Marak Penolakan Pemakaman Protokol Kesehatan di Kabupaten Probolinggo

Pemulasaran jenazah di RSUD Waluyo Jati, Kraksaan di saksikan kelurga korban Covid 19. [wiwit agus pribadi/bhirawa]

Keluarga Pasien Jadi Saksi Pemulasaran Jenazah Covid-19
Probolinggo, Bhirawa
Belakangan kerap terjadi perebutan jenazah Covid-19. Agar hal itu tidak terjadi di Kabupaten Probolinggo, melalui Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta masyarakat memegang diri dan tidak mudah terpancing.

Hal itu lamaran Yasin Sekretaris MUI Kabupaten Probolinggo, dalam kegiatan sosialisasi teknis pemulasaran jenazah Covid-19 di RSUD Waluyo Jati, Sabtu 8/8/2020. Menurut Yasin, sebenarnya MUI miris dengan kejadian penjemputan paksa tersebut.

Pihaknya berharap masyarakat percaya dengan petugas medis. Mereka tidak akan tidak berwenang. “Ini adalah kegiatan untuk antisipasi dan pengawasan kepercayaan kepada petugas medis,” katanya.

Dalam proses pemulasaran jenazah sudah sesuai dengan syariat Islam. Itu mulai dari memandikan hingga ke penguburan. “Kami ide sesuai dengan ajaran Islam untuk pemulasaran. Kami, tadi (Kamis, Red) melihat bagaimana cara pihak rumah sakit dalam penanganan jenazah Covid-19, ”jelasnya.

MUI sempat berbicara kepada pihak rumah sakit agar dalam pemulasaran, pihak keluarga dilibatkan sebagai saksi. Tentunya, itu dilakukan dengan menggunakan protokol kesehatan. Sehingga, tidak timbul kecurigaan. “Alhamdulillah diterima dan semuanya bisa dilakukan,” terangnya.

Yang menjadi titik krusial yaitu ketika ada orang meninggal dan dikebumikan secara protokol Covid-19. Padahal, hasil swab belum keluar. Jenazah harus dikebumikan, selang empat jam setelah meninggal. Biasanya masyarakat penilaian hal itu dinyatakan positif. Tetapi itu bukan di Covid -kan. Tapi jaga-jaga kalau ada yang positif, ”tuturnya.

Ia menerangkan, antara masyarakat dengan petugas medis harus berkesinambungan. Jika ada keluarga yang memiliki tanda tertular korona, harus segera dibawa. Tujuannya untuk dilakukan swab. Sehingga, harus swabnya tidak lama keluarnya, ”tandasnya.

Disinggung Penolakan terhadap pemakaman dengan protokol kesehatan pada pasien suspect atau positif Covid-19, semakin sering terjadi. Kondisi itu terjadi karena banyak faktor. Salah satunya, keluarga menganggap pasien meninggal karena penyakit bawaan tahunan, bukan Covid-19.

Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kabupaten Probolinggo dr. Anang Boedi Yoelijanto mengakui, belakangan ini banyak pasien yang dimakamkan dengan protokol kesehatan. Tidak hanya pasien positif Covid-19, status suspect pun harus dimakamkan dengan protokol kesehatan.
Standarnya memang harus dimakamkan dengan protokol kesehatan. Meskipun pasien itu belum dinyatakan positif. Tidak peduli nanti hasil swab -nya seperti apa. Jika ada penyakit atau keluhan ke arah positif, maka dinyatakan tersangka dan harus dimakamkan dengan protokol kesehatan, ”katanya.

Anang mengungkapkan, pasien positif Covid-19 di Kabupaten yang meninggal ada 9 orang. Namun, pasien yang diduga meninggal tidak lagi dirilis. Hanya saja, instruksi cukup banyak.

”Pasien tersangka Covid-19 yang meninggal, wajib dimakamkan dengan protokol kesehatan. Tujuannya, sebagai upaya antisipasi untuk mencegah penyebaran virus korona. Kami berusaha melindungi keluarga pasien meninggal. Jika hasil swab positif, keluarga terlindungi, tidak tertular, ”terangnya.

Koordinator Pengamanan dan Gakum Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kabupaten Probolinggo Ugas Irwanto menambahkan, belakangan semakin marak ditolak terhadap yang menggunakan protokol kesehatan. Di Kabupaten Probolinggo, kasus serupa dua kali terjadi. Beruntung, tim tingkat Muspika bisa melakukan pendekatan dan teman keluarga yang tidak mendukung proses pemakaman dengan protokol kesehatan.

”Kami tim dari Kabupaten Probolinggo, dua kali turun mediasi dan upacara pemakaman dengan protokol kesehatan yang ditolak oleh keluarga atau warga,” tambahnya.(Wap)

Tags: