Bencana Pengaturan Skor Pertandingan

Induk cabang olahraga sepakbola, kini tanpa pucuk pimpinan. Akibat skandal pengaturan skor, pelaksana tugas (PLT) Ketua Umum menjadi tersangka. Juga Sekretaris Jenderal, dan beberapa anggota komite eksekutif (Exco) menjalani pemeriksaan polisi. Maka seyogianya PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia) segera membenahi organisasi. Termasuk kemungkinan segera menggelar KLB (Kongres Luar Biasa).
Ditambah pucuk pimpinan manajemen liga mengundurkan diri. Perusahaan yang mengelola liga Indonesia (PT Liga Indonesia Baru, LIB), terancam bubar. Dalam RUPS (awal pekan) Direktur Utama, Komisaris Utama, dan seorang komisaris PT. LIB, menyatakan mundur. Liga-1, Liga-2 dan Liga-3 (amatir) musim 2018, telah selesai digelar (Desember lalu). Tetapi gelaran seluruh Liga Indonesia tahun 2019, terancam tidak terselenggara.
Situasi PSSI bagai di ujung jurang yang menjerumuskan hampir seluruh petinggi. Exco yang tersisa patut berkonsultasi ke FIFA (federasi sepakbola sedunia), dan ke AFC (Asian Football Confederation). Sebelumnya (tahun 2015) terancam pembekuan, karena berseteru dengan pemerintah. Saat itu PSSI dibekukan oleh Kemenpora sejak 18 April 2015. Berdasarkan rekomendasi BOPI (Badan Olahraga Profesional Indonesia).
Pembekuan PSSI disebabkan melanggar asas ke-profesional-an klub olahraga. Yakni, terkait legalitas klub dan pajak penghasilan pemain. Dalam UU Nomor 3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan, klausul tentang pajak atlet profesional memang tidak diatur. Namun terdapat pasal tentang olahraga profesional. Pada pasal 1 (tentang Ketentuan Umum angka ke-15) olahraga profesional di-definisi-kan, “Olahraga profesional adalah olahraga yang dilakukan untuk memperoleh pendapatan dalam bentuk uang atau bentuk lain yang didasarkan atas kemahiran berolahraga.”
Namun pengambil alihan PSSI dengan membentuk tim transisi, “dikoreksi” oleh FIFA. Sehingga disarankan wajib rujuk, atau (jika tidak rujuk) akan menerima sanksi FIFA, berupa pembekuan. Sehingga perserikatan sepakbola (dan pemerintah) suatu negara, wajib tunduk pada statuta FIFA. Atau memilih “jalan lain,” keluar dari FIFA. Dengan konsekuensi ter-marginal dari pergaulan sepakbola internasional.
Tetapi kasus yang membelit PSSI saat ini, bukan berseteru dengan pemerintah. Melainkan “dosa internal” sangat mendalam. Keterlibatan pengurus PSSI dalam pengaturan skor pertandingan di Liga-2, dan Liga-3. Bahkan boleh jadi, terjadi pula pada Liga-1. Masih dalam penyidikan intensif Kepolisian. Pengaturan skor sangat menciderai asas sportifitas, sebagai pilar utama ke-olahragaan prestasi.
Penegakan hukum terhadap pelaku pengaturan skor, bukan sekadar diancam hukuman disiplin. Melainkan wajib pula ditambahkan ancaman pidana setara penyuapan aktif, sesuai KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Piadana) pasal 209 dan pasal 210. Bahkan penegak hukum perlu memberlakukan UU Nomor 11 tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap.
Bagai lex specialist suap, olahraga Indonesia telah memiliki “benteng” pidana suap. Jauh (23 tahun) sebelum masyarakat internasional mendendam sengit terhadap suap dan korupsi melalui konvensi PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa). UU Nomor 11 tahun 1980, digagas untuk menghentikan kasus suap kalangan swasta pada setiap pertandingan olahraga. Sebab, banyak kasus suap olahraga, seolah-olah lenyap di Pengadilan. Pelakunya selalu terhindar dari jerat hukum KUHP.
Ironisnya, pengaturan skor ber-sinergi dengan bandar judi pada pertandingan sepakbola. Sinergi serupa juga terjadi pada pertandingan internasional, tingkat regional Asia Tenggara, kawasan Asia, Eropa (Liga Champions), dan Amerika. Tetapi per-sepakbola-an nasional tak boleh berhenti. Piala Indonesia yang diikuti seluruh klub (yang berlaga pada Liga-1, dan Liga-2), telah mulai babak 16 besar.
Pemerintah berkewajiban membimbing PSSI, sesuai UU Keolahragaan. Pada pasal 22 dinyatakan, “Pemerintah melakukan pembinaan dan pengembangan olahraga… .” Per-sepakbola-an harus kembali pada jalan yang benar.

——— 000 ———

Rate this article!
Tags: