Ganti “Upah” Menjadi “Gaji” Berkeadilan

(Revisi Regulasi Ketenagakerjaan)

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan senior, penggiat dakwah sosial politik.

Kegaduhan ketenaga kerjaan, niscaya akan terus berlangsung, sampai dilakukan perubahan terhadap undang-undang (UU). Dalam hal ini UU Nomor 13 tahun 2003, terkesan seolah-olah alergi menggunakan idiom kata “karyawan.” Boleh jadi, khawatir dikaitkan dengan parpol tertentu pada masa orde-baru. Walau kata “karyawan” merupakan idiom khas Indonesia. Juga terasa lebih ramah, tetapi tidak cukup revolusioner.
Diakui atau tidak, pada tataran sosial, terdapat perbedaan kata pekerja, buruh, dan karyawan, serta pegawai.Buruh, hanya dikonotasikan sebagai jasa alih-daya (outsourcing, pekerja non-struktural) pekerja pabrik. Menggeluti pekerjaan rutin bagai robot, selama 8 jam non-stop. Imbal jasa pekerjaannya disebut upah. Serta bisa diberhentikan setiap saat manakala tidak dibutuhkan lagi. Sehingga buruh, dianggap sebagai”kasta” terendah dalam sistem ke-tenaga kerja-an nasional.
Berbeda dengan karyawan (pekerja), dikonotasikan sebagai pekerja struktural, setiap bulan memperoleh imbalan yang disebut gaji. Serta khusus perusahaan pemerintah (BUMN dan BUMD) disebut pegawai. Padahal dalam UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ke-tenaga kerja-an, tidak dikenal pembedaan. Pada pasal 1 (Ketentuan Umum), didefinisikan, “Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja denganmenerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.”
Pernah mendengar kata, “upah direktur”? Pasti tidak, melainkan disebut gaji direktur. Karena biasanya, imbalan kerja untuk direktur, pasti cukup tinggi. Maka pengertian idiom kata “upah,” mengesankan pembayaran (imbalan) kerja yang paling rendah. Nominalnya kecil. Berbeda dengan “gaji,” yang mengesankan imbalan kerja cukup memadai. Padahal dalam UU Ketenaga-kerjaan, kepangkatan Direktur, tergolong buruh. Karena menerima imbalan kerja.
Bahkan dalam UU Ketenagakerjaan, terdapat buruh “kasta” terbawah paling miris. Yakni, pekerjaatau buruh tidak tetap. Pada pasal 59 UU Ketenagakerjaan, terdapat frasa “kerja untuk waktu tertentu,” yang bisa ditafsirkan sebagai pekerjaan tidak tetap. Lebih lagi pada pasal 61, terdapat peraturan alih-daya. Yakni, jenis pekerjaan yang bisa diserahkan kepada penyedia jasa tenaga kerja. Ini bagai per-calo-an tenaga kerja, yang bertentangan dengan UUD pasal 28D ayat (2).
Pada tataran ketenaga-kerjaan, pekerja tidak tetap lazim disebut outsourcing. Namun pekerja outsourcing, wajib diberi upah sesuai standar UMK yang berlaku. Serta hak-hak lain yang setara dengan pekerja struktural di perusahaan yang sama.Hal itu sesuai amanat UUD pasal 28I ayat (1), sebagai, “hak untuk tidak diperbudak.hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaanapa pun.”
Upah Standar Baru
Pengertian sosiologis tentang buruh, dan upah, yang diadopsi dalam UU Ketenaga-kerjaan, menjadi kendala dalam pe-mulia-an pekerja. Seolah-olah, buruh tidak layak memperoleh gaji yang memadai sebagai imbalan kerja. Melainkan cukup diberi upah! Standar upah juga dikalkulasi dengan KHL (Kebutuhan Hidup Layak) tingkat rendah, asal layak.
UU Nomor 13 tahun 2003, merupakan produk DPR-RI (bersama pemerintah) hasil pemilihan umum (Pemilu) 1999. Periode yang tergolong sangat produktif. Sangat banyak dihasilkan regulasi dalam bentuk UU. Juga dilakukan perubahan UUD, sampai empat kali. Namun banyak pula UU yang direvisi, setelah digugat dalam proses judicial review (uji materi) di Mahkamah Konstitusi (MK). Bahkan beberapa UU dibatalkan secara keseluruhan.
Pembatalan secara keseluruhan, misalnya, terjadi pada Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Artinya, UU Sumber Daya Air (yanbg baru) tidak “senafas” dengan UUD. Bersyukur, amar putusan MK juga memerintahkan agar kembali pada Undang-Undang Nomor 11 tahun 1974 tentang Pengairan.Sehingga tidak terjadi kekosongan perundang-undangan. Namun eksesnya, seolah-olah (undang-undang) yang lama lebih patut dipertahankan.
Padahal pembatalan UU memiliki konsekuensi sangat luas. Yakni, seluruh produk peraturan turunan, wajib pula dibatalkan (demi hukum). Termasuk Peraturan Daerah (propinsi serta kabupaten dan kota) di seluruh Indonesia, harus dibatalkan. Konsekuensi itu pula manakala UU Ketenagakerjaantahun 2003, dibatalkan. Begitu pula revisi terhadap UU, wajib diikuti perbaikan pada PP, dan penyesuaian Perda tentang Ketenagakerjaan, di seluruh Indonesia.
Gaji pertama dengan standar UMK (dan UMSK) terbaru, disambut kalangan buruh dengan menggelar aksi protes. Tetapi tidak kurang pula buruh yang mentolerir dengan memilih bersabar, asal masih bisa bekerja. Karena saat ini tidak mudah mencari pekerjaan. Lebih lagi untuk level supervisor (mandor) semakin sulit diperoleh. Konon permasalahan lowongan kerja makin sempit, disebabkan “serbuan” tenaga asing, khususnya dari China dan Korea.
Aksi buruh kali ini, nyaris kelelap oleh “breaking news” bencana banjir dan tanah longsor.Padahal yang dituntut bukan sekadar nominal UMK ditambah upah sektoral (UMSK). Melainkan pada “sumbernya,” yakni, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan. Aksi itu konon, akan terus berlanjut sampai peringatan May-day (hari buruh se-dunia, 1 Mei 2018). Tuntutannya, presiden mencabut PP 78 tahun 2015, yang di dalamnya berisi tatacara penentuan UMK dan UMSK.
Transparansi Izin usaha
PP 78 tahun 2015, merupakan pengejawentahan UU Ketenaga-kerjaan. Misalnya, UMSK, telah diamanatkan oleh UU Nomor 13 tahun 2003 pasal 89 ayat (1) huruf b. Pada penjelasan pasal ini dinyatakan: “Upah minimum sektoral dapat ditetapkan untuk kelompok lapangan usaha beserta pembagiannya menurut klasifikasi lapangan usaha Indonesia untuk kabupaten/kota, provinsi, beberapa provinsi atau nasional dan tidak boleh lebih rendah dari upah minimum regional daerah yang bersangkutan.”
Bahkan PP, menambah rinci dan menambah nominal penghasilan yang diperoleh buruh. Misalnya, UU 13 tahun 2003 pada pasal 89 ayat (1) tertulis frasa kata “dapat,” sehingga bisa ditafsirkan tidak wajib. Sampai hampir satu dekade (sepuluh tahun) upah sektoral belum pernah dilaksanakan. Baru pada tahun 2012 (30 Maret), diterbitkan Surat Edaran (SE) tentang UMK dan UMSK). SE itu tergolong istimewa bagai “bonus” perburuhan.
Penghitungan komponen UMK berdasarkan UU Ketenagakerjaan pasal 94, terdiri dari gaji pokok sebesar 75% dan berbagai tunjangan sebesar 25%. Memang tidak mudah menghitung UMK dan UMSK. Selain ditakar dengan realita standar kebutuhan hidup layak, juga sangat dipengaruhi iklim perekonomian nasional dan global. Terutama iklim perizinan usaha dan investasi. Karena sebenarnya, komponen biaya buruh hanyalah 9% hingga 12% dari harga pokok produksi.
Sedangkan besarnya pungutan liar bisa mencapai 19% hingga 24% dari harga pokok produksi. Maka, andai pungli bisa dihentikan, maka pengusaha akan mampu menggaji buruh dua kali lipat pagu UMK. Karena itu di berbagai negara maju, standar UMK dan UMSK menjadi simbol clean government.Standar Kebutuhan Hidup Layak (KHL) menjadi pilar utama nominal upah buruh. Niscaya setiap daerah (kabupaten dan kota) serta antar propinsi memiliki KHL berbeda. Bergantung pada harga riil komponen belanja hidup.
Sebenarnya buruh memiliki posisi tawar ke-ekonomi-an lebih “berkeadilan.” Mulai tahun 2016, standar upah buruh wajib dikalkulasi dengan menyertakan pertumbuhan ekonomi, dan inflasi. Perdebatan “gaji pekerja” selalu di-kait-kan dengan iklim investasi. Ironisnya, rendahnya gaji pekerja, dijadikan keunggulan kompetitif. Padahal di negara-negara dengan gaji pekerja tinggi (Eropa dan Amerika), terbukti memiliki daya pikat investasi sangat besar pula.
Ternyata, iklim investasi lebih dipengaruhi sistem kepastian hukum, dan transparansi perizinan usaha.Dengan transparansi (tanpa pungutan liar), perusahaan bisa menghemat biaya sampai 20%. Dus, bisa meng-gaji pekerjanya dua kali lipat dibanding UMK 2018.

——— 000 ———