Keluarga Korban Kanjuruhan Berharap Terdakwa Dihukum Mati

Salah satu keluarga korban melihat proses persidang tragedi Stadion Kanjuruhan Malang di Pengadilan Negeri Surabya, Senin (16/1). [oky abdul sholeh]

PN Surabaya, Bhirawa
Keluarga korban tragedi Kanjuruhan menghadiri sidang perdana lima terdakwa di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Senin (16/1). Mengaku kecewa dengan jalannya persidangan, mereka menuntut agar para terdakwa dihukum mati dalam perkara ini.
Salah satu keluarga korban yang hadir adalah Juwariyah, orang tua dari almarhum Sifwa Dinar Artamefia (17). Raut wajah kecewa tak bisa disembunyikan oleh Juwariyah, pihaknya kecewa dengan jalannya persidangan perkara Kanjuruhan yang digelar di PN Surabaya. Sebab, sidang itu dianggapnya tidak serius lantaran tidak digelar secara online sebagaimana persidangan kasus Ferdy Sambo.
“Saya ingin melihat jalannya persidangan. Kalau bisa minta sidangnya online, seperti sidangnya Ferdy Sambo. Tadi kita sempat tidak boleh masuk, dilarang masuk,” kata Juwariyah, Senin (16/1).
Ia menyebut, bahwa seharusnya sidang tragedi Kanjuruhan ini dapat digelar secara terbuka dan semua pihak yang terlibat dapat dihadirkan. “Semua belum sesuai dengan keinginan korban, yakni sidangnya terbuka dan minta semua pihak dihadirkan. Agar semua tahu siapa pembantainya, karena selama ini kita cuma tahunya di tivi saja,” tegasnya.
Hal senada disampaikan oleh Rini hanifah (43), orangtua dari almarhum Agus Riansyah(20), warga Purwoasri, Pasuruan. Ia mengaku kecewa dengan jalannya persidangan kali ini. Apalagi, Ia mendengar dakwaan Jaksa yang menyebut jika tragedi ini hanya karena kelalaian para terdakwa saja. “Masak karena kelalaian-kelalaian saja. Maling ayam saja dihukum berat. Kalau bisa semuanya dihukum mati seperti korban-korban lainnya,” ungkapnya.
Sementara itu, salah satu keluarga korban, Devi Athok, menyesalkan proses persidangan Tragedi Kanjuruhan yang digelar di Pengadilan Negeri Surabaya tidak diperbolehkan untuk disiarkan secara langsung oleh media massa dan jurnalis.
Devi, di Kota Malang, mengatakan, ia selaku keluarga korban mempertanyakan kebijakan dari Pengadilan Negeri Surabaya yang tidak memperbolehkan adanya tayangan langsung proses peradilan tersebut. “Kami (Aremania) tidak diperbolehkan datang, kemudian juga media tidak diperbolehkan mengekspos (siaran langsung), ada apa. Peristiwa ini bukan kasus asusila, ini merupakan tragedi,” kata Devi.
Pengadilan Negeri Surabaya menyatakan bahwa proses persidangan Tragedi Kanjuruhan, tidak diperkenankan untuk disiarkan secara langsung yang merupakan permintaan dari majelis hakim.
Devi Athok sendiri merupakan ayah dari NBR (16) dan NDA (13) yang menjadi korban dalam peristiwa Tragedi Kanjuruhan. Proses autopsi juga telah dilakukan pada kedua putri warga Kecamatan Bululawang, Kabupaten Malang tersebut.
Devi menambahkan, sesungguhnya jika proses persidangan bisa disiarkan secara langsung oleh media dan jurnalis, proses jalannya persidangan bisa dikawal oleh seluruh pihak, termasuk oleh Presiden Joko Widodo.
“Seharusnya semua warga Indonesia mengetahui (jalannya persidangan), termasuk Presiden Jokowi bisa melihat bagaimana perkembangan persidangan di Surabaya,” katanya.
Ia menambahkan, meskipun dalam proses persidangan itu para terdakwa dikenakan Pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan orang mati dan Pasal 360 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan luka berat, ia tetap berharap proses sidang bisa dikawal.
“Walaupun pasal yang dikenakan hanya kealpaan, tapi jika kami hadir dan media bisa melakukan siaran langsung jalannya persidangan, kita bisa mengawal penegakan hukum di Indonesia,” katanya. [bed.ant.iib]

Tags: