Kreatif Mewariskan Nilai Kepahlawanan

Karikatur Gus Dur”Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya,” kutipan dari pidato presiden pertama RI, Soekarno, pada 10 November 1961 itu selalu bergaung kembali pada 10 November, hari yang ditetapkan sebagai Hari Pahlawan. Bertepatan dengan 10 November 2015, perenungan terhadap pahlawan dan penghargaan kepada pahlawan menemukan waktu yang tepat untuk membongkar kembali pemahaman tentang kepahlawanan dan kesesatan mitos yang menyertainya.
Pemerintah memperingati Hari Pahlawan dengan cara menganugerahkan gelar pahlawan nasional bagi tokoh-tokoh, biasanya adalah tokoh-tokoh perjuangan kemerdekaan. Pemberian gelar itu penting karena menunjukkan kepedulian pemerintah kepada mereka yang telah berjasa kepada bangsa, yang mengorbankan jiwa dan kehidupannya sebagai pribadi untuk kepentingan masyarakat. Tetapi, seremoni penganugerahan pahlawan berisiko kontraproduktif pula.
Disebut kontraproduktif karena seremoni gelar pahlawan nasional itu secara implisit mengajarkan konsep kepahlawanan yang hanya terikat pada masa lampau dan secara lebih khusus, terikat pada perjuangan pembentukan negara Indonesia. Pahlawan, dalam konsep formal, menjadi hanya terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan sejarah pemberontakan atas kolonialisme. Nilai kepahlawanan menjadi terasing dari hakikat kehidupan bernegara.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pahlawan didefinisikan sebagai ”orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani.” Kepahlawanan diartikan sebagai ”perihal sifat pahlawan (seperti keberanian, keperkasaan, kerelaan berkorban, dan kekesatriaan).” Definisi itu sangat kuat bersandar pada makna dasar perjuangan fisik, maskulinitas, dan menawarkan pemahaman yang terbatas.
Keterbatasan pemahaman itu berakibat pula pada keterbatasan pewarisan nilai-nilai kepahlawanan. Keluhan para pendidik-pengajar atau para generasi senior tentang kelunturan nilai-nilai kepahlawanan pada masa kini barangkali bersumber pula pada pereduksian pewarisan nilai-nilai kepahlawanan. Padahal, pewarisan nilai kepahlawanan tidak terbatas pada penganugerahan gelar pahlawan nasional atau ziarah ke makam pahlawan.
Tidak pula upacara pemberian bantuan kepada para veteran karena hal itu sesungguhnya sudah merupakan kewajiban pemerintah. Setiap cerita membutuhkan pahlawan. Demikian pula, setiap zaman melahirkan pahlawan apabila suatu bangsa secara kreatif selalu merumuskan nilai kepahlawanan sesuai zaman. Generasi masa kini makin galau memahami kepahlawanan karena konsep nilai kepahlawanan terasa makin jauh, makin asing, dan tidak nyata.

                                                                                                                ———– ooo ———–

Rate this article!
Tags: