Mengunjungi Kampung Halaman Melalui Cerita

Judul Buku : Selama Air Hilir
Penulis : Rilda Taneko
Penerbit : Dunia Pustaka Jaya
Tebal : 418 halaman
Tahun Terbit : Agustus, 2023
ISBN : 978-623-221-886-4
Peresensi : Khairil Miswar
Founder POeSA Institute. Menulis esai, cerpen dan resensi buku.

Hidup jauh di negeri orang tak lantas membuat Rilda Taneko melupakan kampung halamannya sendiri. Bentang jarak dan waktu justru membuat ingatannya tentang kampung halaman semakin mengapung. Dari Lancaster, Inggris, tempat sekarang ia berdiam, Rilda berhasil menyelesaikan novel tentang romantika kehidupan di kampung halamannya, Lampung. Novel “Selama Air Hilir” yang menurut pengakuannya ditulis selama 2,5 tahun dan diselesaikan pada musim semi di Inggris Raya dapat dilihat sebagai wujud kerinduannya pada kampung halaman.

Dalam novel setebal 418 halaman tersebut terlihat jelas-sebagai penulis-Rilda seperti “menyusupkan” dirinya sendiri dalam cerita melalui karakter-karakter tokoh yang ia bangun. Dia juga “menyisipkan” keterkaitan antara Lampung dan Inggris, di mana Lampung sebagai titik berangkat dan Inggris sebagai titik berlabuh. Angkasa sebagai tokoh utama dalam novel ini lahir dan tumbuh di Lampung, dan lalu, di akhir cerita memilih menetap di Inggris. Sama persis seperti dialami sendiri oleh Rilda (penulisnya).

Novel ini dibuka dengan kegetiran sosok Angkasa, seorang anak perempuan berusia 11 tahun yang kerap mengalami kekerasan (fisik dan mental) dari Alamsyah, papinya. Alamsyah sendiri dilanda bimbang oleh kelahiran Angkasa dengan fisik berbeda. “Aku begini, istriku begini, kok anakku begitu?” (hal.38). Namun, sampai dengan kematiannya akibat kerusuhan Mei 1998, Alamsyah yang saat itu sudah berubah dan bersikap lembut kepada Angkasa-setelah mengikuti kelompok pengajian-tidak mampu membuktikan kecurigaan atas perselingkuhan istrinya ketika berlibur di Eropa.

Angkasa juga mengalami perlakukan aneh dari Safira, Maminya, yang setelah kepulangannya dari Eropa seperti menderita tekanan mental sampai kemudian ia meninggal karena over dosis. “…Mami mengusap salep itu di seluruh tubuhku. Seolah Mami berharap … kulitku bisa berubah (hal. 42).

Cerita kemudian berpindah ke sebuah dusun di Hutan Register di pedalaman Lampung. Di sini Angkasa menyamar sebagai anak laki-laki untuk menghilangkan jejak dari Amalia, tantenya sendiri. Angkasa berkenalan dengan teman-teman baru, Adit dan Rico. Penyamaran yang dilakukan Angkasa terkadang membingungkan dirinya sendiri, seperti ketika dia diajak Pak Tazwin untuk salat Jumat. “Aku menoleh pada Ibu dengan bingung. Apa aku harus membawa mukena?” (hal. 138). Di Hutan Register Angkasa dan teman-temannya juga belajar tentang toleransi seperti terlihat dari kata-kata Adit: “Dan tiang bisa baca komik waktu kalian mengaji” (hal. 197).

Di Hutan Register yang dikuasai perusahaan ‘perambah hutan’ Angkasa mengalami sendiri aksi penggusuran oleh pemerintah. Kedatangan warga ke Hutan Register sendiri dilatari oleh krisis ekonomi yang menyebabkan mereka kehilangan pekerjaan. Namun, warga dusun di sana dituduh sebagai penduduk ilegal. Setelah gubuk-gubuk mereka dihancurkan mereka harus mempertahankan bangunan sekolah. “Gedung sekolah seolah menjadi satu-satunya harapan yang tersisa” (207).

Untuk mempertahankan gubuk mereka, penduduk juga melakukan tindakan di luar dugaan seperti aksi telanjang yang dilakoni Mbak Beth dan Patiyah. “Tapi aparat tetap tidak peduli. Mereka bahkan mendorong Mbak Beth dan Ibu hingga jatuh terjerembap … telanjang begitu rupa ….” (hal. 250). Pengusuran berlangsung tragis di bawah tindakan represif aparat: “Tiga puluh tiga orang penduduk tewas dan puluhan terluka” (hal. 251). Kengerian itu terjadi di masa reformasi, setelah rezim otoriter tumbang.

Cerita berlanjut ketika Angkasa tersesat dalam hutan. Angkasa mengalami menstruasi pertamanya di sana. Dia sempat terkejut dan mengira darah yang mengucur berasal dari gigitan pacet (hal. 272). Di sebuah desa tak jauh dari hutan, dia ditemukan oleh istri bupati (Hana) yang telah menggusur dusunnya. Hana datang bersama Amalia yang sudah lebih dulu menghubungi Nyai Rajo. Di desa itu, Angkasa juga bertemu dengan ayah kandungnya, Brian, warga Inggris (hal. 337). Cerita ditutup dengan keberangkatan Angkasa, Amalia dan Brian ke Inggris. Walau keberangkatan hari itu gagal karena Angkasa menderita demam, tapi akhirnya Angkasa benar-benar menetap di Inggris.

Novel ini menjadi menarik karena menggunakan sudut pandang seorang anak perempuan berusia 11 tahun (Angkasa). Rilda berhasil membangun karakter anak-anak dengan cukup baik. Namun, ada kejanggalan pada karakter Rico yang kata-katanya terlihat tidak sepadan dengan usianya. “Kita harus menghapus kenangan yang tidak mengenakkan buat Angkasa” (hal. 394). Terdapat keanehan juga pada cara bicara Brian yang kelihatan terlalu fasih berbahasa Indonesia, padahal dia baru belajar. Tidak adanya penjelasan dan catatan kaki dalam penggunaan bahasa daerah juga sedikit mengganggu.

Ada juga adegan yang tidak lazim, di mana Angkasa, Rani dan dua anak laki-laki (Adit dan Rico) tidur di satu ranjang di kamar Angkasa (hal. 394). Mengingat usia mereka sudah memasuki masa SMP, hal ini tentu tidak lazim. Selain itu, pembicaraan Angkasa dan orang dewasa semisal Hana tentang perselingkuhan ibu kandungnya (Safira) dengan Brian juga terbilang tabu (hal. 340).

Namun, kejanggalan dan “cacat logika” tersebut tidak memengaruhi bangunan cerita karena Rilda cukup cermat pada detail, alur, plot dan karakter tokoh. Rilda berhasil mengaduk emosi pembaca melalui kegetiran Angkasa ketika orang tuanya masih hidup, kasih sayang Patiyah, perselingkuhan Safira dan Brian, Alamsyah yang dikhianati, kekecewaan Amalia, perlawanan penduduk Hutan Register, skandal perdagangan perempuan dan hubungan rumit antar tokoh. Selain keberhasilannya dalam mengeksplorasi adat istiadat, budaya dan mitos yang berkembang di Lampung, Rilda juga menyajikan banyak sekali kejutan dalam cerita. Tampilnya tokoh-tokoh perempuan hebat seperti Hana (Ibu Bupati) dan Nyai Rajo juga menjadi nilai lebih dari novel bergenre realis ini. Terakhir, novel ini juga membawa pesan tentang optimisme-bahwa dalam kegetiran hidup selalu ada harapan yang membentang.

———– *** ————

Tags: