Indonesia dan Pemimpin “Tokek”

Irfan SonaOleh:
Irfan Sona
Direktur Utama Lembaga Kajian Sosial, Politik, Ekonomi, Agama dan Kebudayaan UIN Walisongo Semarang.

Pasca reformasi, benar-benar menjadi awan kelam bagi Bangsa Indonesia, di samping semakin ekspilisitnya sentimen dari luar negeri pada tataran global, khususnya rakyat Indonesia telah membuat kekhawatiran yang besar bagi penduduk Indonesia. Situasi domestik yang selalu lepas kendali kian memperparah masa kelam republik ini pasca lengsernya Soeharto. Bahkan, dalam tataran kepemimpinan, negara Indonesia sama sekali belum menemukan sosok pemimpin yang layak untuk dijadikan nahkoda negara ini.
Krisis kepemimpinan terjadi di mana-mana, tidak hanya dalam lingkup pusat saja melainkan hampir di seluruh penjuru Indonesia belum memiliki seorang pemimpin yang bisa membawa perubahan besar untuk bangsa. Mayoritas dari pemimpin yang ada sekarang tidak lebih hanya sebuah simbolis saja. Sebab, keberadaan mereka di gardu terdepan bangsa hanya laksana mesin yang tidak akan bergerak apabila tidak diperintah. Mereka sama sekali tidak memiliki gejolak untuk memajukan bangsa tercinta ini. Sikap ketidaktahuan mereka dalam memimpin tersebut telah berimbas pada kehancuran bangsa itu sendiri. Memang jika dilihat sekilas, Indonesia cukup baik jika dibandingkan pada masa orde lama. Akan tetapi, jika diteliti lebih dalam lagi, akan sangat nampak kerusakan yang terjadi di Indonesia. Berbagai macam konflik, kisruh politik, ekonomi yang melemah, sampai pada kondisi rakyat yang semakin sengsara menjadi bukti ketidakberhasilan para pemimpin bangsa ini.
Lalu, apa fungsi jabatan yang mereka miliki, jika tidak mampu membawa negara ke arah yang lebih maju lagi. Padahal, sudah menjadi keharusan dalam sebuah kemimpinan dari kurun waktu ke waktu yang lain, menjadi konsekuensi logis dari perkembangan masyarakat itu sendiri. Oleh sebab itu, kepemimpinan pada dasarnya berfungi untuk memelihara, mengembangkan dan mengalihkan dari budaya yang lama menuju budaya yang baru. Budaya dalam artian kondisi kehidupan masyarakat harus menjadi lebih baik lagi.
Akan tetapi, dengan situasi kepemimpinan seperti saat ini, rasanya sangat mustahil bisa merubah budaya-budaya yang ada di negara ini. Budaya-budaya seperti korupsi, konflik atar lembaga dan golongan, kemiskinan menjadi mustahil untuk dirubah menuju budaya yang baik. Semua orang pun sudah mengakui kalau pemimpin-pemimpin yang ada saat ini tak lebih daripada “ayam-ayam kampus”. Artinya, kehadiran mereka hanya mencari makan dan minum saja tanpa ada tujuan yang lain. Bahkan, cara yang mereka gunakan seringkali merusak, bukan memperbaiki. Selain anggapan “ayam kampus”, salah satu tokoh nasional A.M Fatwa pun ikut memberikan gelar bagi para pemimpin negara ini, yaitu pemimpin “tokek-tokek”.
Sebutan atau gelar tersebut tentu bukan tanpa alasan. Lihat saja bagaimana para pimimpin sekarang bekerja. Mereka lebih banyak menangkap ketimbang memberi. Dalam kontek ini, pemimpin Indonesia lebih banyak yang hanya menangkap apa yang diumpan oleh pihak-pihak luar tanpa berpikir panjang lagi. Sikap yang mereka lakukan itu tentu saja memberikan efek negatif terhadap negara. Sebab, mereka akan mudah dikendalikan oleh pihak lain, yang bisa saja akan dikendalikan ke dalam lingkaran yang buruk.
Kondisi kemimpinan yang seperti itu harus segera diatasi. Krisis kepemimpinan tidak boleh lagi terjadi. Sudah saatnya Indonesia bangkit dan keluar dari keterpurukan terutama dalam urusan pemimpin. Pemimpin-pemimpin yang ada atau yang akan lahir nantinya harus benar-benar mereka yang mengerti cara memimpin dan memiliki integritas tinggi dan baik. Pemimpin-pemimpin harus lahir dari tokoh-tokoh hebat bukan para “tokek” lagi. Lantas bagaimana ciri-ciri para pemimpin yang merupakan tokoh hebat tersebut.
Pertama, pemimpin harus melakukan usaha-usaha untuk memajukan bangsa, karena di antara makhluk-makhluk ciptaan Tuhan, ia memiliki posisi yang unik. Pemimpin diberi kebebasan berkehendak, tetapi tentu saja bukan otoriter agar dirinya bisa menyempurnakan visi dan missinya sebagai seorang khalifah (pemimpin). Missi inilah -perjuangan untuk menciptakan sebuah tatanan sosial yang bermoral di atas dunia- yang disebutkan sebagai amanah. Jadi, pemimpin harus memiliki jiwa amanah, jika ingin membuat sejarah baru dalam kepemimpinannya.
Kedua, seorang pemimpin harus memiliki pengalaman. Pengalaman di sini bertujuan agar ketika menjadi pemimpin, mereka sudah tahu harus melakukan apa. Pembentukan dan pengembangan kepemimpinan seseorang dilihat dari konsep pembelajaran sepanjang hayat. Pembelajaran tersebutlah yang sudah barang tentu akan memberikan pengalaman yang banyak bagi mereka. Selain itu, ia juga merupakan suatu proses penyadaran yang serempak dengan pemberdayaan.
Dan yang terakhir adalah seorang pemimpin mutlak harus memiliki ilmu. Dengan ilmu maka ia akan bisa berpikir dan menciptakan berbagai macam gerakan. Seorang pemimpin yang berilmu sudah pasti akan mampu menciptakan kondisi yang baik. Sebab, ia akan bisa membedakan mana yang perlu dilakukan dan mana yang tidak seharusnya dilakukan. Dengan kepintarannya tersebutlah, diharapkan pemimpin yang lahir kemudia bukan lagi para “tokek”, melainkan benar-benar para tokoh yang memiliki kemampuan dalam kepemimpinan. Dengan ilmu pula seorang pemimpin akan memiliki banyak seni dalam memimpin. Dengan banyaknya seni-seni tersebut akan mempermudahkan mereka dalam mengerakkan dan mencuri hari masyarakat. Kemampuan itu mutlak harus dimiliki, jika seorang pemimpin ingin mendapat dukungan dari rakyat.
Konsep-konsep tersebut benar-benar harus dipahami dan dimiliki oleh seorang pemimpin, agar ke depan kondisi bangsa bisa diperbaiki. Tentu saja harapan terbesarnya adalah Negara Indonesia ini menjadi lebih maju lagi. Dengan begitu, cita-cita para pendiri bangsa akan terwujud.

                                                                                                  ——————— *** ——————–

Rate this article!
Tags: