Menelaah BPN di Tengah Sengkarut Impor

foto ilustrasi

Badan Pangan Nasional (BPN) dari awal dibentuk bertujuan untuk membatu upaya peningkatan produksi dan stabilisasi harga, yang endingnya diharapkan dapat membawa dampak pada menurunan volume impor pangan. Namun sayang, Badan yang resmi dibentuk Presiden Jokowi melalui Peraturan Presiden Nomor 66 tahun 2021 tentang Badan Pangan Nasional per tanggal 29 Juli 2021 tersebut, Justru kini tengah menjadi pembicaraan sekaligus sorotan publik. Pasalnya, impor pangan yang dilakukan oleh pemerintah hingga saat inipun masih tergolong tinggi.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sejak Januari-Juni 2021 atau sepanjang Semester I-2021, Indonesia telah melakukan impor pangan hingga US$ 6,13 miliar atau setara dengan Rp 88,21 triliun. Komoditas pangan yang diimpor oleh Indonesia terdiri dari berbagai jenis daging, susu, kopi, teh, hingga bahan pangan seperti cabai, bawang putih, lada, kedelai, serta jagung, gandum, tepung gandum, minyak goreng, mentega, kentang, kelapa, kelapa sawit. Hingga berbagai jenis rempah-rempah juga diimpor oleh Indonesia, seperti cengkeh, kakao, tembakau, dan ubi kayu. (Republika, 29/8/2021).

Melihat masih tingginya tingkat impor pangan tersebut, maka sudah semestinya BPN mampu membuat kebijakan sektor pangan dalam negeri agar lebih efektif dalam mendorong pemenuhan cadangan pangan dari produksi lokal, seperti yang tertera jelas dalam bunyi Pasal 2 Perpres 66 tahun 2021.Termasuk bertugas untuk koordinasi, penetapan kebijakan dan ketersediaan pangan, stabilisasi harga dan pasokan pangan, pelaksanaan pengadaan, pengelolaan dan penyaluran cadangan pangan, pelaksana pengendalian kerawanan pangan, pembenihan hingga bimbingan teknis dan supervisi atas pangan.

Selebihnya, agar kinerja BPN ini maksimal maka perlu terus dikawal agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dengan lembaga lain. Pasalnya, sistem ketahanan pangan ini sangatlah kompleks dan membutuhkan koordinasi lintas-kementerian, yang kuat. Mulai dari isu pertanian di hulu, industri pengolahan pascapanen, distribusi dan logistik, keamanan dan kualitas, pola konsumsi masyarakat, perdagangan pangan dan tata niaga komoditas. Dari situlah, endingnya BPN harus mampu memperkuat ketahanan pangan.

Dyah Titi Muhardini
Dosen FPP Universitas Muhammadiyah Malang

Tags: