Membumikan Pendidikan Moral dan Budi Pekerti

Oleh :
Masyhud
Pengajar FKIP Bahasa Inggris Universitas Muhammadiyah Malang

Tanggung jawab yang paling esensial pendidikan sejatinya sangat berat. Artinya, pendidkan tidak hanya menyiapkan dan menjadikan generasi bangsa untuk memperoleh pekerjaan yang layak dengan ijazah kelulusan pada tingkatan tertentu yang lebih berorientasi kesuksesan materi atau dunia semata. Namun lebih dari itu, sudah selayaknya fungsi pendidikan seharusnya berjalan sesuai dengan proporsi yang seimbang sehingga menghasilkan keluaran yang kompeten dalam bidang ilmu pengetahuan. Bukan saja mampu mengandalkan kemampuan pikir dan kognitif yang baik, melainkan juga memiliki jiwa dan karakter yang luhur.
Itulah sebabnya, lembaga pendidikan sekurang-kurangnya memiliki empat fungsi utama, (1) sebagai sarana transfer ilmu pengetahuan; (2) konservasi dan pengembangan ilmu pengetahuan; (3) penguasaan life skill dan teknologi; (4) sarana pembangunan karakter (Ismail, dkk, 2006: 76).
Sementara selama ini penulis menilai fungsi keempat utama pendidikan tersebut masih jauh dari harapan bersama. Ketimpangan itu menyebabkan ketidakseimbangan keluaran antara kemampuan kognitif dan pembentukan karakter yang positif. Kemampuan kognitif yang tidak diimbangi dengan karakter yang positif menyebabkan munculnya pribadi-pribadi yang cacat secara nilai.
Oleh sebab itu, di antara pekerjaan rumah sistem dan lembaga pendidikan di Indonesia saat ini ialah mengembalikan pendidikan pada fungsinya sebagai pembentuk karakter bangsa yang tidak hanya bertugas sebagai sarana transfer ilmu pengetahuan, pengembangan keilmuan, penguasaan life skill dan teknologi, tetapi juga sebagai wahana internalisasi nilai-nilai luhur dan ideal bagi masyarakat.
Semua itu harus terkooptasi dalam hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia ialah pendidikan nilai, yakni pendidikan nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda (Wibowo, 2012: 34).
Penanaman budi pekerti yang baik bagi generasi bangsa lewat jalur pendidikan sangat urgen diinternalisasi, sebab memiliki relevansi dengan perkembangan perilaku masyarakat dewasa ini. Salah satunya, melalui nilai-nilai moral. Nilai-nilai moral merupakan salah satu unsur dalam nilai-nilai luhur yang dimaksud. Pendidikan, dengan demikian, dapat berkontribusi dalam penanaman budi pekerti yang baik bagi peserta didik.  Spirit budi pekerti ini umumnya bersumber dari diri sendiri yang berkorelasi dengan norma-norma agama dan adat masyarakat.
Pola penanaman budi pekerti
Pola penanaman budi pekerti ini dapat dilakukan lewat pendidikan dalam arti luas, yaitu formal maupun nonformal. Pendidikan formal yang dimaksud ialah pola pembelajaran di lembaga-lembaga pendidikan yang diselenggarakan pemerintah maupun swasta, sedangkan pendidikan nonformal sebaliknya, yaitu proses pembelajaran di luar jam sekolah formal, seperti peran keluarga. Keluarga dan pendidikan sekolah yang selalu membiasakan dan menghargai kejujuran membuat anak akan merasa salah dan jiwanya tersiksa kalau tidak jujur. Kebiasaan ini pada urutannya akan membentuk pribadi jujur.
Besar harapan pendidikan di alam Indonesia merdeka harus bermuara pada membentuk pribadi yang saleh. “Kesalehan” merupakan watak kebangsaan yang pas bagi bangsa Indonesia karena mengekspresikan pandangan dan sikap hidup  duniawi moderat yang rasional, didasarkan keyakinan pada Tuhan sesuai prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang diwahyukan-Nya. Agama harus menjadi kekuatan dan jalan hidup rasional, obyektif, dan konstruktif, bukan sebaliknya: menyuburkan praktik-praktik irasional dan destruktif.
Pendidikan karakter bukan sekadar rangkaian kalimat indah yang disusun dalam buku atau kurikulum melainkan harus merupakan formulasi yang dapat membangkitkan kesadaran akan pentingnya berjiwa luhur dan berbudi pekerti luhur. Tidak sekadar teori yang mudah disampaikan tetapi sulit dilaksanakan. Ia harus merupakan “obat ampuh” untuk menyembuhkan kemerosotan moral, kemerosotan nilai-nilai dan budi pekerti luhur, terlebih pendidikan karakter juga harus dapat menyembuhkan “kerusakan perilaku” yang makin jauh dari nilai-nilai acuannya.
Kenyataan yang dihadapi seorang guru dan dosen sangat sangatlah rumit. Banyak sisi yang saling bertentangan dan sangat ambigu. Di satu sisi guru dan dosen merupakan agen perubahan yang seolah-olah “harus bertanggung jawab” terhadap pendidikan generasi muda, baik secara kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Di sisi lain, guru dihadapkan pada kenyataan sosial yang memiriskan hati siapa saja yang melihat.
Bagaimana tidak miris jika berbagai perilaku kejahatan moral, dari korupsi, kolusi, nepotisme, hingga suap-menyuap justru dipertontonkan oleh para punggawa negeri ini. Berita koran, situs-situs, dan tayangan televisi menjadi sangat transparan, bahkan cenderung vulgar dalam mengekspose perilaku korupsi dan suap-menyuap, dan hal ini sangat mudah ditangkap oleh peserta didik, bahkan anak-anak sekalipun.
Padahal guru dan dosen harus memberikan contoh karakter terpuji, nilai-nilai luhur, jiwa kepahlawanan, dan sikap rela berkorban; sementara secara sosial terjadi paradoks: terpapar beberapa kenyataan yang sangat berlawanan? Bagaimana guru dan dosen menafsirkan realitas sosial itu? Bagaimana guru dan dosen akan mengajarkan nilai-nilai luhur perilaku terpuji jika para elite politik, pejabat pemerintah, dan tokoh masyarakat justru menampilkan sikap dan perilaku sebaliknya?
Sangat sulit untuk tidak menggeneralisasi tafsir sosial atas kenyataan amburadul yang dipertontonkan para elite. Peserta didik bisa skeptik, mencibir, dan berujung pada sikap apatis. Andai seorang pendidik “menyuruh peserta didik untuk tutup mata dan tutup telinga”, yang penting tetap menyampaikan ajaran pendidikan karakter yang sudah terangkai dengan indah sekalipun, toh siswa dapat mengakses berita dari berbagai sumber yang sudah mengglobal. Sekiranya dengan realitas yang demikian peserta didik kita dihadapkan pada ambiguitas dalam menyerap nilai-nilai pendidikan karakter yang diajarkan.
Kecenderungan kebuntuan semacam itu, kita harus jujur membeberkan kenyataan dan harapan yang sangat berbeda, memotivasi para pendidik agar tetap mengajarkan nilai-nilai luhur kepada peserta didik, sering hanya bisa menyarankan “marilah melakukan sesuatu yang besar dimulai dari hal kecil”, sering hanya bisa menyarankan “mulailah dari diri sendiri, dan sekarang juga”. Oleh sebab itu, adagium ‘satu teladan lebih baik daripada seribu kata-kata’ kiranya sangat tepat diterapkan dalam pendidikan moral anak-anak.
Kemampatan dan kebuntuan jalan bagaimana sebaiknya memengertikan pendidikan karakter kepada anak didik akhirnya hanya melahirkan ajakan dan motivasi kepada pendidik agar tetap bersemangat dan memberikan keteladanan utama. Karenanya saya yakin, dengan keteladanan perilaku luhur, tindakan yang luhur dan terpuji, generasi muda kita akan dengan gembira menyerap nilai-nilai luhur dalam pendidikan karakter. Dengan keteladanan akhirnya mereka merasa “butuh” berperilaku terpuji, bukan sekadar “harus” berperilaku terpuji.

                                                                                                  ———— *** ————–

Tags: