Mengampanyekan Keaksaraan Responsif Gender

Wahyu Kuncoro

Wahyu Kuncoro

Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Penulis adalah Alumnus Magister Media dan Komunikasi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya

Pemerintah Indonesia selalu berhasil menekan angka buta aksara penduduk usia di atas 15 tahun. Bahkan, capaian penuntasan angka buta aksara setiap tahun selalu melampaui target RPJMN 2010-2014. Pada tahun 2010, target RPJM sebesar 5,44 persen, namun Kemdikbud berhasil menekan hingga 5,02 persen. Sementara pada tahun 2012, dari target 4,8 persen penduduk, Kemdikbud berhasil mencapai angka 4,26 persen, kemudian  tahun 2013 mencapai  4,03 persen. Tahun 2014 pemerintah menargetkan menjadi  3,83 persen.
Keberhasilan pemerintah Indonesia dalam memberantas buta aksara sesungguhnya juga sudah diakui oleh dunia internasional. Terbukti, Indonesia pernah memperoleh penghargaan King Sejong Literacy Prize dari UNESCO tahun 2012 yang lalu. Penghargaan internasional ini sebagai apresiasi atas keberhasilan program pendidikan keaksaraan yang diintegrasikan dengan pengenalan kewirausahaan. Atas keberhasilan ini, sepanjang 2013 kemarin, Indonesia menjadi negara tujuan studi banding dari berbagai negara yang ingin belajar soal program keaksaraan. Namun demikian, pujian dan penghargaan negara-negara dunia tersebut jelas bukanlah tujuan akhir dari program keaksaraan nasional. Karena tujuan akhirnya adalah bagaimana program ini  berkorelasi positif dengan kesejahteraan masyarakat.
Harus diakui, pendidikan keaksaraan saat ini masih terbatas agar warga belajar bisa baca, tulis dan hitung melalui kewirausahaan ekonomi. Pola pendidikan ini lebih mengedepankan pendekatan produktivitas masyarakat; yakni program keaksaraan dihubungkan dengan kewirausahaan. Seharusnya pendidikan keaksaraaan harusnya tidak hanya berorientasi pada produktivitas (baca : pemenuhan aspek ekonomi) namun juga mempromosikan hak-hak azasi manusia dan membantu mencapai pemberdayaan. Artinya, pendidikan keaksaraan sesungguhnya menjadi tahapan kritis didalam pembelajaran seumur hidup untuk meningkatkan kapasitas, mengurangi kerentanan dan meningkatkan kualitas hidup.
Hak Perempuan atas Pendidikan
Pendidikan adalah sebuah faktor esensial untuk meningkatkan kualitas hidup seseorang. Salah satu bagian dari pendidikan adalah kemampuan dalam beraksara yang kemudian berdampak pada kemampuannya untuk mengatasi kemiskinan dan pemiskinan dalam segala bidang kehidupan.
Tidak kurang dari Deklarasi MGDs (Millennium Development Goals) menekankan esensi pendidikan perempuan sehingga menempatkannya pada tujuan kedua dan ketiga tentang pendidikan untuk semua dan pemberdayaan perempuan dalam hal pendidikan. Bahkan Konstitusi RI 1945 juga memandatkan secara tegas dalam salah satu pasalnya bahwa setiap orang berhak atas pendidikan dan oleh karena itu Negara harus menjamin terpenuhinya hak pendidikan warganegaranya tanpa kecuali.
Faktanya, berbagai data memperlihatkan bahwa pendidikan perempuan masih terpinggirkan sehingga menyumbang banyak pada menurunnya kualitas hidup perempuan. Kemiskinan, ketidaktahuan atas informasi kesehatan reproduksi dan seksualitas merupakan indikator buruknya kualitas hidup perempuan.
Buruknya situasi keaksaraan perempuan tidak hanya disebabkan oleh persoalan ekonomi dan politik, masalah ketidakadilan gender ternyata menyumbang bagian terbesar dalam proses tersebut. Kesempatan belajar untuk perempuan mau tidak mau dipengaruhi oleh peran stereotipnya sebagai istri dan ibu. Kerapkali kesempatan belajar menjadi lebih terbatas dibandingkan laki-laki yang dianggap sebagai kepala rumahtangga dan bertanggungjawab atas peran ‘produktif’ yang mensyaratkan proses belajar yang lebih komprehensif.
Keterbatasan belajar yang dialami perempuan berakibat pada rendahnya kemampuan perempuan terutama berkaitan dengan ketrampilan sehari-hari termasuk berkaitan dengan kesehatan perempuan. Dalam berbagai penelitian menunjukkan adanya relasi signifikan antara kemampuan aksara perempuan dengan pengetahuan dan penerapan kemampuannya untuk isu kesehatan reproduksi perempuan. Dampak dari tingginya angka buta aksara ini antara lain tingginya kecenderungan dari perempuan untuk mengabaikan kondisi kesehatan, nutrisi dan sanitasi yang baik yang akhirnya secara langsung ataupun tidak telah menyumbang pada tingginya angka kematian ibu (AKI), angka kematian anak, dan semakin meningkatnya kemiskinan di kalangan perempuan (feminisasi kemiskinan) serta rendahnya partisipasi perempuan dalam politik.
Selanjutnya Bagaimana?
Melihat realitas di atas memperlihatkan betapa ada kebutuhan mendesak untuk meninjau kembali seluruh program yang ada dan menyesuaikan dengan kesepakatan dan komitmen internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah, misalnya CEDAW (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women), Deklarasi Dakar, dsb.
Seluruh prinsip dan target yang melekat pada kesepakatan internasional ini harus dinyatakan secara jelas dalam kebijakan lokal dan nasional dan diterjemahkan dalam program-program efektif dengan anggaran yang memadai demi memastikan semua program dan kebijakan dapat dilaksanakan.
Pada saat yang sama, pemerintah juga harus mempertimbangkan kebijakan yang lebih berpihak pada perempuan dan memberi lebih banyak lagi kesempatan belajar. Penting juga bagi pemerintah untuk mengamandemen UU No.1/1974 tentang Perkawinan di mana salah satu pasalnya mengatur tentang umur perkawinan. Dalam pasal tersebut, anak perempuan diperbolehkan menikah pada umur 16 tahun, padahal sebenarnya umur tersebut masih termasuk umur sekolah (wajib belajar).
Oleh karena itu penting bagi pemerintah untuk mengamandemen dan menaikkan umur pernikahan bagi anak perempuan menjadi minimal 18 tahun. Selain itu, perlu ada aturan yang melarang sekolah mengeluarkan anak perempuan yang mengalami kehamilan dini karena hal tersebut justru melanggar hak anak atas pendidikan.
Sebuah mekanisme monitoring yang efektif juga penting untuk dikembangkan agar program- program pendidikan keaksaraan perempuan dapat terawasi dengan baik dan menghasilkan sebuah analisa baru tentang keaksaraan khususnya bagi perempuan dan kelompok marjinal lainnya. Partisipasi lebih dari kelompok masyarakat sipil, komunitas dan pemangku kepentingan lainnya dalam program keaksaraan perempuan dapat memberikan kualitas yang lebih baik dan menyumbangkan  data yang lebih akurat yang dibutuhkan dalam merancang kebijakan dan program.
Pemerintah juga perlu mengakui dan mendukung kerja-kerja yang telah dilakukan komunitas maupuan masyarakat sipil termasuk institusi pendidikan dalam pemberantasan buta aksara perempuan. Dukungan tersebut dapat dilakukan melalui penyediaan anggaran pendidikan perempuan dan pengelolaan programnya.
Upaya inisiatif ini selanjutnya akan memberikan data dan informasi tambahan berkaitan dengan pelaksanaan program keaksaraan perempuan dan mereka dapat menjadi mitra kunci dalam mengawasi pelaksanaan program, terutama di tingkat lokal. Hal yang sama dapat diterapkan pada masyarakat sipil yang bekerja di tingkat nasional dan telah melakukan berbagai kegiatan seperti melakukan lobi kepada tim yang menangani program-program pemberantasan kemiskinan; membangun jaringan seperti jaringan pendidikan perempuan yang melakukan advokasi dan monitoring terhadap program-program keaksaraan perempuan.
Wallahu’alam bhis-shawwab

————- *** —————

Tags: