Membangun Pendidikan di Atas Kepentingan Ego Struktural

Sejumlah tokoh pendidikan di Jatim memberikan apresiasi terhadap mantan Kepala Dindik Jatim Dr Harun Msi atas sumbangsihnya terhadap pendidikan di Jatim.

(Karakter Terdidik Harus Dimiliki Peserta Didik, Guru dan Penyelenggara)
Surabaya, Bhirawa
Struktur pegelolaan pendidikan telah mengalami sejumlah perubahan. Mulai dari pengelolaan vertikal oleh kementerian, berlanjut ke otonomi penuh oleh kabupaten/kota hingga akhirnya terbit Undang-Undang 23 tentang pemerintah daerah yang membagi pengelolaan pendidikan di beberapa jenjang.
Berbagai perubahan itu sejatinya hanyalah upaya mencari pola pembangunan pendidikan terbaik demi menjamin hak setiap anak bangsa. Karena substansi terpentingnya adalah, bagaimana setiap struktur pemerintah mulai dari pusat, provinsi hingga daerah memiliki peran yang sama-sama penting untuk pendidikan yang berkualitas.
Pengamat Pendidikan Dr Harun Msi mengungkapkan, dalam era otonomi pemerintah provinsi sama sekali tidak memiliki kewenangan mengelola pendidikan. Tetapi saat itu, semua daerah tetap bisa diajak koordinasi dengan baik. “Sebagai contohnya ketika kita harus melaksanakan Ujian Nasional (UN) atau mengimplementasikan Kurikulum 2013. Semua dilakukan di bawah garis koordinasi provinsi, meski sedianya saat itu kewenangan penuh ada di tangan daerah,” tutur Harun ditemui dalam diskusi bertajuk Meluruskan Arah Pendidikan, Senin (1/5).
Dalam forum tersebut, sejumlah tokoh pendidikan di Jatim berkumpul mengurai gagasan untuk pendidikan yang lebih baik. Salah satu catatan pentingnya ialah sinergi antar pemerintah yang mulai tidak efektif untuk urusan wajib pendidikan. “Setiap aturan yang dibuat pasti menyimpan tujuan positif. Namun dalam implementasinya terkadang kurang bisa dipahami baik oleh pengelola, sekolah maupun tenaga pendidiknya,” ungkap Harun yang juga mantan Kepala Dinas Pendidikan (Dindik) Jatim itu.
Harun menegaskan, pendidikan memiliki terlalu banyak mata rantai. Mulai dari siswa, sekolah, orangtua, pemerintah dan masyarakat luas. Hal ini tidak akan terlalu berat jika setiap elemen dapat saling berkomunikasi dengan baik. Pemerintah provinsi, sebagai pengelola pendidikan menengah, tidak lantas abai dengan masukan kabupaten/kota. Cabang dinas di daerah dan dindik kabupaten/kota, satu sama lain harus sinkron. “Tidak jalan sendiri-sendiri. Karena idealnya memang komunikasi tidak boleh putus. Karena yang dinamakan aturan, mulai dari presiden, gubernur hingga bupati/wali kota itu tidak boleh terputus,” ungkap dia.
Hal senada diungkapkan Penasehat Dewan Pendidikan Jatim Prof Zainudin Maliki. Menurut dia, pendidikan harus disinergikan dengan berbagai elemen. Karena itu, di Australia, pusat kurikulum tidak hanya ditangani oleh pakar pendidikan, melainkan juga ada pengusaha dan berbagai latar belakang lain.
“Saya melihat sinergi pendidikan yang efektif itu dulu, saat ini sudah mulai hilang. Bahkan partner dindik, yaitu dewan pendidikan, isinya hanya orang-orang pendidikan saja. Padahal user dari out put pendidikan itu adalah pengusaha dan lain sebagainya,” ungkap dia.
Lebih lanjut Zainudin menjelaskan, falsafah Ki Hajar Dewantara selalu relevan di setiap zaman. Kompetensi guru yang multi tasking adalah pengejawantahan dari falsafah Ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. Sayangnya, guru dengan beban terlalu berat membuat mereka miskin pengalaman untuk melakukan hal-hal kreatif.
“Guru tidak hanya mengajar, seharusnya mereka juga mendampingi, memberi contoh, monitoring, melatih sampai siswa itu berhasil,” kata Zainudin.
Terget pembelajaran berupa learning to know, to do dan to be masih berhenti sampai pada to know. Karena itu, penanaman karakter diperlukan untuk menghasilkan out put sampai pada to do dan to be. Salah satunya dengan revolusi mental pendidikan karakter sebagaimana dalam nawa cita presiden. “Bukan hanya siswa yang harus memahami karakter terdidik seperti itu. Guru dan pengelola pendidikan juga harus memiliki karakter yang sama-sama terdidik,” ungkap mantan Rektor Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya itu.
Terbukti, saat UN tidak lagi menjadi penentu kelulusan, hasil nilai UN siswa terus menurun. Terlebih kala UN semakin diperketat dengan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK), nilainya juga semakin turun. “Dari situ dapat dilihat bagaimana motivasi siswa dalam sekolah masih terbatas sampai pada mengejar nilai-nilai. Begitu nilai UN tidak terlalu penting, ujian pun dientengkan,” kata dia.
Dari pengalaman ini, Zainudin berharap pemerintah lebih cermat terhadap kebutuhan pendidikan yang seutuhnnya. Mempersiapkan guru, seharusnya tidak hanya melalui jenjang pendidikan tinggi. Tetapi, guru harus disiapkan sejak mereka berada di jenjang pendidikan menengah. “Kementerian perlu membuka lagi SPG (Sekolah Pendidikan Guru),” kata dia.
Sebelumnya, Kepala Dindik Jatim Dr Saiful Rachman telah mengumumkan Daftar Kolektif Hasil Ujian Nasional (DKHUN). Catatan penting yang diungkapkan Saiful adalah perubahan signifikan daerah-daerah yang semula masih menggunakan ujian paper kemudian beralih ke komputer. Nilainya menurun drastis. “Daerah-daerah di wilayah Madura tahun lalu mendpat nilai terbaik, tapi setelah beralih ke komputer justru turun ke peringkat 36 se Jatim,” ungkap dia.
Pergeseran hasil nilai ini, oleh Dindik Jatim akan dijadikan dasar sebagai pemetaan pendidikan selanjutnya. “Perlu ada pendampingan khusus berupa peningkatan kompetensi bagi daerah-daerah yang nilainya anjlok. Baik untuk guru maupun siswanya,” ungkap Saiful. [tam]

Tags: