Kala Seorang Penyair Merindui Tanah Lahir

Judul Buku : Kumpulan Puisi Mata Melihat Rasa Mencatat
Penyunting : Muhammad Lefand
Penerbit : Inti Karya Aksara, Jember
Cetakan : I, Desember 2023
Tebal : 52 halaman
ISBN : 978-623-5478-05-0
Peresensi : Ahmad Fatoni, Penikmat Sastra dan Pengajar di UMM)

Mula-mula ia iseng membuat puisi dan ternyata dimuat di majalah sastra Horison pada 2006 silam. Tak disangka, puisinya menghiasi rubrik “kaki langit” yang terkenal ketat untuk pemuatan karya puisi. Sejak itu Muhammad Lefand muda termotivasi untuk terus menulis puisi. Bahkan sejumlah karyanya tersiar dalam berbagai media dan buku. Ada sekitar 60 buku antologi bersama yang memuat puisi-puisinya.

Kini, penyair kelahiran Sumenep 22 Februari 1989 itu berdomisili di Jember sebagai guru di SDN Sumbersalak 1 dan SDI Nurul Islam, Desa Slateng Kecamatan Ledokombo. Kesibukannya yang lain ialah sebagai penggiat Forum Sastra Pendhalungan Jember, namun aktivitas apapun tak membuatnya surut menggoreskan puisi. Belasan antologi puisi tunggalnya berhasil dibukukan. Terus berkarya di mana pun berada, begitulah obsesi Lefand sehingga mendapat berbagai penghargaan di jagad sastra nasional.

Kegigihan Lefand dalam mengakrabi dunia puisi, mengingatkan saya kepada sosok penyair “Penyair Celurit Emas”, D. Zawawi Imron yang hingga setua sekarang masih bangga bahwa hidupnya masih dikaitkan dengan puisi. Melalui media puisi, kedua penyair Madura tersebut tidak berhenti belajar menyelami alam dan budaya daerah tempat mereka dilahirkan. Terlebih Lefand yang sudah sekian lama meninggalkan pulau Madura, tampak belum bisa meninggalkan kemaduraannya: Mata melihat Madura/ Angin mengabarkan cerita/ Tentang tanah, laut, dan cinta/ Aroma rindu membumbu di dalam rasa. (Mata Melihat Rasa Mencatat Ingatan: 4).

Kata demi kata puitis yang terhimpun dalam buku ini ingin mempertegas kerinduan pengarangnya yang selalu lekat dengan keindahan alam perkampungan seperti tanah tegalan, lambaian pohon nyiur, desir angin pesisir, butiran pasir di tepi pantai, juga kebersahajaan irama hidup kaum nelayan, para pejaring ikan, riuh ombak serta aroma garam lautnya.

Betapa rindunya Lefand kepada tanah kelahirannya, hingga ke mana pun berkelana, tema tersebut selalu menari-nari di bawah sadar kepenyairannya. Dalam kumpulan puisi Mata Melihat Rasa Mencatat Lefand banyak merekam sebuah perkampungan kecil di Madura yang membuatnya selalu merindu. Kendati bertahun-tahun menjadi manusia Madura perantauan, ada gelegak rindu yang dibawa dari masa kecilnya: Ombak laut Madura/ Menyimpan kenang usia/ Berlayar perahu sepenuh doa/ Ada getaran khusyuk dalam dada/ Kepada masa kecil ingat bahagia. (Ombak Laut Madura: 36).

Memang puisi bukan segala-galanya. Namun bagi Lefand, puisi bagaikan lorong cahaya untuk memotret denyut nadi kehidupan di masa lalu. Tentu di sana ada satu kerinduan magnetik yang selamanya tak terbalaskan yaitu kenangan tentang kasih sayang sang ibu. Kendati puisi tak mungkin menggantikan keramat seorang ibu, namun setidaknya dapat merekatkan gemuruh kenangan yang mengabadi. //Atas nama kenangan/ Tak mudah semua kulupakan/ Angin dan air laut mengintimi badan/ Seperti seorang ibu memeluk anak kesayangan. (Dari Atas Bukit Melihat Laut: 23).

Menyimak antologi puisi ini juga menyiratkan penyairnya yang tidak pernah bernafsu menjadi orang lain yang bukan dirinya. Keteguhan sikap Lefand sungguh menohok kesadaran kaum perantau agar tidak terlalu silau dengan budaya orang lain atau merasa inferior dengan khazanah budaya asal daerahnya sendiri. Terbukti pilihan tema penyair yang pernah diundang sarasehan pertemuan penyair Asia Tenggara di Singapura ini, sulit melepaskan diri dari karakter kemaduraannya yang tak ingin menjadi ‘kacang yang lupa kulitnya’ di tengah pergaulan internasional sekalipun.

Himpunan puisi dalam buku ini menyadarkan pembaca setidaknya tentang dua pelajaran penting. Pertama, sebagian besar tema yang diangkat mengajarkan sikap kerterbukaan dalam menerima keragaman budaya tanpa melupakan akar budaya sendiri. Misalnya, bagaimana sang penyair merekam petualangannya bersama orang-orang di luar pulau Madura: Kelana kaki melangkah/ Esok akan menjelma kisah/ Langkah tak mengeluhkan lelah/ Ada yang bisa diambil menjadi tuah/ Niscaya kehidupan memerlukan gairah/ Agar luka perjalanan tak mengkhianati tanah. (Negeri Kelana di Seberang Laut: 26).

Sangat boleh jadi, Lefand memahami dunia multikultur sebagai sebuah ruang interaksi yang mampu menembus sekat-sekat geografis dan ragam etnis. Aneka model manusia saling berkumpul demi suatu hasrat, yakni keinginan berjumpa dengan sesama guna memuliakan kemanusiaan manusia. Hal ini terendus dari puisi di atas yang mengharapkan tuah dari budaya manapun tanpa merendahkan budaya daerah sendiri.

Poin kedua, dalam puisi-puisi Lefand selalu merindukan nilai-nilai kekeluargaan yang belakangan tampak robek di sana sini. Dalam kemasan bahasa yang matang, sang penyair menyindir keras atas retaknya bangunan kekerabatan oleh sebab sikap hipokret dan pengkhianatan: … Engkai pasti mengerti/ Rindu takkan ingkar janji/ Cerita desa bukanlah imaji/ Ikatan takkan bisa dikhianati/ Nafsu ego dibuang dari diri/ Tanah-tanah dirawat sepenuh hati/ Adalah potret kehidupan yang berseri. (Desa Broto dan Orang-orang Tercinta: 27).

Begitu banyak butiran rindu yang terselip dalam lembaran buku puisi ini. Dengan balutan warna oranye, sampul buku ini seolah hendak memvisualisikan kehangatan sikap pengarangnya dalam mengkomunikasikan segala kerinduan yang utuh. Warna oranye juga mengisyaratkan kreativitas dan petualangan, dua hal yang selama ini melekat dalam diri sang penyair.

———— *** ————–

Tags: