KH Abdul Fatah: Tradisi Kupatan Desa Durenan Turun Temurun

KH Abdul Fatah

Trenggalek, Bhirawa
Suasana tradisi lebaran ketupat atau kupatan di Desa Durenan Kecamatan Durenan Kabupaten Trenggalek pada lebaran ke-8 tampak lebih ramai dibanding 1 Syawal.
Karena disini dulu tempatnya para alim ulama karismatik, maka setelah masuk dalam pekarangan ulama akan merasa mendapatkan berkah para ulama terdahulu, lanjut silahturahmi nya kepada saya sedangkan tabarukannya kepada almarhum, kata KH Abdul Fatah Muin pengasuh pondok pesantren Babul Ulun Durenan
“Walaupun tamu saya ribuan akan tetapi saya merasa itu bukan tamu saya itu tamunya mbah mbah saya karena yang ada saya jadi yang menemui saya” jelasnya.
Menurut KH Abdul Fatah Yang lebih bagus lagi kupatan di sini berjabat tangan nya bisa sampai 100 kali, dari hal itu yang tidak bisa ditiru dari desa lain, yaitu niat silaturahim yang kuat. Dalam beberapa tahun terakhir, lebaran ketupat sudah menyebar hampir ke seluruh Desa di Kecamatan Durenan bahkan sampai kabupaten. Padahal awalnya, tradisi lebaran ketupat hanya dilakukan di kediaman KH Abdul Masyir atau yang biasa disebut Mbah Mesir .
”Yang patut kita banggakan, sekarang lebaran ketupat sudah menyebar di desa-desa lain,karena kebiasaan di sini, khususnya di lingkungan pondok, lebaran ke-2 hingga ke-7 itu puasa sunah Syawal, kemudian perayaannya di lebaran ke-8,” katanya.
Abdul Fattah menjelaskan munculnya tradisi kupatan di lingkunganya dimulai sejak 200 tahun silam, saat pesantrennya dipimpin oleh Kyai Abdul Masyir.
“Dari awal tradisi open house ini hanya dilakukan disatu rumah saja, yakni di rumah kakek saya yang bernama Mbah Imam Mahyin melakukan puasa Syawal atau yang biasa di sebut nyawal, hal biasa kalau kupatan umumnya masyarakat biasa membawa ketupat dibawa ke mushola saat sawalan,”kata KH Abdul Fattah menceritakan awal mula berkembangnya tradisi lebaran ketupat Durenan.
Seiring perkembangan waktu, masyarakat sekitar yang mengetahui kebiasaan sang kyai tersebut selanjutnya mengikuti tradisi tersebut dan melakukan hal yang sama dengan menggelar perayaan Idul Fitri ketupat pada saat lebaran ke 8.
Diakui cucu Mbah Mesir ini, bahwa dirinya bersyukur atas tradisi turun temurun yang masih tetap terjaga dan lestari sampai saat ini. Kyai Fatah juga mengapresiasi adanya Lebaran Ketupat yang dilakukan di beberapa daerah.
Mengingat, di pondok Pesantren Babul Ulum inilah cikal bakal tradisi Lebaran Ketupat Durenan dikembangkan. Dari tradisi kupatan ini yang biasanya digelar pada hari 8 bulan Syawal.
Sebagai kyai terkenal, KH Abdul Masyir memiliki hubungan erat dengan kanjeng Bupati Trenggalek pada saat itu. Karena keakrabannya ini, setiap usai shalat Idul Fitri, Mbah Mesir selalu diundang Bupati ke pendopo.Tetapi Mbah Mesir biasanya menjalankan puasa Syawal selama enam hari, dan setelah itu pulang ke rumahnya di Durenan pada malam ke tujuh.
“Saat itulah, biasanya para santri dan warga sekitar berdatangan untuk silaturrahmi lebaran kepada Mbah Mesir,” ungkap KH Abdul Fattah.
Sepeninggal Mbah Mesir, tradisi kupatan diteruskan anak cucunya. Hingga sekarang, tradisi kupatan masih terus berlangsung.
KH Abdul Masyir atau Mbah Mesir pada zamannya merupakan salah satu pahlawan yang ikut berjuang mengusir penjajah. Ia juga berhasil mempersatukan masyarakat Durenan.
”Dulu yang merayakan lebaran ketupat hanya di kediaman satu rumah Mbah Imam Mahyin, dan ketupatnya dari masyarakat umum dibawa ke mushola saat pagi hari ”kata Abdul Fattah Muin menceritakan awal mula berkembangnya tradisi lebaran ketupat di Durenan.
Lanjut mbah fatah menceritakan tradisi merayakan lebaran ketupat diawali dari kebiasaan Mbah Mesir yang selalu menunaikan puasa Syawal,
Mbah Mesir adalah kiai terkenal di Durenan, Trenggalek. Beliau putra kiai Yahudo asal Slorok, Pacitan yang juga keturunan Mangkubuwono III, salah seorang guru Pangeran Diponegoro. Kiai kharismatik ini juga mempunyai hubungan yang erat dengan Bupati Trenggalek kala itu. Setiap usai sholat ied, Mbah Mesir selalu diundang kanjeng Bupati ke Pendopo untuk membantu menjamu tamu di Pendopo, Saat itulah Mbah Mesir menjalankan puasa Syawal selama enam hari,
”Setelah diundang selama enam hari beliau pulang ke kediamannya setelah magrib malam kupatan dan masyarakatpun berduyun duyun datang untuk silaturrohmi lebaran di kediamannya,” tutup Mbah Fattah. ( wek)

Tags: