Medsos Mengkhawatirkan

Konten media sosial (medsos) tentang Pemilu, makin miris. Sudah terjadi sebaran hasil poling palsu, adu fitnah, dan caci-maki. Kementerian Kominfo telah menangani 200 lebih hoax tentang Pemilu. Berbagai medsos digunakan menyiarkan hoax, terutama platform Facebook, platform X, Instagram, Youtube, dan TikTok. Setiap kunjungan dan sapa masyarakat oleh Capres (dan Cawapres), selalu diikuti perundungan (sampai mengarah ke fitnah). Bagai perang terbuka di medsos.

Riuh perang di medsos bisa berujung tawur sosial pada dunia nyata. Kampanye bukan sekadar pamer kelebihan Paslon. Melainkan konten kampanye hitam, dengan serangan secara terang-terangan. Kadang, “serangan” dikemas dengan motif komedi, tetapi tidak lucu. Bahkan terasa sangat kejam terhadap lawan. Sudah banyak peraturan diterabas. Sehingga kampanye pada medsos menjadi paling rawan keterbelahan sosial, dan konflik pada ranah grass-root. Terutama berita bohong (hoax).

Sesuai amanat UU Pemilu tahun 2017, kampanye merupakan pendidikan politik masyarakat. Pada UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, kampanye diatur dalam 72 pasal, mulai pasal 267 sampai pasal 339. Menjadi norma pengaturan paling panjang pada UU tentang Pemilu. Namun berjuta-juta pernyataan penistaan dan berita bohong (hoax) telah ditebar di medsos. Termasuk hoax dari parpol pro-rezim (pemerintah). Banyak Menteri mengeluarkan pernyataan yang tidak sesuai tupoksi (tugas pokok dan fungsi).

Bawaslu patut bekerjasama dengan Kementerian Kominfo untuk meningkatkan kinerja penelusuran berbagai platform medsos. Terutama dalam penindakan kejahatan siber berkait Pemilu. Khususnya penegakan terhadap UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Ancaman pidana terutama berkait ujaran kebencian, pasal 45 ayat (2), juncto pasal 28 ayat (2). Ancaman hukumannya penjara selama 6 tahun.

UU Pemilu juga mengenal “larangan” dalam ber-kampanye. Dimulai pasal 280 ayat (1), huruf a hingga j. Khususnya pada huruf c, dilarang: “menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau Peserta Pemilu yang lain.” Serta pasal 280 ayat (1) huruf d, dilarang: “menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat.” Sanksi paling berat tercantum pada pasal 286, berupa pembatalan sebagai paslon (Capres-Wapres) maupun Caleg.

Bisa jadi, kebebasan mengeluarkan pendapat merupakan “buah” dari iklim demikrasi yang membaik di Indonesia. Begitu pula Konstitusi (UUD) menjamin kebebasan informasi dan menyatakan pendapat. UUD pasal 28F, menyatakan, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”

Tetapi pada amsa kampanye Pemilu, dan Pilpres (juga Pilkada), selalu terjadi “perang” kampanye hitam pada ranah medsos. Kementerian Kominfo mencatat sebanyak 203 isu hoax Pemilu dari ebrbagai platform digital. Tersebar dengan 2.882 konten. Paling banyak hoax dimuat di Facebook, disusul Twitter (X), dan TikTok. Hoax tahun 2023 tumbuh lebih subur disbanding tahun 2022, karena bersamaan kampanye Pemilu, dan Pilpres.

Kementerian Kominfo juga menggunakan mesin pengais hoax, bernama AIS (Automatic Identification System), tidak murah. Harganya sekitar Rp 200 milyar, di-opersional-kan oleh 106 orang, selama 24 non-stop. Maka kinerja mesin penjejak hoax seyogianya bisa di-kerjama-kan dengan berbagai pihak. Termasuk Bawaslu, dan DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu). Sehingga setiap pelanggaran kampanye pada medsos, bisa diketahui semua pihak secara transparan. Tidak boleh tebang pilih.

Medsos menjadi andalan kampanye narsis, sekaligus menistakan lawan politik. Tanpa batas kebebasan menyatakan pendapat, nyata-nyata telah menyebabkan kegaduhan sosial. Mengancam persatuan nasional.

——— 000 ———

Rate this article!
Medsos Mengkhawatirkan,5 / 5 ( 1votes )
Tags: