Manusia Silver

foto ilustrasi

Oleh :
Wandi

Sudah dua minggu, Ahmad tidak bekerja seperti hari-hari biasa. Kebijakan dari pabrik tempatnya bekerja, membuatnya harus merasakan hidup nelangsa. Ia yang baru tujuh bulan bekerja, harus terkena imbas dari dampak pemutusan hubungan kerja.

Ia tidak bisa menutupi kesedihannya. Di gerbang pabrik, air matanya jatuh yang tak bisa ia tahan karena terus-menerus memikirkan masa depannya kelak. Ia bingung harus bekerja apa setelah terkena PHK.

Setelah menerima surat PHK, ia pun langsung bergegas untuk pulang ke rumah. Di sepanjang perjalanan menuju rumah, pikirannya terus memikirkan kesehatan sang ibu. Ahmad tidak mau kesehatan sang ibu menjadi turun drastis, apabila mendengar ia sudah tidak bekerja.

Tepat pukul 10.00, Ahmad pulang ke rumah dalam keadaan air mata yang sudah ia seka. Sang ibu yang melihat jam dinding, kaget tatkala anak tunggalnya itu sudah berada di rumah tak seperti biasanya.

“Kenapa sudah pulang, Nak? Biasanya kan pulang kerja pukul 15.30,” tanya sang Ibu.

“Sekarang lagi hari buruh, Bu. Teman-temanku ikut demo ke gedung DPRD. Aku lagi malas berpanas-panasan, mendingan aku di rumah menjaga ibu,” tutur Ahmad dengan mata yang berkaca-kaca.

“Oh gitu. Ibu tadi kaget lihat kamu sudah pulang jam segini. Kamu tidak apa-apa kan , nggak ikut demo dengan teman-temanmu?”

“Nggak Bu. Tadi aku izin nggak ikut, karena mau menjaga ibu yang sedang sakit.”

Mendengar perkataan dari Ahmad, membuat sang ibu terharu dengan anak tunggalnya itu. Ia pun langsung memeluknya sambil berlinang air mata. Ahmad tidak bisa menahan rasa sayangnya kepada sang ibu. Dalam pelukan sang ibu, ia masih kepikiran mengenai masa depannya.

Setelah mereka saling berpelukan, Ahmad pun pergi menuju kamarnya. Ia merasa bersalah, karena sudah membohongi ibunya. Beberapa kali, ia meminta ampunan kepada Sang Khalik, atas ucapannya yang tadi sudah berbohong kepada sang ibu.

Di malam hari, setelah selesai salat Isya. Ahmad mulai tercenung dengan hari esok yang akan ia hadapi. Ia bingung alasan apa lagi supaya ibunya tidak bertanya-tanya bilamana besok ia tidak berangkat bekerja.

Hampir semalaman, Ahmad memikirkan apa yang harus ia lakukan. Di tengah malam yang semakin dingin, di dalam kamarnya, ia mendapatkan ide supaya sang ibu tidak curiga bahwa ia sudah tidak bekerja lagi.

Keesokan harinya, seperti rutinitas biasa. Ia pergi pada pukul 06.00 tepat. Ia tak lupa berpamitan dengan sang ibu dengan berlinang air mata. Sang ibu yang melihat Ahmad meneteskan air mata, membuatnya bertanya-tanya mengenai apa yang sedang dirasakan oleh sang anak.

“Kamu kenapa, Nak? Kamu sakit? Ibu khawatir, kalau kamu berangkat bekerja dalam keadaan sakit.”

“Nggak, Bu. Aku tidak apa-apa. Aku hanya teringat almarhum ayah yang sudah dua tahun meninggalkan kita. Ahmad semalaman nggak bisa tidur karena rindu dengan ayah.”

“Mari kita berdoa untuk almarhum ayahmu. Semoga almarhum tenang di alam sana,” ucap sang ibu sambil menyeka air matanya.

Selesai berdoa, Ahmad berangkat dengan tujuan untuk melamar ke pabrik-pabrik yang ada di kotanya. Dalam benaknya, ia harus secepat mungkin mendapatkan pekerjaan untuk keberlangsungan hidupnya sehari-hari bersama sang ibu.

Hampir menginjak minggu ketiga, ia belum mendapatkan pekerjaan juga. Ia merasa bersalah, harus membohongi sang ibu setiap hari. Apalagi uang pesangon yang tak kunjung cair, membuat rasa berdosanya semakin tinggi. Uang yang ada di ATM-nya tinggal beberapa ratus ribu lagi. Perasaannya dibuat terombang-ambing akibat dampak PHK yang dialaminya. Ditambah seminggu lagi, sang ibu harus kontrol ke rumah sakit.

Sebelum sang ibu pergi ke rumah sakit untuk kontrol penyakit jantung yang sudah ia idap selama dua tahun ini. Ahmad semakin rajin memasukkan lamarannya ke berbagai perusahaan. Namun, semua perusahaan yang ia datangi, tidak membuka lowongan buat karyawan baru.

Ia pun pulang dalam keadaan kurang bersemangat. Ia kebut motornya dengan beberapa kali melewati mobil besar yang hampir menabraknya. Di dekat stopan, ia melihat manusia silver yang sedang meminta uang kepada para pengguna jalan. Ia melihat, manusia silver tersebut mudah sekali mengumpulkan uang dari hasil meminta-minta. Ia pun tertarik untuk menjadi manusia silver.

Keesokan harinya, di tengah matahari yang sedang beranjak naik. Ahmad yang terdesak kebutuhan, rela melumuri seluruh badan dan juga wajahnya dengan serbuk bedak silver. Ia mulai beraksi di dekat stopan dan mulai menari-nari untuk mendapatkan belas kasihan dari para pengguna jalan.

Tiga jam lamanya, ia bertelanjang dada. Tubuh kurusnya disorot cahaya matahari yang semakin terik menyinari bumi.Lembaran rupiah dua ribuan, mulai terkumpul di ember kecil yang ia beli di pasar tadi pagi. Rasa khawatirnya akan keberlangsungan hidup mulai hilang darinya.

Tak terasa, waktu sore sudah datang menghampiri. Ahmad yang sudah mengumpulkan cukup banyak lembaran uang dua ribuan, bergegas untuk pulang. Hal ini ia lakukan supaya sang ibu tidak curiga kepadanya.

Sesampainya di rumah, ia parkirkan motornya di halaman rumahnya. Sang ibu yang sedang duduk di kursi halaman rumah, kaget melihat ada bekas serbuk bedak silver di keningnya. Ia pun bertanya kepada anaknya itu mengenai bekas serbuk silver yang menempel di keningnya.

“Itu ada yang menempel di keningmu, Nak. Coba ibu lihat. Ini kan serbuk silver. Kamu habis dari mana?”

“Oh ini, Bu. Tadi di pabrik ada yang ulang tahun. Salah satu temanku menempelkan serbuk silver ini di keningku. Biasa kalau ada yang berulang tahun, suka ada yang jahil, Bu,” ucapnya. “Ya sudah Ahmad mau ke toilet dulu, mau sekalian bersih-bersih.”

Selesai mandi, ia mulai menghitung uang yang ia dapatkan di hari pertama menjadi manusia silver. Ia tak menyangka uang yang dikumpulkan cukup untuk makan tiga kali dalam sehari.

Besoknya, ia melumuri tubuhnya lebih pagi dari hari kemarin. Ia ingin mengumpulkan uang lebih banyak untuk ongkos kontrol dan berobat sang ibu yang tinggal beberapa hari lagi.

Pukul 08.00 tepat, ia sudah berdiri di depan stopan dan melakukan gerakan break dance ketika lampu merah berhenti. Ia lakukan gerakan break dance di depan para pengguna jalan. Para pengguna jalan pun merasa terhibur melihat aktraksi salto yang diperagakan olehnya Mereka memberikan uang lima ribuan ke ember kecil milik Ahmad.

Sepanjang hari,ia melakukan gerakan salto berulang kali setiap lampu stopan menujukkan warna merah. Rasa lelah ia abaikan demi melihat sang ibu sehat seperti sedia kala.

Tak terasa, sore telah datang untuk menyambut gelap. Ia pun mengakhiri aksinya satu jam sebelum jam pulang pabrik, tempat dulu ia bekerja. Ketika hendak pulang, ia kaget tatkala empat orang yang tidak ia kenal, mencegatnya untuk meminta jatah setengah dari penghasilan yang ia dapat di hari itu. Mendengar permintaan dari mereka, ia tidak memberikan uang sepeser pun kepada keempat orang yang tidak dikenalnya itu.

Penolakan darinya yang tidak mau memberikan uang, membuat salah satu dari mereka langsung menghujamkan sebilah pisau belati berkali-kali ke perut Ahmad hingga meregang nyawa.

———— *** ————

Penulis :
Wandi, lahir di Cianjur 3 Februari 1990. Alumnus Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Suryakancana Cianjur. Sehari-hari bekerja sebagai guru di SMA Negeri 1 Warungkondang

Rate this article!
Manusia Silver,5 / 5 ( 1votes )
Tags: