Bojonegoro Masih Kekurangan Telur

Salah satu pedagang telur dipasar kota Bojonegoro. [achmad basir]

Bojonegoro, Bhirawa
Produksi telur di Bojonegoro meningkat 105 ton dari 1.429 ton di 2015 menjadi 1.534 ton di 2016, disinyalir jumlah tersebut masih kurang dan membutuhkan pemasukan dari luar daerah agar mencukupi kebutuhan.
Salah satu pedagang toko kelontong Pasar Kota Bojonegoro, Yunita mengatakan, telur yang diperdagangkan setiap hari adalah kiriman dari Kota Kediri dan Kabupaten Tulungagung melalui beberapa agen di Pasar Kota. Dalam sehari, Dia mengaku memasok paling sedikit enam tray setara 1.440 butir. ” Kita  setiap hari ambil telur dari agen itu. Kalau tidak dipasok dari Kediri atau Tulungagung, pedagang kesulitan dapat telur,” katanya, Minggu (5/3).
Selain itu, harga per kilogram telur kali ini di bawah harga normal. ” Pas harganya lagi bagus bisa jual Rp 19.000 per kilogram. Tapi hari ini harga distributor hanya sekitar Rp 16.000 per kg dan pedagang ambil untung paling banyak Rp 1.500 hingga Rp 2000 per kilonya,” pungkas Dia.
Sementara ittu, Kepala Seksi Program Dinas Peternakan dan Perikanan (Disnakkan) Bojonegoro, Hari Subagio, mengatakan, bahwa kekurangan kebutuhan telur di Bojonegoro hingga kini masih banyak. ” Yang pasti, kebutuhan telur kurang ribuan ton per tahun.Pasalnya, perbandingan antara produksi telur dengan kebutuhan adalah satu banding tiga,” ujarnya.
Dia menilai kurangnya produksi telur ayam petelur adalah rendahnya peminat dari peternak. Terbukti dari data populasi ayam petelur di Bojonegoro terendah dari dua jenis lainnnya.
Sampai 2016, populasi tertinggi ditempati oleh ayam buras sebanyak 1.543.953 ekor. Lalu, tempat kedua oleh 1.450.326 ekor ayam pedaging.
“Ayam petelur berada di posisi buncit dengan 32.410 ekor. Bahkan jumlah itu masih di bawah populasi itik 78.899 ekor,” jelasnya.
Hal itu berdasarkan daerah terbanyak peternak ayam petelur adalah Kecamatan Kapas dengan populasi 7 ribu ekor. Namun jumlah itu belum mampu menyamai Kecamatan Baureno dengan populasi ayam pedaging mencapai 415 ribu ekor. Bahkan, populasi terbanyak tersebut juga di bawah itik di Kecamatan Trucuk 25 ribu ekor.
Kebijakan penyerapan telur impor luar daerah, menurut Hari untuk memenuhi kebutuhan konsumsi protein selain daging sapi yang harganya belum dijangkau kebanyakan masyarakat. ” Telur memiliki protein yang baik untuk regenerasi sel dan harganya lebih murah dari daging. Untuk itu, fungsi telur adalah komoditas subsitusi daging,” terangnya
Adapun tingkat konsumsi telur per kapita per tahun, pada 2015 5,09 kilogram. Meningkat menjadi 5,11 kilogram pada 2016.
Menurutnya, Disnakkan berfokus untuk menggenjot populasi ayam petelur untuk memenuhi kebutuhan lokal. Dia menilai pertumbuhan 0,02 kilogram per kapita per tahun sangat berarti dan diproyeksi meningkat lagi tahun ini. [bas]

Rate this article!
Tags: