ini menunjukkan bahwa soft skill jauh lebih diutamakan daripada hard skill.

Nilai Esensi Teaching Factory
Tingkat Pengangguran Terbuka pada posisi pertama ditempati oleh lulusan dari tingkat SMK. Hal ini menunjukkan bahwa masih minimnya kualitas lulusan SMK yang memenuhi kriteria pekerja yang dibutuhkan oleh DUDI.

Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menggulirkan suatu kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) melalui pendidikan. Model pembelajaran berbasis industri yang dikonsep dalam Teaching Factory hadir menjawab untuk meningkatkan kualitas lulusan SMK yang sesuai dengan standar DUDI.

Teaching Factory atau yang biasa disingkat dengan kata TEFA adalah model pembelajaran yang menggabungkan kurikulum sekolah dengan kebutuhan DUDI. TEFA dikondisikan sedemikian rupa untuk menjalankan produksi atau jasa sesuai dengan standar DUDI. Lingkungan pembelajarannya pun didesain sesuai dengan lingkungan DUDI. Pada dasarnya, TEFA adalah gabungan model pembelajaran Competency Based Training (CBT) dan Production Based Training (PBT).

CBT menciptakan sebuah pelatihan atau pembelajaran yang ditekankan pada hasil (output). Hasil tersebut yaitu kualitas siswa yang telah mengikuti pembelajaran, menyangkut bagaimana pekerjaan yang dilakukan siswa selama pelatihan dan apa yang dapat dilakukan oleh siswa setelah mengikuti pelatihan. Penekanan pada kualitas akan menjadikan lulusan SMK bisa menjawab kebutuhan DUDI, bukan masalah kuantitas dan seberapa banyak siswa mengikuti pelatihan.

PBT mengkondisikan siswa yang mengikuti pelatihan atau pembelajaran untuk melakukan proses produksi sesuai dengan prosedur dan standar kerja. Siswa akan mendapatkan pengalaman nyata terkait dunia kerja dengan bersikap layaknya pekerja dan memproduksi barang atau jasa sesuai dengan standar dan permintaan masyarakat. Secara tidak langsung, pembelajaran ini akan menempa siswa untuk memiliki etos kerja tinggi.

Paradigma baru dalam pendidikan yang hadir dalam Kurikulum Merdeka memberikan ruang gerak untuk guru dalam mengembangkan kreativitas dan inovasinya. Pembelajaran tidak hanya terpaku pada yang tertulis di dalam kurikulum, namun guru diberikan kelonggaran untuk menjalankan pembelajaran kapanpun dan dimanapun dengan tujuan untuk mengembangkan siswa. TEFA menjadi suatu program pembelajaran yang sesuai dengan tujuan Kurikulum Merdeka yang bisa meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusianya, baik guru maupun siswa.

Pelaksanaan TEFA mulai dari perencanaan hingga evaluasi melibatkan DUDI yang berkolaborasi dengan pihak sekolah. Kurikulum yang dijalankan pada TEFA diadaptasi sesuai dengan kebutuhan DUDI. Produk barang atau jasa yang akan diproduksi serta alat produksi yang akan digunakan dalam pembelajaran berbasis TEFA, ditetapkan secara bersama-sama oleh pihak sekolah dan DUDI. Guru yang menjadi pembimbing dalam TEFA adalah mereka yang telah mengikuti pelatihan dengan standar industri.

Siswa yang melaksanakan pembelajaran atau pelatihan dalam TEFA melakukan proses produksi sesuai dengan standar industri yang telah ditentukan. Mereka melakukan proses produksi mulai dari penyiapan bahan baku hingga memprosesnya menjadi produk jadi. Proses produksi dilaksanakan secara bersama-sama (kolaborasi). Kesuksesan dalam proses produksi tentu membutuhkan kemampuan team work. Di sisi lain, menghasilkan suatu produk berkualitas yang berstandar industri tentu membutuhkan suatu keseriusan dan ketelitian selama proses produksi.

Kegiatan selama proses pembelajaran TEFA, yaitu proses produksi barang atau jasa akan menciptakan suatu budaya kerja dalam lingkungan sekolah. Siswa secara tidak langsung akan memposisikan dirinya untuk menjadi pekerja yang siap menjawab kebutuhan DUDI. Soft skill akan tumbuh dengan sendirinya melalui segala aktivitas di dalam TEFA, sehingga etos kerja akan terlahir dengan sendirinya.

TEFA akan menjadi suatu program sekolah yang bisa menghasilkan lulusan SMK yang berkualitas, baik hard skill maupun soft skill. Hard skill akan terwujud dari pengetahuan dan keterampilan yang diberikan kepada siswa dalam merancang dan memproduksi barang atau jasa sesuai dengan kompetensi keahliannya. Soft skill akan terwujud melalui budaya kerja yang tercipta di dalam TEFA. Sekolah akan menjadi rumah produksi yang menghasilkan produk berskala industri dan juga bisa menciptakan swadaya ekonomi sekolah. Lulusan SMK akan menjadi SDM berkualitas sesuai kebutuhan dunia industri, yaitu profesional, memiliki etos kerja, disiplin, bertanggung jawab, dan menjunjung tinggi budaya bangsa.

———– *** ————-

Rate this article!
Tags: