Kesaktian Pancasila, Momentum Penguat Esensi Pendidikan

Dr Lia Istifhama, M.E.I

Oleh:
Dr Lia Istifhama MEI, Ketua I STAI Taruna Surabaya

Seperti diketahui, Hari Kesaktian Pancasila adalah hari nasional di Indonesia yang diperingati setiap 1 Oktober sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 153/Tahun 1967. Peringatan tersebut sebagai bentuk terjaganya ideologi Pancasila dari bahaya laten komunis atau PKI. Dalam hal ini, pengingat akan kejinya Peristiwa G30S/PKI dimana enam jenderal serta beberapa orang lainnya dibantai sekelompok orang yang menurut otoritas militer saat itu Partai Komunis Indonesia. Gejolak yang timbul akibat G30S/PKI sendiri pada akhirnya berhasil diredam dan Pancasila tetap menjadi ideologi bangsa yang terjaga hingga saat ini.

Hari kesaktian Pancasila tentunya menjadi momentum yang bisa diambil hikmah bersama. Setidaknya, ada dua poin penting yang menunjukkan bahwa Pancasila merupakan cara pandang hidup (the way of life) yang memiliki kesaktian sebagai esensi Pendidikan sehingga mampu menjaga karakter bangsa.

Penerapan penanaman nilai-nilai Pancasila dalam bangku sekolah memang cukup menarik. Pertama muncul tahun 1957, internalisasi Pancasila ditanamkan melalui pelajaran ‘Kewarganegaraan’, yang kemudian mengalami perubahan nama berkali-kali, diantaranya menjadi ‘Civics’, ‘Civics Manusia Indonesia Baru’, ‘Kewargaan Negara’, ‘Pendidikan Kewargaan Negara’, ‘Pendidikan Moral Pancasila (PMP)’, ‘PPKn’, ‘Pendidikan Kewarganegaraan’, dan ‘PKn’. Selain itu, model indoktrinatif nilai Pancasila juga dilakukan dengan istilah yang mengalami perkembangan. Sebagai contoh, saat Orde Lama disebut dengan materi Tubapi (tujuh bahan pokok indoktrinasi) dan Orde Baru dengan istilah P4, yaitu 45 butir di dalam Pedoman Penghayatan Dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa).

Meskipun mengalami perubahan istilah, hakikat dari pembelajaran nilai-nilai Pancasila dalam setiap tingkat pendidikan, seyogyanya mendapatkan prioritas. Setidaknya ada dua hal mendasar, yaitu bahwa Pancasila sebagai spirit kesatuan melalui keterlekatan antar sila dan bahwa Pancasila sebagai spirit moral bangsa.

Pancasila sebagai spirit kesatuan melalui keterlekatan antar sila

Keterlakatan lima sila di dalam Pancasila menunjukkan pertautan dan tidak terpisah satu sama lain. Sebagai contoh keterlakatan antara sila pertama dan kedua. Bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa adalah perwujudan nilai-nilai agama, dan Kemanusiaan Yang Adil Beradab adalah perwujudan nilai-nilai adab atau moral. Dalam hal ini, nilai agama mengajarkan kebaikan sehingga moral pun akan diarahkan secara baik. Moral yang baik inilah yang kemudian menguatkan rasa kemanusiaan di dalam jiwa manusia sebagai makhluk sosial.

Begitupun dengan spirit Persatuan Indonesia yang ditulis tegas dalam sila Ketiga Pancasila. Dalam hal ini, persatuan sebuah bangsa akan terwujud jika di antara mereka terdapat ikatan sosial, baik ikatan agama (sila pertama), ikatan kekerabatan, dan sebagainya yang menunjukkan kesadaran diri memiliki karakter humanis (sila kedua). Keterpaduan religius dan humanis menjadi pondasi terwujudnya sense of belonging menuju persatuan dan kebijaksanaan berpikir.

Spirit membangun kebijaksanaan dalam sila keempat, yaitu ‘Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan’, tentunya terwujud jika karakter diri memenuhi unsur sila-sila lainnya. Begitupun saat dikaitkan sila kelima Pancasila yang mengedepankan pentingnya memiliki karakter adil sebagaimana prinsip hidup ‘Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia’.

Secara singkat, disimpulkan bahwa Pancasila menjadi lambang kekokohan bangsa kita dengan lima sila yang saling menguatkan. Tanpa nilai agama, moral tidak mungkin terbentuk dengan baik. Tanpa nilai moral, tidak mungkin rasa kemanusiaan tumbuh pada jiwa manusia. Tanpa nilai persatuan, tidak mungkin keutuhan dan kebersamaan terjaga. Tanpa musyawarah, segala perselisihan tidak akan menemukan solusi. Dan tanpa rasa adil, tidak mungkin kita bisa menjadi pribadi yang bijak.

Dengan begitu, keterlekatan semua sila tersebut bukan semata menunjukkan kepentingan sebuah bangsa, melainkan kepentingan setiap individu agar memiliki kepribadian yang lebih humanis dan bersatu padu. Tak heran, kata gotong royong pun menjadi pengejawantahan dari keterpaduan semua sila dalam Pancasila. Bahwa setiap warga negara harus memiliki spirit bahu-membahu sebagai satu kesatuan, yaitu berdarah bangsa Indonesia yang memiliki identitas. Diantaranya sebagai kesatuan bahasa, daerah, ekonomi, dan budaya.

Kesatuan tersebut dapat mudah terwujud dalam setiap anak bangsa jika penanaman nilai Pancasila diikuti pendoktrinan sejarah bangsa. Dalam hal ini bahwa Indonesia adalah bangsa pejuang yang terbentuk karena perjuangan para pahlawan untuk hidup bersama (le desir de vivre ensemble) secara merdeka dan bangsa yang makmur dengan segala sumber daya alam yang sangat bisa dioptimalkan demi kemaslahatan bersama.

Pancasila Spirit Moral Bangsa
Nilai-nilai luhur yang tertuang dalam kelima sila, menunjukkan bahwa Pancasila adalah esensi sejati dalam pendidikan. Ketika penerapan pembelajaran dalam berbagai tingkat pendidikan mengedepankan spirit Pancasila, maka pendidikan generasi bangsa akan berjalan kuat dan baik. Terutama, hal tersebut berkaitan dengan pendidikan moral (character building) yang dibentuk sejak anak di bangku sekolah kanak-kanak.

Menjaga pendidikan sesuai esensi atau hakikatnya, adalah kepedulian kita semua mengingat pendidikan anak didik adalah penentu arah dan fokus negeri ini. Esensi tersebut tentunya bukan sebatas bagaimana ilmu dalam setiap pelajaran telah terdistribusikan kepada siswa, melainkan bagaimana ukuran dari pendistribusian tersebut. Hal ini terutama berkaitan dengan pendidikan daring yang mana ilmu terdistribusi melalui gawai atau gadget yang berpotensi mereduksi analisa kritis tentang penerimaan ilmu.

Perkembangan pendidikan, termasuk dengan berbagai macam problem yang hadir selama berjalannya proses mendidik, merupakan fakta-fakta yang dapat disimpulkan sebagai pemikiran tentang pentingnya moral terjaga selama proses pendidikan berlangsung. Momentum Hari Kesaktian Pancasila tentunya menjadi pengingat penanaman aspek sosial pada anak didik sesuai nilai-nilai dalam sila Pancasila.

Pada akhirnya, kita pun seyogyanya mengangkat pentingnya mencintai Pancasila dan membangun rasa cinta tersebut untuk orang di sekitar kita, khususnya keluarga sebagai institusi terkecil. Dengan menginternalisasi Pancasila, sama halnya kita menguatkan karakter nasionalisme anak-anak di tengah multikuralisme serta sekaligus menguatkan karakter moral sosial mereka. Spirit ini tentunya menjadi dasar moral bangsa yang mendukung ketahanan nasional sehingga terwujud Indonesia Tangguh dan Tumbuh. [*]

Tags: